Lihat ke Halaman Asli

Ratnawati

Seorang ibu, guru, santri, penggiat literasi, aktivis peduli generasi

KDRT Meningkat Bukti Kegagalan Sistem Kapitalisme Menjaga Keluarga

Diperbarui: 10 Agustus 2024   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Balikpapan mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut data DP3AKB, pada tahun 2023 terdapat 132 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, pada periode Januari hingga Juni tahun ini, jumlah kasus telah mencapai 116.

Kepala DP3AKB, Heria Prisni, menjelaskan bahwa kekerasan ini meliputi berbagai bentuk, dengan rincian sebagai berikut: 27 kasus kekerasan fisik, 4 kasus kekerasan psikis, 77 kasus kekerasan seksual, 4 kasus eksploitasi seksual, 1 kasus perdagangan orang, dan 2 kasus lainnya.

Sementara itu menurut data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) 2023. Komnas Perempuan mencatat ada 401.975 kasus kekerasan sepanjang 2023. Kasus KDRT masih sangat tinggi, kekerasan terhadap istri menduduki posisi tertinggi, yaitu 1.573 kasus. Sementara itu, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) yang dilaporkan mencapai 518 kasus.

Adapun untuk menyikapi hal ini, DP3AKB menyatakan akan melakukan berbagai upaya, terutama melalui edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif. Sosialisasi yang telah dilakukan akan ditingkatkan, dengan fokus pada masyarakat umum serta sekolah-sekolah. DP3AKB juga melibatkan psikolog dari Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) sebagai narasumber dalam kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di beberapa sekolah. Harapan DP3AKB, dengan langkah-langkah ini, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan.

Pemerintah sendiri telah membuat Payung hukum yang mengatur spesifik tentang penghapusan KDRT ialah Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. UU tersebut memberikan mandat kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), untuk bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga melalui perumusan kebijakan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sensitif gender, serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

Kekerasan dalam rumah tangga sendiri di artikan dalam UU adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindakan kekerasan yang terjadi dalam keluarga tersebut dinilai oleh pemerintah sebagai akibat dari ketidaksetaraan gender yang melahirkan ketimpangan relasi kuasa. Sehingga pelaku merasa lebih berkuasa dari korban. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ide HAM tertuang dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) adalah sebuah Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip tentang Hak Asasi Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia, norma-norma dan standar-standar kewajiban, serta tanggung jawab negara dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi ini dan pada 24 Juli 1984 telah meratifikasinya melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Dengan diratifikasinya konvensi CEDAW maka Indonesia harus siap membuat program-program yang dilegislasi dalam bentuk UU yang dinilai dapat menghapus diskriminasi terhadap perempuan diantara UU PKDRT, UU TPKS, Permendik PPKS dan lain-lain.

Dengan pandangan ketidaksetaraan gender inilah mereka kemudian memberikan solusi perlindungan hak-hak perempuan dengan mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga dapat dijumpai pasal 51, 52, dan 53 UU PKDRT yang menempatkan tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik, psikis, dan seksual yang dilakukan suami kepada istri sebagai delik aduan. Maka pola pertama penyelesaiannya adalah dengan melalui hukum pidana yang tertera dalam UU PKDRT yang dinilai bersifat refresif. Hal ini ditempuh korban dengan mengajukan laporan di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) disejumlah instansi kepolisian yang berada dibawah naungan satuan reserse kriminal (Satreskrim), perlindungan hukum dan pendampingan terhadap korban.

Kemudiam pola penyelesaian yang kedua adalah diluar hukum pidana bersifat preventif yakni dengan dilakukan pemerintah dibawah kordinasi kementrian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah untuk memberikan informasi, edukasi ke masyarakat.

Pada faktanya 20 tahun sudah UU PKDRT disahkan, Sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif untuk menekan kasus pun dilakukan ternyata tidak membuat kasus-kasusnya berhenti. Namun semakin meningkat dan beragam. Artinya penanganan ini belum menyentuh akar persoalan sehingga tidak mampu menuntaskan kasus KDRT.

Rapuhnya Ketahanan Keluarga

Melonjaknya kasus KDRT menjadi tanda rapuhnya ketahanan keluarga Indonesia. Ketahanan keluarga yang harusnya menjadi benteng terakhir perlindungan bagi seseorangpun telah goyah hingga tak kokoh lagi. Mengapa KDRT terus terjadi bahkkan meningkat? Banyak faktor penyebab KDRT, seperti perselingkuhan, persoalan ekonomi, budaya patriarki, campur tangan pihak ketiga, terjerat judi, dan perbedaan prinsip hidup. Namun, faktor yang paling krusial adalah hilangnya fungsi perlindungan dalam keluarga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline