PHK lagi, PHK lagi. Seperti hujan di musim penghujan, tak ada tanda-tanda berhenti. Selama lima tahun terakhir, PHK ini melonjak luar biasa, dari 18.011 orang pada 2018 menjadi 352.858 orang pada 2023. Ini bukan sekadar angka; ini adalah nyawa, keluarga, masa depan yang dipertaruhkan.
Kita kembali ke masa-masa krisis, hampir menyamai saat pandemi Covid-19 ketika PHK mencapai puncaknya dengan 386.877 karyawan di tahun 2020.
Dan tampaknya, angin PHK ini masih terus berhembus. Pada paruh pertama tahun 2024 saja, sudah 101.536 pekerja yang harus merelakan pekerjaannya hilang begitu saja. Bandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang 'hanya' 80.303 orang.
Ini bukan kabar baik bagi siapa pun, kecuali mungkin bagi mereka yang duduk nyaman di kursi kekuasaan dengan pulpen di tangan, siap menandatangani surat PHK kapan pun diperlukan.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan pahit ini. Setiap angka di statistik ini adalah kisah manusia yang berjuang untuk bertahan hidup. Dan masalahnya, pasar kerja tidak mampu menyerap mereka yang telah kehilangan pekerjaan.
Tingkat pengangguran terbuka terus meningkat, dari 5,33 persen pada 2017 menjadi 6,49 persen pada 2022. Ini artinya, semakin banyak orang yang terjebak dalam ketidakpastian, tanpa harapan jelas kapan mereka bisa kembali bekerja.
Bagi kelas menengah, situasi ini adalah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mereka yang pernah menikmati kestabilan kini harus menghadapi kenyataan bahwa satu keputusan kebijakan bisa mengguncang seluruh hidup mereka. Pekerjaan yang dulu dianggap aman, kini bisa hilang sekejap mata.
Dan bagi mereka yang terpaksa beralih ke pekerjaan informal, tekanan mental semakin menjadi-jadi. Menurut analisis dari Kompas, pekerja informal lebih banyak mengalami gangguan kesehatan mental dibandingkan dengan mereka yang masih di sektor formal.
Tito, seorang karyawan swasta di Jakarta Selatan, adalah contoh nyata bagaimana PHK bisa menghancurkan hidup seseorang. Dua kali ia terkena PHK dalam sepuluh tahun terakhir, dan trauma itu masih membekas hingga kini. Ketika pertama kali di-PHK pada tahun 2020, dia masih bisa mencari pekerjaan baru.
Tapi kali kedua, dua tahun lalu, situasinya jauh lebih buruk. Istrinya sedang hamil tua, dan kecemasan menguasai pikirannya. Meskipun akhirnya hanya menganggur dua minggu, trauma itu tidak pernah benar-benar hilang.