Lihat ke Halaman Asli

Mengapa yang Aku Sayang itu Duriku?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku terjatuh. Ratusan bahkan ribuan kali aku terjatuh. Buaian nikmat itu merusak asaku. Sekeras apapun mencoba tuk pergi. Ia. Si kayu kecil lunak berkulit putih itu, masih mengikutiku.

Semilir angin berhembus. Menyentuh ariku. Tak dingin. Namun dingin. Mereka datang menembus celah-celah ruang hampa dalam gelap. Mereka tertawa melihat tubuh yang dihiasi duka ini. Mereka tertawa melihat gumpalan asap selimuti jiwa dan membius nafasku.

Puaskah kalian? Angin, tak bisakah kau tersenyum? Cukup tersenyum. Semalam saja. Kumohon, malam ini begitu sunyi. Aku takut. Aku takut malaikat maut menungguku. Aku takut akan wujudnya. Mungkinkah ia gemuk? Atau bahkan kurus? Aku takut, angin.

Sejenak rintihku bergerak. Mencoba mencari suara. Ah, sedikit lega, melihat intipan harmonika klasik di bawah ranjang kumuh itu. Namun, aku masih ragu tuk menciumnya. Kembali rintih ini bergerak. Meninggalkan benda kecil yang ingin pelukanku itu. Ah, aku terjebak. Sungguh. Aku benci suasana ini. Tuhan, dihadapanku. Ia tersenyum. Tidak. Itu bukanlah senyuman. Namun hinaan, celaan, atau bahkan jeratan tuk menggodaku.

Ya. Aku ingat rayuan maut itu. Ia datang disiang dan malamku. Menebarkan sejuta rasa menakjubkan dalam tiap hisapan yang kucipta. Hingga aku terus memanggilnya. Bahkan jika nafas sesak ini lenyap ditelan gumpalan asap yang kelilingi hidupku. Bahkan jika suara serak ini bisu tertutup abu. Namun, ia amat labil. Kadang pergi. Lalu kembali. Kemudian pergi lagi. Tuhan, permainan apa ini? Aku ingin tertawa. Namun dadaku sakit. Aku ingin berontak. Namun tulangku nyeri hingga tubuh ini lunglai dan terjatuh. Mungkinkah ini yang disebut zombigaret? Mungkinkah aku seorang zombie?

"Tidak. Tak ada zombie, zombigaret, atau apapun itu. Hanya ada aku. Ya. Kau! Sadarlah! Kau masih bersuara. Apa kau tak marah? Si kayu kecil lunak berkulit putih itu hampir membunuhmu. Tidak. Dia akan membunuhmu. Tidak. Dia belum membunuhmu." Batinku berontak. Tak rela mati dalam sesal.

Sebelum kau lakukan itu. Aku yang lebih dulu akan membunuhmu. Akan kucabik-cabik ragamu, musnahlah! Usus, rusuk, dan semua unsur pembentukmu.

Tuhan. Aku puas. Puas melempar potongannya. Puas membakar nyawanya. Tidak. Aku belum puas. Ku ingin lelaki berjubah putih itu tahu. Tapi, dia tak disini?

"Aku dibelakangmu."

"Ow, kau disini? Hey, kau menikmati pertunjukkanku rupanya."

"Kenapa? Menyesal? Karena masih menghisapnya dalam sakitmu? Atau, menyesal karena telah menghancurkannya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline