Lihat ke Halaman Asli

Keterkaitan antara Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 dengan Cyber Attack

Diperbarui: 13 Oktober 2016   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 Konflik antara Amerika Serikat dan Rusia kembali memanas setelah berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991. Memang sejatinya konflik antara kedua negara tersebut tidak akan pernah berakhir karena adanya perbedaan ideologi, tetapi kali ini Rusia ‘menyulut api’ terlebih dahulu dengan mencoba untuk menyabotase kampanye salah satu kandidat Presiden Amerika Serikat, yaitu Hillary Clinton, dengan cara meretas semua data kampanyenya. Democratic National Committee (DNC), yang tidak lain merupakan markas calon presiden wanita pertama Amerika Serikat ini, memperkirakan pada pertengahan tahun 2015 hingga pertengahan tahun 2016, 

ada sebuah kelompok peretas dari Rusia yang ingin mengakses sistem komputer mereka yang mengandung semua data tentang kampanye Clinton untuk Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Tetapi pada tanggal 15 Juni 2016, DNC baru mengumumkan secara resmi bahwa sistem operasi komputer mereka telah diretas. Kelompok peretas dari Rusia ini semakin membakar amarah DNC ketika kelompok peretas tersebut mempublikasikan data-data kampanye hingga e-mailpribadi Clinton ke dalam situs WikiLeaks, DCLeaks.com,dan Guciffer 2.0.

            Tentunya kelompok peretas sistem operasi komputer DNC dari Rusia ini bukan semata-mata ingin meretas untuk tujuan kesenangan belaka, tetapi pasti ada tujuan politik yang melatarbelakangi peretasan sistem operasi komputer DNC pada momentum yang sangat penting dalam sejarah Amerika Serikat, seperti pemilihan presiden. Federal Bureau of Investigation (FBI) pun melacak kelompok peretas yang meretas sistem operasi komputer DNC dan akhirnya berhasil menemukan dalang dibalik peretasan tersebut. Publik pun tidak terkejut lagi ketika mengetahui bahwa kelompok peretas itu bukan lah kelompok swasta biasa tetapi mata-mata dari Rusia. 

Aksi peretasan yang berbau politik seperti ini biasanya hanya dilakukan jika telah memperoleh persetujuan dari petinggi pemerintahan Rusia. Maka dari itu, benang merah pelaku utama peretasan ini merajuk pada sang Presiden Rusia sendiri yang dapat meminta petinggi dari Rusia untuk melakukan peretasan sistem operasi komputer DNC. Seperti yang diketahui oleh publik, Presiden Rusia, yaitu Vladimir Putin, sangat memuja Donald Trump. Secara terbuka Putin menyatakan dukungannya untuk kandidat presiden Amerika Serikat yang paling kontroversial itu. Putin mengatakan bahwa,” Donald Trump adalah seseorang yang sangat cemerlang dan bertalenta. 

Ia pantas untuk memenangkan pemilihan presiden pada kali ini.” Senada dengan Putin, Trump pun memuji Presiden Rusia yang dikenal dengan diktator itu. Trump mengatakan bahwa,”Putin merupakan Presiden yang sangat kuat, ia lebih kuat dibandingkan dengan presiden kita (red: Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Obama).” Persekutuan yang tidak lazim diantara keduanya pun menunjukan bahwa Putin pun rela untuk melakukan apa pun agar Trump menjadi Presiden Amerika Serikat pada periode mendatang. 

Putin pun merasa bahwa dengan meretas sistem operasi komputer DNC dan mempublikasikan semua data kampanye Clinton, Trump akan mempunyai celah untuk unggul dari Clinton dan berpotensi untuk memenangkan pemilihan presiden tersebut. Selain itu, dengan melakukan peretasan, Putin pun dapat dengan bebas mengintervensi kampanye Clinton tanpa harus melakukan penyerangan secara konkret yang notabene akan melawan hukum internasional.

            Pada debat calon presiden yang pertama, tepatnya tanggal 26 September 2016, cyber security adalah salah satu isu yang menjadi sorotan publik Amerika Serikat. Clinton dan Trump sepakat bahwa Amerika Serikat harus meningkatkan kapasitas cyber security di negara mereka. Tetapi terdapat perbedaan pendapat diantara keduanya. Clinton secara langsung mengatakan bahwa ia akan terus mengawasi Rusia dan Cina agar mereka tidak melakukan cyber attack seperti ketika Rusia meretasan data dari DNC.

 Trump pun menyanggah secara halus bahwa mereka harus mengawasi semua negara dan tidak terfokus kepada Rusia atau Cina saja. Secara teori, pernyataan Trump memang benar karena cyberspace adalah dunia tidak bertuan dimana tidak ada hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan cyberspace setiap negaraSemua data atau kode biner yang menunjukan lokasi pengguna cyberspace dapat dimanipulasi sehingga serangan pun bisa datang dari negara mana saja sesuai dengan agenda setting si pengguna tersebut. Jika Trump tidak bersekutu dengan Putin, mungkin Trump akan memperoleh ‘kemenangan’ dari pernyataannya, tetapi pernyataan tersebut dilontarkan karena ia ingin menutupi aksi yang dilakukan oleh mata-mata Putin terhadap lawannya tersebut.

            Melihat permainan antara Trump dan Putin, Presiden Amerika Serikat saat ini, yaitu Barack Obama, berusaha untuk membuat strategi untuk mengungguli manuver mereka terhadap Clinton. Hal tersebut tidak lain dilakukan untuk menyelamatkan Clinton yang notabene merupakan penerus Partai Demokrat dalam pemerintahan Amerika Serikat. Presiden Obama menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat mempunyai sistem cyber security untuk operasi yang defensive begitu juga operasi yang offensive. Jika Putin ingin bermain-main dengan masa depan Amerika Serikat dengan melayangkan cyber attack terhadap salah satu kandidat presiden Amerika Serikat mendatang, terlebih lagi Clinton, maka Presiden Obama tidak segan untuk menyatakan bahwa ia ingin turut bermain. 

Di sejumlah media massa, Presiden Obama menyatakan bahwa ia telah merancang ‘playbook’ untuk membalas cyber attack dari Rusia terhadap Amerika Serikat. Melihat keadaan yang semakin memanas antara kedua belah pihak, maka cyberwar tidak akan terelakan. Perang Dingin II akan segera terjadi melalui dimensi yang berbeda, yaitu dimensi cyber. Aksi cyber attack yang dilakukan oleh Putin terhadap Clinton untuk membantu Trump ini tidak mungkin terjadi jika Putin tidak memiliki kepentingan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat. 

Jika publik menelan bulat-bulat informasi kampanye Clinton yang telah diretas oleh Putin dan cenderung untuk memilih Trump, maka taruhannya adalah Amerika Serikat akan dikuasai oleh Rusia. Sosok Trump di mata Putin tidak lebih sebagai boneka yang digunakan Putin untuk masuk ke dalam pemerintahan Amerika Serikat. Dengan begitu Putin perlahan-lahan dapat menjatuhkan Amerika Serikat melalui Trump dan dapat membuat sejarah kemenangan baru di Perang Dingin II.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline