Lihat ke Halaman Asli

Ratu Athilla

Mahasiswa

Pelecehan Seorang Ustadz terhadap Santriwati Menurut Pandangan Hukum

Diperbarui: 2 Juli 2024   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Manggarai Timur mengatakan izin operasional salah satu pondok pesantren (ponpes) di daerah tersebut terancam dicabut setelah pemiliknya berinisial PI (50) diduga memerkosa dua santri perempuan. PI diduga memerkosa berulang kali dua santri tersebut di kamarnya di ponpes tersebut, pada 22 November 2023.

Undang-undang terkait pemerkosaan umumnya didasarkan pada hukum pidana yang mengatur tindakan kejahatan tersebut. Pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan seksual yang sangat serius dan melanggar hak asasi manusia seseorang. Di Indonesia, pemerkosaan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tindakan pemerkosaan sebagai tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana. 

Menurut Pasal 285 KUHP, pemerkosaan merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Pelaku pemerkosaan yang menggunakan kekerasan atau ancaman serius dapat dikenakan pidana lebih berat, yakni pidana penjara paling lama 15 tahun atau pidana penjara seumur hidup. 

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang menegaskan bahwa pemerkosaan merupakan bentuk kekerasan gender yang melanggar hak asasi perempuan. 

Latar belakang pemerkosaan dalam konteks hukum, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Penalaran hukum dalam kasus pemerkosaan harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, dalam menentukan hukuman bagi pelaku pemerkosaan, penalaran hukum harus mempertimbangkan fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut, termasuk bukti-bukti yang mendukung kesalahan pelaku. 

Hukuman harus sesuai dengan seriusnya kejahatan dan harus memberikan efek jera bagi pelaku serta memberikan keadilan bagi korban. Tujuannya adalah untuk menyelidiki kasus pemerkosaan secara adil dan memberikan keadilan bagi korban serta memberikan efek jera bagi pelaku untuk mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan.

Kondisi psikologis seseorang yang melakukan pemerkosaan bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti gangguan mental, trauma masa lalu, kurangnya empati, atau pengaruh lingkungan yang negatif. Orang yang melakukan pemerkosaan juga mungkin mengalami masalah dengan kontrol diri..

Dalam faktor agama pun memiliki pandangan yang jelas terkait dengan pemerkosaan. Dalam hukum agama Islam, misalnya, pemerkosaan dianggap sebagai tindakan yang sangat keji dan dikenai hukuman yang berat. Agama-agama lainnya juga mengajarkan nilai-nilai tentang menghormati dan melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas integritas dan kebebasan individu. 

Pemerkosaan seringkali berkaitan dengan ketidaksetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan, sehingga agama juga dapat memainkan peran dalam memerangi mentalitas patriarki yang mendukung tindakan kekerasan seperti pemerkosaan. Melalui pendidikan agama yang benar dan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai agama, diharapkan dapat mencegah tindakan pemerkosaan dan memberikan dukungan bagi korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline