Suatu ketika Bu Tini menerima telepon dari seseorang yang mengaku salah kirim uang ke rekeningnya. Suara di ujung telepon terdengar cemas dan terburu-buru. Orang itu mengatakan bahwa uang yang dikirim adalah untuk pembayaran yang sangat penting, dan memohon agar Bu Tini segera mengembalikan uang tersebut ke rekening yang ia sebutkan.
"Maaf ya, Bu. Ini benar-benar kesalahan saya. Tolong, kembalikan uangnya. Ini nomor rekening saya," katanya, memberikan rincian bank dengan nada hampir putus asa. Bu Tini, yang selama ini hidup dalam kesederhanaan dan selalu berusaha jujur, merasa iba. Uang tersebut memang sudah masuk ke rekeningnya, dan jumlahnya cukup besar. Namun, sesuatu dalam dirinya menahan langkahnya untuk segera mengembalikan uang itu.
"Kenapa ini terjadi padaku? Apa yang harus aku lakukan?" pikir Bu Tini. Dalam kebingungannya, ia teringat nasihat dari seorang teman yang pernah membicarakan penipuan yang marak terjadi sejak adanya pinjaman online (pinjol). Temannya itu pernah bercerita tentang modus serupa, di mana penipu mengirim uang ke rekening korban, lalu meminta dikembalikan. Ketika korban mengembalikan uang tersebut, sebenarnya mereka sedang membayar pinjaman yang diambil oleh penipu menggunakan identitas korban.
Hari itu, Bu Tini memutuskan untuk tidak segera mengembalikan uang tersebut. Ia mencoba menghubungi bank dan menceritakan kejadian yang dialaminya. "Apa yang sebaiknya saya lakukan? Saya takut ini penipuan," katanya dengan suara gemetar kepada petugas bank. Petugas bank dengan tenang mendengarkan dan memberikan panduan. Mereka menyarankan Bu Tini untuk tidak mengembalikan uang tersebut secara langsung, melainkan membiarkan pihak bank yang menangani kasus ini.
Hari-hari berlalu dengan ketidakpastian menghantui Bu Tini. Setiap kali telepon berdering, jantungnya berdegup kencang. Suara di ujung telepon, pria yang mengaku salah kirim uang itu, semakin mendesak. Namun, Bu Tini tetap teguh pada pendiriannya. "Maaf, saya sedang mengurus ini dengan pihak bank. Mohon bersabar," jawabnya tegas suatu hari.
Sementara itu, hidup Bu Tini tidaklah mudah. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang menggantungkan hidup dari penghasilan suaminya yang pas-pasan, setiap rupiah sangat berarti. Namun, ia tidak ingin mengambil risiko dengan mengembalikan uang itu secara langsung. Ia terus berkoordinasi dengan bank, mengirimkan bukti transfer yang diterima dan melaporkan setiap panggilan yang diterimanya.
Suatu malam, setelah anak-anaknya tidur, Bu Tini duduk di ruang tamu dengan suaminya. Ia menceritakan semua yang terjadi. "Kenapa kita? Kenapa ada orang yang tega berbuat seperti ini?" tanya suaminya dengan nada tak percaya. Bu Tini hanya bisa menggeleng, matanya berkaca-kaca. Mereka berdua tahu, bahwa di dunia ini tidak semua orang memiliki niat baik.
Waktu berlalu, dan akhirnya pihak bank menghubungi Bu Tini dengan berita baik. Mereka telah menelusuri transaksi tersebut dan menemukan bahwa uang yang dikirim memang berasal dari akun yang terkait dengan aktivitas pinjaman online ilegal. "Ibu tidak perlu khawatir lagi. Kami sudah memblokir akun tersebut dan uangnya akan dikembalikan ke sumber asli tanpa melibatkan ibu lebih jauh," kata petugas bank dengan suara menenangkan.
Bu Tini merasa lega. Akhirnya, semua kekhawatiran dan kecemasan yang dirasakannya terbayar dengan keamanan. Ia belajar bahwa kebaikan hati harus selalu disertai dengan kewaspadaan. Meskipun ia tidak dapat mengembalikan uang itu secara langsung, keputusannya untuk melibatkan pihak bank adalah langkah yang benar.
Kisah Bu Tini menjadi pelajaran berharga bagi banyak orang di desanya. Ia berbagi pengalamannya dengan tetangga dan teman-temannya. "Jangan pernah terburu-buru mengembalikan uang yang tiba-tiba masuk ke rekening kalian. Selalu hubungi bank dan ceritakan situasinya. Penipuan seperti ini sudah banyak terjadi sejak ada pinjaman online," katanya berulang kali.