Teori disruption pertama kali diperkenalkan oleh Christensen. Disrupsi menggantikan "pasar lama" dalam industri dan teknologi untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih lengkap. Itu destruktif dan kreatif. Pemadaman listrik terkesan sangat masif dan tidak biasa, tidak hanya menyasar industri kecil saja, namun perusahaan-perusahaan besar juga tidak luput dari bahaya era ini. Keterbukaan dan kecanggihan menjadi kata kunci bagi para pengelola untuk terus berubah dan meningkatkan kualitas produksi agar mampu terus bersaing. Fenomena baru yang disebut disrupsi merupakan bagian dari globalisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kekacauan sebagai pemusnahan. Diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi merujuk pada perubahan mendasar atau fundamental, yakni berkembangnya teknologi yang bertujuan untuk mengisi kekosongan dalam kehidupan manusia.
Dalam hal sistem pendidikan menengah tentunya akan terjadi perubahan dalam pembelajaran dan pendidikan, ruang kelas yang tidak lagi monoton dengan lingkungan yang membosankan menjadi lebih efektif, efisien dan inovatif. Guru/dosen/pedagog tidak lagi bersaing dengan individu melainkan melawan robot yang diprogram untuk mengingat lebih baik, bergerak lebih cepat dan tentunya tanpa lelah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Banyak tantangan dalam dunia pendidikan tradisional, salah satunya adalah munculnya MOOCs (Massive Open Online Courses) yang menawarkan berbagai atraksi unik dengan segala kemudahannya. Kursus online besar ini memiliki empat fitur utama, tidak ada persyaratan formulir khusus, peserta bebas zona, materi disampaikan sepenuhnya secara online, dan kursus dirancang untuk ribuan pengguna.
Di Indonesia, era disrupsi dimulai dengan banyaknya startup-startup baru yang terus berkembang dengan sangat pesat, seperti Bukalapak, Tokopedia, Gojek dan masih banyak lagi yang muncul sebagai alternatif marketplace yang memudahkan transaksi antara konsumen dan produsen. Titik tolak ini berkembang dan merambah ke bidang pendidikan sehingga melahirkan era baru dalam pembelajaran. Pembelajaran yang biasanya terpusat pada satu titik tertentu dalam ruang dan waktu, kini berlangsung lebih fleksibel, sehingga batas administratif dan sosial budaya semakin tipis di milenium ini.
Perkembangan dunia teknologi dan informasi telah menciptakan situasi tersendiri di media sosial (medsos). Media sosial telah memberikan kebebasan bagi semua orang untuk berbicara melalui akun pribadinya. Media sosial telah menjadi dunia kebebasan tanpa batas, tanpa nilai atau bahkan standar. Kondisi ini memberikan ruang bagi siswa untuk mengkritik keadaan guru jika tidak menyukainya. Tidak jarang siswa mengungkapkan ketidaksenangan dan/atau ketidaksukaannya terhadap guru melalui media sosial. Kritik terhadap guru menjadi perhatian di lingkungan sekolah. Hal ini, baik langsung maupun tidak langsung melalui perundungan di media sosial, telah menjadi sesuatu yang dapat merusak suasana belajar damai di kelas.
Dalam situasi ini, lingkungan sekolah seolah tersandera oleh kebebasan bermedia sosial. Dalam menghadapi kekhawatiran seperti kritik dan tutur kata, teknologi juga memberikan dampak positif terhadap inovasi, yaitu tersedianya kursus online yang dapat digunakan siswa di luar sekolah tanpa interaksi tatap muka.
Layanan pembelajaran online yang mudah digunakan telah menjadi fenomena dan tantangan baru seiring bermunculannya perusahaan-perusahaan yang menawarkan pembelajaran online yang mudah. Iklim pembelajaran saat ini mengurangi kedekatan humanistik antara guru dan siswa, karena digantikan oleh komunikasi tatap muka. Karena era ini harus terjadi dan tidak bisa lagi diabaikan, maka lembaga pendidikan harus merespon dan mengubah model pengajaran yang menekankan nilai-nilai etika, budaya, agama, karakter, pengalaman, dan empati sosial.
Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membimbing siswa menjadi melek media sosial. Hal ini bertujuan agar perkembangan teknologi tidak mengganggu hakikat pendidikan sebagai pengembangan manusia seutuhnya. Disrupsi dalam dunia pendidikan disebabkan oleh perubahan metode pengajaran yang berubah dari berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa..
Referensi
https://vicon.uin-suka.ac.id/index.php/ACoMT/article/download/1042/597/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H