Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Gemerlapnya Marketplace Ada Toko Kecil yang Bernafas pun Amat Sulit

Diperbarui: 31 Juli 2024   02:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ILUSTRASI | KOMPAS.com/Joy Andre T.

Jika di pelajaran IPA kita mempelajari rantai makanan, maka dalam ekonomi kita mengenal rantai pasok---dari produsen ke distributor, ke pengecer, lalu ke konsumen. Namun, seiring berkembangnya teknologi, rantai ini mulai terputus, mengubah lanskap ekonomi kita dengan cara yang luar biasa "hebat".

Masuklah e-commerce, si penyelamat sekaligus perusak struktur lama. Bayangkan, profesi pengecer yang selama ini menjadi tumpuan banyak orang, mulai terkikis. 

Aplikasi belanja online mulai menggantikan peran mereka, membangun jembatan langsung antara konsumen dan produsen. Pengecer yang dulu hanya bermodal kecil kini bisa langsung melangkahi distributor, membeli barang dalam jumlah besar langsung dari produsen. Distributor yang merasa terancam, membuka divisi penjualan sendiri melalui akun "official" di platform e-commerce. 

Hebat, kan? Mereka berjualan di tempat yang sama dengan pengecer yang dulunya mereka suplai.

Perang harga pun terjadi. Penjual berlomba-lomba menarik konsumen dengan diskon dan gratis ongkir. Konsumen pun semakin dimanja, tanpa sadar turut andil dalam mengacaukan rantai pasok. E-commerce memberikan kemudahan yang luar biasa, tapi di balik itu semua, ada harga yang harus dibayar.

Ambil contoh nyata. Di Kalimantan, barang A yang biasanya dijual di toko fisik seharga 500.000 rupiah, kini bisa didapatkan online dari Jakarta hanya dengan 300.000 rupiah, sudah termasuk ongkir. 

Luar biasa, bukan? Tapi apa yang terjadi? Uang yang seharusnya berputar di Kalimantan, malah mengalir ke Jakarta. Ekonomi lokal pun perlahan-lahan mati suri.

Mari kita tengok nasib sebuah toko elektronik kecil di Pontianak. Toko ini sudah berdiri selama puluhan tahun, melayani warga sekitar dengan berbagai kebutuhan elektronik. Namun, sejak kehadiran e-commerce, penjualannya merosot tajam. 

Ibu Maria, pemilik toko, mengeluh karena barang-barang yang dijualnya kini bisa didapatkan lebih murah melalui platform online. Sebagai penjual kecil, dia tidak mampu bersaing dengan harga murah yang ditawarkan oleh penjual besar di Jakarta atau Surabaya yang mendapatkan subsidi ongkir.

Di balik layar e-commerce, terjadi konflik kepentingan yang intens. Distributor yang dulunya menguasai pasar lokal mulai kehilangan kendali. Mereka yang merasa tersisih dari rantai pasok tradisional beralih membuka divisi e-commerce sendiri, menjual langsung ke konsumen dengan harga yang sangat kompetitif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline