Kasus perceraian dan KDRT kini semakin bertambah signifikan dalam kasus rumah tangga di Indonesia, umumnya di lakukan oleh hampir semua kalangan baik muslim, non muslim, kaya, miskin bukan merupakan hal baru dan tabu di lakukan, ada baiknya pemerintah turun tangan menangani masalah ini sebab runtuhnya rumah tangga merupakan keruntuhan suatu bangsa.
Pernikahan kini bukan lagi mahligai suci untuk berkasih sayang dan mendapatkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana pasal 1 UU no.1 tahun 1974. Pernikahan beralih fungsi menjadi ajang "smackdown" bagi petarung. Apa yang salah dalam fenomena ini?
Masalah sepele bisa menjadi bom waktu bagi masa depan generasi pelanjut di Indonesia. Dari berbagai fenomena selama ini, jika terbukti salah satu pihak (apakah suami atau istril melakukan perselingkuhan), maka demi harga diri seorang suami misalnya, langsung membunuh istri. Ini menjadi masalah sangat krusial untuk dicari solusinya.
Mestinya sebelum tarjadi kekerasan dalam rumah tangga, salah satu pihak harus segera melaporkannya kepada orangtua atau kepada pihak yang berwajib alias polisi. Namun, sering terjadi tekanan psikis [mental] kepada salah satu pihak, karena apabila peristiwa tersebut dilaporkan kepada pihak lain, karena sebelumnya telah diancam jangan melaporkannya kepada pihak lain, maka dampaknya salah satu pihak akan dibabat habis oleh pasangannya.
Dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tantang Penghapusan KDRT menyangkut: kekerasan fisik, kekarasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Anehnya perseteruan dam perselingkuhan tersebut diketahui dan dijadikan contoh oleh anak-anak dan keturunannya, sehingga secara turun temurun dan secara tak langsung keluarga itu melahirkan anak-cucu yang tidak sehat dan kurang bermoral.
Apalagi ketika si anak kelak dewasa dan menikah, tidak jarang sang anak-anak yang sudah beranjak dewasa pun akan melampiaskan kebiasaan itu kepada pasangannya. Akibat dampak ini. Tentu saja hal ini meniadi tantangan berat bagi orangtua zaman now, khususnya bagi pemerintah.
Di Indonesia, menurut data BPS ada sekitar 2 juta pasangan yang mencatatkan pernjkahan di KUA, sayangnya 300.000 pasangan di antaranya bercerai dengan berbagai alasan. Dari jumlah itu, 70 persen gugatan perceraian ke Pengadilan Agama diajukan oleh perempuan atau khuluq dalam islam. Ada banyak faktor dan motif mengapa terjadi perceraian, tapi jika bercerai dalam cerai masih hidup, itu masih waiar; akan tetapi jika putus cinta karena kematian disebabkan perkelahian dan penganiayaan? Ini yang menjadi persoalan krusial.
Secara faktual, berbagai alasan parcemian ditemukan di parsidangan, karena usia relalif masih muda, sehingga mereka tidak mengerti secara mendalam arti perkawinan tersebut, karena alasan ekonomi, alasan pendidikan, perkawinan itu terjadi karena keadaan terpaksa, artinya karena salah satu wanita telah lebih dulu hamil di luar nikah, akibatnya orang tua tidak dilibatkan dalam pemilihan jodoh, 1191'] adanya persepsi pendapat yang berbeda dan berkepanjangan hingga tidak dapat diselesaikan.
Dan dampak dari semua persoalan tersebut terjadilah percekcokan yang berkepanjangan, rumah tangga tidak lagi meniadi istana keluarga umuk melahirka.n keturunan yang berkualitas, sehingga selain terjadi kekerasan dalam rumah tangga bahkan Karena tidak betah muncullah berbagai skandal parselingkuhan suami istri.
Ada baiknya pemeritah kembali mengamandemen UU pernikahan dimana menurut ketentuan Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan, meneka yang sudah berusia 21 tahun tanpa persetuiuan orangtua, kecuali di bawah usia 21 tahun bisa menikah.Itu pun, menurut penulis, tidak dapat diterima lagi.
Manurut penulis sebaiknya usia perempuan minimal 21 tahun, sedangkan usia pria minimal 25 tahun dengan syarat salah satu pihak telah penghasilan tetap. Selain itu setiap pasangan tarsebut harus terlebih dahulu mendapat persetuiuan dan restu dari masing-masing kedua orang tua.