Lihat ke Halaman Asli

Rattahhandisa

pustakawan

Membangun Tradisi Menulis

Diperbarui: 4 Desember 2024   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Carpe Diem" yang bermakna : "Sesuatu yang tertulis tetap akan dikenang". Tulisan merupakan jembatan  antara masa lalu dan saat ini. Tak mengherankan jika pemikiran Karl Max; William Shakespeare maupun Ir. Sukarno masih hidup, walaupun jasad mereka telah mati. Mereka hadir ketengah-tengah kita melalui buku Das Kapital; Roman Romeo dan Juliet serta Di Bawah Bendera Revolusi. Tulisan dapat menggambarkan tingkat peradapan suatu bangsa. Melalui tulisan paku (hieroglip) yang tertulis diatas lempeng-lempeng tanah maka kita mengetahui kecanggihan arsitektur bangsa Sumeria dengan taman gantungnya. Dan berkat tulisannya, Carl Berstein dan Bob B.Woodland memenangkan Pulitzer karena mereka berhasil membongkar skandal besar water gate. Skandal yang memaksa Presiden Nixon turun dari jabatannya.

Menulis bukanlah monopoli kalangan ilmuwan, cendekiawan maupun wartawan. Hanya saja mereka telah terlatih menuangkan ide yang mereka miliki kedalam tulisan. Pada dasarnya, semua orang bisa menulis karena baca tulis merupakan kemampuan dasar yang diperoleh dari bangku sekolah. Namun ketrampilan menulis masyarakat awam kurang terasah sehingga terkesan menulis sebagai aktivitas ekslusif. Hal tersebut memposisikan menulis sebagai menara gading. Kurang berkembangnya kegiatan kepenulisan disebabkan oleh faktor sebagai berikut:

Rendahnya tingkat melek (literasi)  informasi. Budaya tutur yang mengakar menyebabkan masyarakat awam cenderung menyukai komunikasi lisan. Namun pola komunikasi ini mempunyai kelemahan yakni: informasinya bias dan terbatas jangkauannya. Pola komunikasi terkait erat dengan kegiatan menulis. Karena aktivitas ini memerlukan informasi yang valid, cepat dan tepat. Seiring perkembangan zaman terjadi pergeseran pola komunikasi tradisional ke pola komunikasi modern yang memadukan teknologi komunikasi dan informasi (ICT). Kondisi tersebut jika tidak dipersiapkan secara matang akan memunculkan masyarakat yang gagap teknologi (gaptek). Dan masyarakat gaptek merupakan cerminan dari rendahnya tingkat literasi informasi. Penulis atau calon penulis mutlak menguasai literasi informasi karena hal ini terkait dengan ketrampilan dan  kemampuan berkomunikasi dan menggunakan berbagai media teknologi informasi.

Sikap mudah menyerah. Pesimisme seringkali menghantui calon penulis ketika mengirimkan naskah hasil karya mereka ke media. Apakah naskah yang mereka kirimkan layak muat atau sebaliknya berakhir di bak sampah ? sebuah pertanyaan yang seringkali muncul dibenak calon penulis. Penolakan sah-sah saja terjadi karena hal itu merupakan hak prerogratif editor ataupun redaktur. Editor dan redaktur menjadi penentu nasib naskah karena mereka berwenang menilai kelayakan sebuah naskah berdasarkan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan kesesuaian naskah dengan jenis media yang mereka kelola. Penolakan jangan sampai menjadi trauma bagi calon penulis. Hendaknya penolakan dijadikan sebagai pelecut untuk menghasilkan karya yang lebih berkualitas sembari mengatur strategi menahlukkan editor.

Kondisi politik yang tidak kondusif akan menghambat tradisi menulis. Berdasarkan pengalaman 62 tahun kemerdekaan, hampir separuhnya kebebasan berkarya dan berekspresi kita terpasung. Pola kepemimpinan masa lampau yang represif terhadap media telah memakan korban (baca: pembredelan) beberapa media dengan mencabut SIUP-nya. Hal tersebut terjadi karena penulisan media tersebut dianggap mengancam pemerintah. Sensorship juga diberlakukan bagi karya-karya yang tidak sesuai pola kepeminpinan saat itu. Pramudya Ananta Toer menjadi salah seorang korbannya. Ironisnya karya-karyanya justru dikenal diluar negeri daripada dalam negeri saat rezim Suharto berkuasa. Jika pembredelan dan sensorship dilakukan berdasar subjektivitas pemerintah belaka maka hal itu akan mengekang kreativitas para penulis dan calon penulis.

Keempat aspek diatas merupakan faktor-faktor mendasar yang disinyalir seringkali menghambat berkembangnya kegiatan kepenulisan.

Bagaimana membiasakan diri menulis. ?

Menulis merupakan sebuah ketrampilan. Dia ibarat pisau yang akan semakin tajam jika diasah. Tradisi menulis dapat berawal dari pembiasaan individu yang dilakukan secara kontinyu. Awali pembiasaan tersebut dengan menulis pengalaman sehari-hari pada buku harian atau berkorespondesi. Pembiasaan tersebut akan melatih calon penulis dalam menuangkan ide-ide yang dimilikinya. Biasakanlah membaca atau berdiskusi untuk memperkaya wawasan. Omong kosong jika seseorang mengaku bisa menulis tanpa membaca. Kedua hal tersebut ibarat dua sisi mata uang. Membaca merupakan sarana efektif untuk mengakses informasi karena  informasi dari membaca lebih mudah disimpan otak daripada informasi yang bersifat audio. Sedangkan untuk menggali ide-ide kreatif maka kita dapat bergabung dengan kelompok menulis seperti : Forum Lingkar Pena (FLP), Kelompok Menulis di Koran (KMK) Ledalero maupun Rumah Poetica. Dalam kelompok tersebut kita akan dilatih mengkritisi sesuatu hal melalui diskusi. Proses diskusi tersebut akan merangsang kita berpikir kreatif. Selanjutnya adalah melatih intuisi menulis dengan mengirimkan naskah ke media atau mengikuti berbagai lomba penulisan. Karena semakin sering kita mengirimkan naskah maka semakin tinggi pula jam terbang kita dalam dunia kepenulisan. Dari situlah kita dapat menentukan tingkat kemampuan menulis serta mengidentifikasi spesilaisasi kepenulisan. Karena intuisi menulis terkait dengan kemampuan kita mengendus tema-tema yang lagi hangat untuk dibahas, gaya kepenulisan serta tehnik-tehnik menulis. Last but not least adalah membangun mentalitas pantang menyerah. Seperti dikemukakan diatas bahwa menulis ditentukan oleh sembilanpuluh sembilan persen usaha dan satu persen bakat. Jadi apabila saat ini kita belum mampu menulis maka tidak ada salahnya untuk memulai menulis dan mengirimkan tulisan anda ke berbagai media. Apapun hasilnya maka hal itu harus menjadikan kita terlecut untuk menghasilkan karya-karya yang bermutu. Jadikan menulis sebagai tradisi yang mengangkat harkat bangsa ini. Karena kita telah bosan dicap sebagai bangsa yang bangkrut ataupun Negara sarang teroris. Sekian.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline