Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen kembali memantik perdebatan. Para pelaku usaha di sektor manufaktur dan ritel angkat bicara, meminta kebijakan ini ditunda.
Sebagai pengamat ekonomi, saya memahami kegelisahan mereka. Perekonomian baru saja mulai bernapas setelah pandemi, kini harus dihadapkan pada kebijakan yang dianggap bisa memperberat beban.
Kebijakan ini direncanakan mulai berlaku Januari 2025. Namun, ancaman terhadap daya beli masyarakat sudah mulai terasa sejak wacana kenaikan diumumkan.
Salah satu asosiasi, Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dengan tegas menyebut kebijakan ini perlu dievaluasi. Apalagi, ekonomi belum sepenuhnya stabil, khususnya sektor ritel.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) juga menyuarakan hal serupa. Mereka khawatir daya beli masyarakat akan semakin melemah.
Tidak hanya ritel, sektor manufaktur pun merasakan ancaman. Kenaikan PPN akan memengaruhi harga barang yang pada akhirnya berdampak pada penjualan.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Indonesia (Asrim) bahkan memprediksi lonjakan harga produk minuman. Beban pajak tentu akan berpindah ke konsumen.
Saya bisa membayangkan dampaknya. Harga minuman ringan yang naik Rp 500 hingga Rp 1.000 bisa mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat.
Kebijakan pajak memang selalu menjadi dilema. Di satu sisi, negara membutuhkan pendapatan tambahan. Di sisi lain, dampaknya terhadap ekonomi tidak bisa diabaikan.
Peningkatan tarif PPN ini memang bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, situasi ekonomi harus menjadi pertimbangan utama.