Jelang 40 hari meninggalnya bapakku, aku ingin melakukan sesuatu yang setidaknya jauh lebih bernilai dibanding sekadar membagi-bagi makanan selamatan kepada para tetangga. Sederhana saja tujuannya, yakni melanjutkan karya baik bapak. Belakangan ini, aku kerap mendengar orang-orang bercerita tentang bapak. Mereka menilai bapakku orang yang gampang berbagi. Kedua tangannya tak segan memberi sesuatu kepada orang lain. Bahasa jawanya loma. Pantas saja, di hari bapak tiada, aku melihat ada pelayat yang menangis. Belakangan, kuketahui si pelayat menangis karena kehilangan orang baik seperti bapak.
Berbekal kesan baik tentang bapak, aku pun ingin bapak masih bisa berbagi. Kali ini, bapak akan menyantuni lima orang tetangga yang sudah lanjut usia dan memiliki keterbatasan penghasilan.Para tetangga lanjut usia ini sudah tidak mampu bekerja secara maksimal, tetapi masih menanggung urusan domestik rumah tangga. Ditambah saat ini tengah berada dalam situasi pandemi. Jika seseorang cukup bergumul dengan kesehatan, mereka masih ditambah memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup.
Kusampaikan rencanaku kepada adik-adikku bahwa untuk peringatan 40 harinya bapak, akan ada pembagian paket sembako dan masker untuk lima orang tetangga yang sudah lanjut usia. Supaya adik-adikku tahu detail rencanaku, kubeberkan lengkap, mulai dari siapa saja penerimanya, isi paket sembakonya apa saja, paket sembako akan dibeli di mana, begitu pula dengan masker kain yang rencananya dipesan dari temanku yang memproduksi sendiri masker kain dengan kualitas bahan yang bagus, model yang memenuhi standar protokol kesehatan, motif yang menarik, juga jahitan yang rapi. Sungguh, aku tidak ingin setengah-setengah dalam berbagi. Jika memang niat menyantuni, ya harus dilakukan secara total.
Selesai urusan selamatan, aku beralih menyiapkan paket sembako. Untuk keperluan paket sembako, aku belanja beras di Pasar Kranggan sedangkan lainnya di Mirota Kampus. Sengaja aku membeli beras di toko beras langganan keluarga, karena ingin memberi beras yang sama persis seperti yang dikonsumsi keluargaku. Aku ingin tetanggaku nantinya bisa ikut mencicipi nasi yang pulen, enak, dan wangi. Pun dengan barang sembako lainnya seperti gula pasir, minyak goreng, teh, dan biskuit, aku memilih produk yang jadi konsumsi keluarga. Kalau aku dan keluargaku dapat kesempatan mencicipi produk yang baik, maka aku ingin tetanggaku juga beroleh kesempatan yang sama.
September tanggal 15, aku belanja sendiri pakai sepeda motor matic. Pagi, aku ke toko beras lebih dulu kemudian berlanjut ke Mirota Kampus. Melewati lorong-lorong supermarket yang terkenal di kalangan mahasiswa dan mahasiswi yang kuliah di Yogyakarta ini, terbit rasa bahagia di dalam hati. Bisa jadi bahagia karena dapat kesempatan berbelanja. Namun, bila diteliti mendalam, rasa bahagianya karena tak lama lagi, aku bisa berbagi. Aku bisa melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar berucap "kasihan" pada mereka yang satu kampung halaman denganku. Tatkala berhenti di lampu merah pertigaan dekat rumah, lekat kutatap barang-barang belanjaan yang berkumpul di bagian depan sepeda motor. Akhirnya aku mampu meneruskan karya baik yang dilakukan oleh bapak semasa hidup.
Lima paket sembako yang dikemas di dalam kantong kresek warna merah telah siap. Aku tak sabar ingin mengantar ke rumah Mbah Hadi, Pakdhe Hardi, Bu Marsono, Lik Yadi, dan Mbah Joyo. Rumah Mbah Hadi, Pakdhe Hadi, dan Lik Yadi tidak jauh dari rumahku bahkan kami masih bernaung di Rukun Tetangga yang sama. Beda dengan Bu Marsono dan Mbah Joyo. Keduanya beda Rukun Tetangga dan tinggal di pinggir Sungai Code yang membelah Kota Yogyakarta jadi sisi barat dan timur.
Hari masih sore ketika aku mengetuk pintu rumah sederhana Pakdhe Hardi, Mbah Hadi, Lik Yadi, Bu Marsono serta Mbah Joyo. Dampak kurangnya perjumpaan antartetangga, entah akibat pandemi atau aktivitas personal, membuat mereka tidak menyangka aku berdiri di depan pintu rumah mereka kemudian mengulurkan paket sembako. Aku memilih tidak mengatakan alasan pemberian sembako dan membiarkan mereka menerka maksudku. Yang penting, pemberian itu telah sampai ke tangan penerimanya. Aku tak ubahnya seorang kurir JNE yang mengantar paket hingga sampai dengan aman di tangan penerima.
Menjadi saksi kebahagiaan Pakdhe Hardi, Mbah Hadi, Lik Yadi, Bu Marsono serta Mbah Joyo adalah keberuntungan bagiku. Melihat reaksi mereka menimbulkan keharuan. Ketika pintu rumah terbuka, terbuka pula kebahagiaan. Kebahagiaan itu tampak jelas dari senyum, tutur kata nan renyah, dan ucapan terima kasih yang dikatakan berulang kali.
Aku bersyukur boleh mewakili bapak memberikan yang terbaik untuk orang lain. Aku bersyukur, dalam setiap kesempatan berbagi, memberi, menyantuni, aku belajar akan arti kebahagiaan sejati. Kebahagiaan nyatanya hadir lewat aksi memberi. Di dalamnya pun termuat kebersamaan juga semangat persaudaraan meskipun tidak memiliki hubungan darah. Pun, dengan melihat rumah Bu Marsono dan Mbah Joyo yang sederhana dan berada di pinggir sungai, aku diingatkan agar bersyukur dengan segala yang dimiliki saat ini. Semoga aku bisa terus berbagi kebahagiaan dengan Pakdhe Hardi, Mbah Hadi, Lik Yadi, Bu Marsono serta Mbah Joyo yang berada di tempat lain, ya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H