BUMI sedang berguncang. BUMI yang saya maksud disini bukan tanah maupun planet, melainkan PT Bumi Resources Tbk (BUMI), produsen batubara terbesar di Indonesia sekaligus eksportir batubara terbesar di dunia.
Guncangannya begitu hebat, hingga membuat sebagian orang resah. Keresahan itu bukan karena bisnis Bakrie sedang dibantai. Mereka lebih resah terhadap siapa yang menciptakan keguncangan itu.
Rothschild. Dibaca Rot Syild dalam lafal Jerman, negeri dinasti ini bermula, dalam bahasa Inggris dibaca Red Shield atau Perisai Merah. Apakah Perisai Merah itu? Adalah lambang yang digunakan oleh Mayer Amschel Rothschild, sang pendiri dinasti ketika memulai bisnis pinjam meminjam uang di tanah Jerman pada tahun 1.700-an.
Bentuknya sudah pasti semua orang tahu. Perisai Merah itu berbentuk hexagram alias bintang segi enam atau yang lebih dikenal sebagai Bintang David. Kini lambang itu menjadi lambang negara Israel yang memerdekakan diri tahun 1948.
[caption id="" align="aligncenter" width="262" caption="Lambang Rothschilds (Foto: http://arcanumdeepsecrets.wordpress.com)"][/caption] Semua juga pasti tahu, Edmund de Rothschild adalah orang yang menjadi pendana utama gerakan Zionisme untuk memerdekakan Israel yang diprakarsai oleh Theodore Herzl, jurnalis beretnis Bani Israil yang mengajukan proposal perlunya negara mandiri untuk bangsa Israil kepada Edmund de Rothschild.
Maka jangan heran, jika jalan utama di Tel Aviv (seperti Jalan Jendral Sudirman di Jakarta) diberi nama Rothschild Boulevard. Begitu pula, lambang negara Israel menggunakan lambang bisnis Mayer Amschel Rothschild, sang pendiri dinasti Rothschild.
[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Rothschild Boulevard, Tel Aviv (Foto: Waymate.tumblr.com)"] [/caption] Pada awal berdirinya Israel, banyak Rabbi dari suku non Yehuda menolak menggunakan lambang hexagram sebagai simbol negara. Sebab, lambang yang disebut bintang David ini bukanlah lambang religi dari seluruh 12 suku Bani Israil, melainkan lambang sufisme suku Yehuda saja, yaitu Kabbalah.
Namun para Rabbi ini bisa apa? Toh, Rothschild yang bersuku Yehuda itu, sebagai pendana utama negara Israel menghendaki demikian. Maka terjadilah, Kun faya Kun.
Nama Rothschild dalam kancah global tentu sebagian orang sudah tahu betul. Melalui kerajaan bisnis pinjam meminjam uangnya di Eropa jaman tahun 1.800-an, keluarga Rothschild berhasil menata ulang sistem politik sosial dan ekonomi Eropa. Dan kini dunia. Mungkin itu pula yang membuat Rothschild percaya diri mengatakan dalam website resminya “Keluarga Rothschild telah menjadi pusat ekonomi dunia selama 200 tahun terakhir”.
[caption id="" align="aligncenter" width="433" caption="Rotschilds Family (Gambar: Wikipedia.com)"][/caption] Hubungan Rothschild dengan tanah Nusantara sebetulnya sudah berlangsung lebih dari 100 tahun. Demam bisnis minyak pada paruh kedua abad 19 (tahun 1.800-an) dipicu oleh kesuksesan Standard Oil milik John D Rockefeller yang didirikan tahun 1870 di Amerika Serikat. Kesuksesan Rockefeller mendorong Rothschild ikutan mengincar bisnis minyak.
Baku Oil di Rusia adalah bisnis minyak Rothschild yang pertama. Kemudian pada tahun 1885, Royal Dutch milik kerajaan Belanda menemukan minyak di Sumatera, Hindia Belanda. Sayangnya, Belanda sebagai penjajah berkarakter Agraris kurang menguasai bisnis minyak. Rothschild yang melihat “peluang” itu lantas mengakuisisi perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut bernama Shell Transport and Trading Company (didirikan tahun 1833) milik Samuel Marcus. Shell yang semula perusahaan jual beli kerang dan jasa angkut laut, kemudian disulap menjadi perusahaan minyak
Melalui jaringan kuat Rothschild di kerajaan-kerajaan Eropa, termasuk Belanda, kemudian terbentuklah Royal Dutch Shell, kongsi bisnis minyak Rothschild dengan pemerintah Belanda untuk mengeruk minyak Sumatera.
[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="Royal Dutch Shell (Gambar: Wikipedia.com)"] [/caption] Royal Dutch Shell juga menjadi perusahaan minyak pertama yang memiliki kapal angkut minyak untuk melalui Terusan Suez. Terusan Suez adalah kanal yang dibangun oleh dana Rothschild untuk mengangkut minyak dari Baku Oil di Rusia, juga milik Rothschild. Tanpa Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Rusia ke Eropa jauh lebih mahal karena harus memutar Afrika. Besarnya biaya angkut Rothschild sebelum adanya Terusan Suez membuat bisnis minyak Rothschild kalah dari Rockefeller. Dengan adanya Terusan Suez, biaya angkut minyak Rothschild dari Baku Oil di Rusia dan Shell di Sumatera menjadi jauh lebih murah. Kombinasi Baku Oil di Rusia - Shell di Sumatera dan Terusan Suez menjadikan Rothschild sejajar dengan Rockefeller di bisnis minyak. Tak hanya itu, Rothschild juga ikut serta dalam pembentukan British Petroleum, kongsi bisnis minyak antara Rothschild dengan pemerintah Inggris. Jadi jangan heran kalau Rothschild bisa begitu berkuasa di dunia modern ini, beliau termasuk di antara sedikit orang yang mengendalikan bisnis minyak dunia.
Pada sektor tambang, Rothschild juga tercatat sebagai pemilik Rio Tinto yang dibelinya pada tahun 1880. Rio Tinto merupakan raksasa tambang, termasuk yang mengendalikan bisnis batubara Australia bersama BHP Biliton yang juga dikendalikan oleh Rothschild.
[caption id="" align="aligncenter" width="180" caption="Rio Tinto (Gambar: Wikipedia.com)"] [/caption] Lantas apa hubungannya dengan Indonesia masa kini?
Sangat jelas. Rothschild melalui kepemilikannya di British Petroleum, Rio Tinto dan BHP Biliton sempat menguasai aset-aset batubara nasional, terutama sebelum memasuki era milenium. Tambang batubara Kaltim Prima Coal (KPC) sebelum diambil alih grup Bakrie dimiliki oleh British Petroleum dan Rio Tinto, masing-masing memiliki 50% saham, sedangkan tambang Arutmin Indonesia juga dimiliki oleh BHP Biliton dan Yayasan Ekakarsa Yasakarya, sebelum dibeli oleh grup Bakrie.
Ketika masa konsesi KPC di bawah Rio Tinto dan British Petroleum serta konsesi Arutmin di bawah BHP Biliton habis, grup Bakrie melalui Bumi Resources mengambil alih tambang tersebut dari tangan asing, lebih tepatnya Rothschild. Akuisisi grup Bakrie terhadap 2 perusahaan tambang ini tuntas pada tahun 2004.
Kekalahan Rio Tinto, BHP Biliton dan British Petroleum dalam tender KPC dan Arutmin di tahun 2004 tentu saja membuat Rothschild gerah. Rupanya Rothschild tak tinggal diam. Hanya selang 6 tahun, pada tahun 2010, Nathaniel Rothschild, turunan generasi ke 5 dari Nathanael Rothschild, tokoh besar dalam dinasti keluarga Rothschild memprakarsai berdirinya Bumi Plc di London.
Melalui lobi-lobinya dengan keluarga Bakrie, Nat Rothschild berhasil mengajak keluarga Bakrie dan Recapital untuk memadukan Bumi Resources (KPC dan Arutmin) dan Berau Coal di bawah 1 payung Bumi Plc. Tak luput, Bumi Resources Minerals (BRM) yang mengelola sejumlah tambang emas (Newmont, Gorontalo, Palu), seng, timbal dan berlian yang merupakan anak usaha BUMI juga berada dalam naungan Bumi Plc.
[caption id="" align="aligncenter" width="464" caption="Nathaniel Philip Rothschild (Foto: http://thesundaytimes.co.uk)"] [/caption] Kesalahan keluarga Bakrie adalah terlena oleh godaan Rothschild yang merayu grup Bakrie dengan gombal bahwa “Kamu dan keluargamu bisa masuk Eropa bersama saya asalkan kamu mau mengkonsolidasikan tambang-tambangmu di Indonesia bersama Bumi Plc. Percayalah, ini mutualisme. Kamu akan masuk dalam peta global, sedangkan saya bisa kembali ke Indonesia”
Rupanya, kata-kata itu hanyalah upaya Rothschild untuk menggabungkan tambang-tambang batubara dan mineral papan atas di tanah Nusantara ke dalam 1 payung dan kemudian mendesak Bumi Plc menjual seluruh kepemilikannya di BUMI (mencakup BRM). Sangat bergaya Rothschild, jika anda memperhatikan cara Rothschild melakukan hostile takeover suatu perusahaan.
Baru beberapa hari yang lalu kita mendengar pernyataan resmi dari Bumi Plc yang mengatakan bahwa Bumi Plc mempertimbangkan untuk menjual kepemilikannya di BUMI. Banyak pihak yang menduga, Rothschild akan menggunakan perusahaan lainnya untuk membeli BUMI.
Transaksi semu seperti ini memang sangat berciri khas Rothschild.
Kabar terakhir yang saya dapat, Rio Tinto, BHP Biliton (keduanya terafiliasi dengan Rothschild) serta Xstrata sedang bersiap-siap bergabung bersama Rothschild untuk membeli saham BUMI yang akan dijual Bumi Plc.
Xstrata, Rio Tinto dan BHP Biliton merupakan 3 besar produsen batubara dunia. Wajar mereka membidik pembelian BUMI. Krisis ekonomi Eropa dan AS pada tahun 2008 telah membuat permintaan batubara dari negara-negara barat, yang menjadi pembeli utama ketiganya menurun drastis.
Xstrata, Rio Tinto dan BHP Biliton kini mengincar konsumen BUMI yang sebagian besar belum terpengaruh krisis Eropa dan AS. Jepang, hingga saat ini tercatat sebagai importir batubara terbesar di dunia. Dan tahukah kamu, 10% batubara yang dikonsumsi Jepang dibeli dari BUMI. India juga tercatat sebagai konsumen potensial batubara. India saat ini tengah mengincar pembelian besar-besaran dari BUMI,
Kenapa India memilih BUMI, bukan membeli dari Rio Tinto dan BHP Biliton yang beroperasi di Australia? Efisiensi biaya adalah jawabannya. Pengiriman dari Australia ke India dan Jepang tentu jauh lebih mahal ketimbang biaya kirim dari Kalimantan, tempat tambang batubara BUMI beroperasi ke dua negara tersebut.
Fakta tersebut menjadikan kita bisa memaklumi, kenapa Rothschild, Rio Tinto, BHP Biliton dan Xstrata mau repot-repot mengacak-acak saham BUMI untuk membelinya di harga rendah. Tentunya untuk merebut konsumen-konsumen BUMI yang sejauh ini masih terus melakukan pembelian, yaitu Jepang dan India.
Bagaimanakah kelanjutan pertarungan kwartet raksasa global ini dalam upaya menguasai tambang batubara Indonesia?
Simak di bioskop-bioskop kesayangan anda !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H