hak Angket sendiri adalah bertujuan evaluasi atas kinerja KPK selama ini hingga. Pembentukan Pansus Angket KPK juga bertujuan untuk menguatkan KPK, bukan melemahkan KPK. Sebab saat ini KPK seperti lembaga yang senang membongkar namun kadang lupa cara menyelesaikan kasus kasus korupsi yang di bongkarnya.
KPK bukan lembaga super power yang memiliki kekebalan dan anti kritik untuk di evaluasi. KPK bukanlah lembaga yang berisikan para malaikat. Begitu pula halnya dengan DPR, yang juga bukan lembaga yang di penuhi manusia-manusia yang berlumur dosa. Kedua lembaga ini memiliki Kedudukan yang sama di mata Negara.
Lantas, kenapa KPK selalu di bela dan DPR selalu di salahkan dan dicurigai macam-macam? Bahkan tuduhan sangat serius datang dari peneliti ICW Emerson mengatakan di dialog prime time Metro ia mengatakan sebenarnya anggota pansus yang juga anggota DPR ini bermasalah. Apa yang salah dengan DPR? dan apa yang benar dengan KPK? Dan mengapa selalu KPK yang terdepan untuk dibela-belain
Dalam hal ini, dua lembaga ini sama-sama berisikan manusia yang juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Benar salahnya lembaga ini, ada ruang yang mengkaji dan mengujinya.Dan DPR sebagai lembaga resmi punya hak angket yang menyelidiki dan mengkaji serta mengevaluasi hal ini
Oleh karenanya, tugas kita adalah memberikan kepercayaan penuh kepada Panitia Hak Angket DPR RI untuk bekerja sesuai prosedur dan meminta kepada KPK untuk member bukti bahwa kinerja lembaga mereka selama ini sudah sesuai protap yang berlaku tanpa ada bias, dan tebang pilih dalam penegakan hukum, serta senantiasa independen dan tidak melakukan keranjinan OTT untuk sebuah pencitraan. Dan tidak disertai penuntasan lebih lanjut.
Sekaranglah waktunya agar KPK tidak selalu untuk diposisikan sebagai malaikat yang senantiasa benar dalam setiap tindakan dan yang tidak pernah salah dan anti kritik. Juga fasilitas nomor wahid KPK yaitu bolehnya sadap menyadap tanpa pengawasan, Dari sudut pandang aktivis anti korupsi langkah ini sangat tepat KPK menyadap seseorang terduga akan melakukan tindak pidana korupsi tentu merupakan hal yang tepat dan dibenarkan. Akan tetapi, muncul pertanyaan, singkat apa atau siapa yang dapat menjamin penyadapan benar-benar dilakukan demi penegakan hukum, bukan kepentingan pribadi atau vested interest lainnya?
Lalu, apakah kewenangan penyadapan telah dilengkapi dengan sistem pengawasan yang ketat? Ingat, 'rumus' tindak pidana korupsi yang diintrodusir oleh Lord Acton. "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely". Artinya, tanpa pengawasan, maka kewenangan aparat untuk menyadap begitu besar. Implikasinya, peluang untuk disalahgunakan juga sangat besar. Sudah saatnya undang-undang KPK dievaluasi secara komprehensif, sebab dikhawatirkan, oknum KPK menyadap terhadap siapa saja termasuk orang-orang yang tidak bermasalah yang hanya karena tekanan politik atau massa dengan KPK. Sekarang waktunya melihat kasus hukum secara proporsional dan professional.
Apalagi jika kita berkaca pada kasus kasus yang selama ini diungkap KPK kondisi ini seperti hanya mengarah pada gejala pembongkaran kasus korupsi saja, tanpa ada penuntasan hingga tuntas tas dan tas... Seperti kasus BLBI yang sudah berjalan beberapa tahun ini dimana, Penyelidikan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) Rp 148 triliun. SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Bahkan kasus mega Korupsi E-KTP yakni Kasus korupsi paket penerapan pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012 Rp 5,9 triliun dan merugikan Negara 2,3 Triliun ini. Pada kasus tersebut, seperti hangat hangat tahi ayam, kencang awalnya namun sekian bulan berjalan kasus ini berjalan seperti kehilangan arah penuntasan kasus korupsinya.
Belum selesai perkara ini KPK malah sibuk lagi membongkar bongkar kasus kasus yang lain tapi lupa menuntaskan kasus yang ia selesaikan disisi lain cukup bagus kinerja KPK membongkar kasus korupsi. Namun, hal ini Ibarat seorang anak kecil yang senang bermain main bongkar pasang namun lupa membereskan mainannya. Bahkan tak puas dengan satu mainan ia ingin bermain dengan mainan lainnya.