Lihat ke Halaman Asli

Ratna Wita

Mahasiswa

Pengaruh Dukungan Sosial dalam Upaya Pencegahan Self Injury pada Mahasiswa

Diperbarui: 29 Oktober 2023   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Di kalangan mahasiswa, kini kian marak timbulnya fenomena-fenomena yang mengkhawatirkan sekaligus perlu dipahami dengan mata terbuka, salah satu fenomenanya ialah self injury atau menyakiti diri sendiri. Studi self injury pada lingkungan perguruan tinggi menunjukkan bahwa sekitar 6% dari kalangan mahasiswa secara aktif melakukan self injury (Whitlock, 2009: 2). Menurut International Society for the Study of Self-Injury (ISSS), self injury adalah perlakuan sengaja dengan merusak jaringan tubuh yang dilakukan tanpa tujuan bunuh diri, tetapi dilakukan dengan tujuan untuk tidak disetujui dalam sosial atau budaya (Whitlock  &  Lloyd-Richardson,  2019). Dapat dipahami bahwa perlakuan self injury merupakan upaya pelaku untuk mengubah emosi negatif yang ada pada dirinya menjadi ketenangan, yang sama-sama kita tahu bahwa hal tersebut tidaklah benar. 

Dalam kehidupan di lingkungan kampus, terdapat beragam hal baru yang perlu dipahami sekaligus dipelajari, bahkan lebih daripada itu, sebagai mahasiswa juga perlu beradaptasi untuk dapat menyesuaikan diri sehingga tercapainya harmoni dan kenyamanan. Namun pada sebagian mahasiswa, hal itu bukanlah persoalan yang mudah untuk dilakukan. Banyak aspek yang membuat dirinya tertahan dan tidak leluasa, sehingga dari hal tersebut timbul juga permasalahan lain yang kian berkaitan. Hal inilah yang menjadi faktor utama pada sebagian mahasiswa yang kesulitan dalam mengendalikan emosi juga dalam menghadapi masalah. Ditambah dengan mereka yang tidak memiliki dukungan sosial untuk dapat melaluinya, hal tersebut mengacu pada pertemanan dan caranya bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya.

Situasi dan kondisi yang tidak stabil dapat memengaruhi ketenangan jiwa seseorang. Apabila tidak ada langkah pasti dan konsisten, maka akan berdampak pada timbulnya perasaan tertekan dan ketidakmampuan mengelola emosi pada orang tersebut. Maka dari hal tersebut, marak mahasiswa yang melakukan self injury. Self injury kerap dilakukan sebagai upaya dari penyaluran emosi yang terlalu menyakitkan untuk dijelaskan melalui kata-kata. Hal ini sesuai dengan penyampaian Grantz (dalam Kanan dkk, 2008: 68), yang isinya menyatakan bahwa perilaku self injury kerap dilihat sebagai cara pengelolaan emosi ketika seseorang tidak tahu bagaimana mengekspresikan perasaan yang terlalu menyakitkan. Menurut Knigge (1999: 1) pengaplikasian bentuk-bentuk self injury yang dilakukan oleh pelakunya memiliki kasus yang beragam. Yaitu pemotongan dengan persentase 72%, pembakaran dengan persentase 35%, memukul dengan persentase 30%, menjambak rambut dengan persentase 10%, mengganggu penyembuhan luka dengan persentase 22%, dan mematahkan tulang dengan persentase 8%. Tentu hal-hal tersebut bukanlah suatu hal kecil yang dapat kita sepelekan, namun sebaliknya hal tersebut merupakan hal besar yang perlu kita pahami lebih dalam serta perlu diberi penanganan yang bijak. Karena apabila self injury dilakukan secara terus-menerus, maka pelaku akan terpengaruh untuk menjadikan dirinya sebagai bahan percobaan bunuh diri. 

Penyesuaian dan adaptasi diri dalam ranah perguruan tinggi terdiri dari berbagai tuntutan yang memiliki beragam bentuk, juga membutuhkan banyak respon coping atau penyesuaian (Sharma, 2012). Lazarus (dalam Safaria dan Saputra, 2009: 97) menyatakan bahwa coping adalah strategi untuk mengelola tingkah laku manusia, lalu merujuknya pada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis. Selain itu juga coping berperan untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, seperti diketahui bahwa coping merupakan semua usaha dengan bentuk kognitif serta perilaku yang berperan untuk mengatasi, mengurangi, dan upaya dalam menghadapi tuntutan-tuntutan dengan perasaan yang stabil, baik tuntutan yang berasal dari individu maupun dari lingkungan. Strategi coping dapat menjadi salah satu langkah untuk menanggulangi tindakan self injury pada mahasiswa. 

Dalam contoh kasus, ketika mahasiswa dihadapkan pada permasalahan akademik seperti ketidaksengajaannya dalam berargumen di kelas, yang dalam argumennya itu terdapat kalimat yang memojokkan dosennya, sehingga ia dianggap tidak sopan oleh dosen tersebut. Dalam kasus tersebut, mahasiswa dapat melibatkan sahabat atau teman lain untuk memahami kondisi dari pandangan lain. Karena bila ia memandangnya hanya dari segi subjektif, maka penyelesaian akan dirasa tidak adil untuk salah satu pihak. Setelah tahu dan memahami dari berbagai pandangan, selanjutnya ia dapat merumuskan dan mencari jalan keluar untuk memperbaiki keadaan serta menyelesaikan masalah, hal ini juga dapat dibantu oleh teman atau sahabatnya. Karena dengan melibatkan teman, sahabat atau orang yang dapat dipercaya dapat menjadi suatu dukungan untuk dirinya, baik dalam segi psikologis maupun realitas. Sarason (1990) menyatakan bahwa dukungan sosial yang didapatkan oleh individu berasal dari lingkungan keluarga dan teman sebaya. Martin, Swartz Kulstad, dan Madson (1999) menyampaikan bahwa dukungan yang dirasakan oleh mahasiswa dari hubungan pertemanan mereka dapat memberikan kontribusi terhadap proses penyesuaian mahasiswa di perguruan tinggi. Karena sudah menjadi pemahaman umum, bahwa sebagian mahasiswa merupakan masyarakat rantau, yang berarti ia memiliki kehidupan dengan jarak yang jauh dari keluarganya. Sehingga permasalahan yang dihadapi oleh sebagian mahasiswa terkadang sulit dilalui dan terasa membebani. Maka dari itu, tiap mahasiswa perlu untuk mempunyai hubungan baik dengan lingkungannya, baik lingkungan pertemanan maupun lingkungan sosial.

Dari pemahaman yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa tindakan self injury dapat dicegah dengan bantuan teman, sahabat, dan orang terpercaya sebagai sosok yang berperan untuk mendengarkan cerita, menemani, hingga memberikan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi. Karena melalui hal tersebut, mahasiswa dapat merasakan bahwa ia tidak sendiri dan memiliki sosok yang mendukung serta dapat dijadikan sandaran ketika ia sedang berada di titik terendah. Orang-orang yang berempati dan memberikan dukungan, baik secara verbal maupun aksi, merupakan bagian dari lingkungan sosial yang berada di sekitarnya. Dan melalui langkah-langkah kecil dari dukungan sosial tersebut, dapat menciptakan kestabilan emosi dan mental, pengelolaan masalah yang baik, serta mencegah mahasiswa untuk melakukan self injury pada dirinya sendiri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline