Sejak kecil saya adalah korban dan pelaku dari budaya kerokanisme.
"Digelegekno, Mbak, biar sembuh," ujar ibu setiap kali mengerok punggung saya. Dengan meringis-ringis saya pun menguatkan diri untuk bertahan dari rasa ngilu bercampur geli dalam prosesi 'sakral' kerokan yang akrab saya terima semenjak kecil. Dan... Haiiik... setelah proses kerokan berjalan sekian menit dibarengi dengan ibu yang 'nenuwun' alias berdoa yang baik-baik untuk saya, maka terbitlah sendawa alias gelegekan yang selalu disambut ibu saya dengan, "Alhamdulillah... keluar penyakitnya, tumus (terkabul) doaku."
Saya sendiri ketika itu tidak mengerti keterkaitan antara sendawa dan kesembuhan, juga sendawa sebagai penanda terkabulnya doa. Jika saya bertanya kepada ibu, jawaban beliau yang paling sering terdengar adalah bahwa ketika seorang anak sakit, maka malaikat akan ada di sekelilingnya. Dan, apabila saat itu seorang ibu berdoa untuk kebaikan-kebaikan anaknya sembari mengeluarkan penyakit dari dalam tubuh anaknya (dengan kerokan), jika si anak bisa bersendawa maka doa ibunya terkabul.
Entah bagaimana saat itu nalar saya menerima penjelasan ibu, tapi yang bisa saya ingat adalah meski tidak dapat dipungkiri bahwa kerokan itu rasanya sakiiiit, tetapi ada rasa nyaman ketika prosesnya berlangsung. Rasa hangat dari minyak kelapa dicampur dengan rempah-rempah seperti bawang merah, jahe dan sedikit minyak kayu putih, berpadu dengan sentuhan tangan dan suara ibu yang menenangkan membuat saya merasa rileks. Lalu ketika proses kerokan selesai maka datanglah kantuk yang mengantar saya ke alam mimpi hingga keesokan harinya bangun dalam tubuh yang segar karena masuk angin dan demam telah melenggang pergi.
Kerokanisme memang akrab sekali di dalam budaya masyarakat Indonesia, termasuk di tanah Jawa sendiri tempat saya tumbuh dan dibesarkan. Kadang-kadang saya juga kebagian tugas untuk menjadi juru kerok untuk orang-orang dewasa di sekitar saya, sebab tangan saya yang katanya mantap ketika memijat dan mengerik.
"Dikit-dikit jangan minum obat," begitu pesan almarhumah nenek setiap kali anak cucunya mengeluh sakit dan merasa tidak enak badan. Ramu-ramuan dari aneka rempah dan tentu saja kerokan menjadi pilihan pertama untuk melepaskan diri dari rasa 'gering' alias meriang yang melanda tubuh. Tradisi itu dipegang kuat dari nenek ke ibu dan anak-anaknya yang lain, ibu ke saya dan adik-adik, hingga kini saya ke suami pun berlaku sama.
Mitos dan Fakta Ilmiah Sendawa Ketika Kerokan
Mengenai keterkaitan antara sendawa alias gelegekan dan kesembuhan serta doa yang terkabul itu belakangan baru saya cari tahu sendiri ketika dewasa di mana letak korelasinya.
Sebagaimana pendapat dari Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo (UNS), Prof. Dr. Didik Gunawan Tamtomo,dr, PAK, MM, M.Kes., jika boleh saya simpulkan secara sederhana dalam proses kerokan terjadi kolaborasi dua fungsi penting, yaitu fungsi biologis dan psikologis. Istimewanya, hal ini tidak terjadi ketika kita memilih minum obat ketika badan terasa demam atau meriang.
Fungsi biologis bekerja pada pembuluh darah yang melebar sehingga pasokan oksigen meningkat. Dengan melebarnya pembuluh darah, maka aliran darah menjadi lancar dan menghadirkan sendawa sebagai penanda keluarnya gas dan udara berlebih dalam lambung yang menyebabkan mual ketika kita merasa "masuk angin". Kerokan juga dapat menurunkan kadar prostaglandin yang bisa menyebabkan nyeri otot, serta menurunkan asam lambung.
Sementara itu, fungsi psikologis juga bekerja ketika proses kerokan tengah berlangsung melalui sentuhan, pijatan, dan obrolan yang terjadi selama kerokan. Seluruh aktivitas itu kemudian menghadirkan rasa tenang bagi kita yang sedang sakit, terlebih jika yang mengerok adalah orang yang dekat secara emosional dengan kita. Kerokan juga dipercaya meningkatkan kadar endorfin yang menciptakan rasa nyaman dan bahagia dan merupakan pengikat hubungan emosional yang cukup kuat.