Lihat ke Halaman Asli

Ratna Ning

Ratna Ning, Ibu Rumah Tangga yang masih menulis

Mimi's Job

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Mimi’s  Job



Suatu pekerjaan atau jabatan, jika diberikan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya! Itu kata pepatah.

Tapi bekerja sesuai kata hati dan berdasarkan hoby maka pekerjaan itu akan terasa ringan dan menyenangkan. Bagus pula hasilnya. Itu yang dialami Mimi. Dari pekerjaan satu ke pekerjaan lainnya Mimi berpetualang. Melahirkan beribu kisah yang mengharukan, menyedihkan dan menggelikan.

Petugas Sirkulasi Yang Imut

Suatu siang yang panas, Mimi menjejakkan kakinya di lantai dua perpustakaan umum. Keadaan kantong lagi cekak sementara jiwa kutubukunya sudah haus baca, maka solusi satu-satunya yang paling aman bin murah meriah adalah perpustakaan.

Sebenernya males berkunjung ke perpustakaan. Bagaimana tidak? Begitu datang langsung dihadang oleh muka burung hantunya sang petugas sirkulasi. Dengan khas wajahnya yang kaku, dilengkapi dengan perangkat kacamata baca yang melorot sekian senti dari bola matanya, ia duduk di meja sambil matanya sesekali menatap dingin ke sekitar ruangan. Jika ada yang ribut sedikit, Ia langsung jadi wasit.

“Ssstttt…jangan ribut! Ini perpustakaan! Bukan pasar ayam!” sambil ngasih aba-aba begitu ia akan menekukkan tatapannya dibarengi dengan kacamata yang melorot ke bawah.

Ampun! Boring banget. Jika bertanya tentang buku yang dicari, serta merta ia akan menunjukkan kartu catalog yang tersusun rapi di kotak-kotak di sudut kanan meja sirkulasi. Padahal nyari catalog buat orang awam peningnya melebihi dari mencari bukunya itu sendiri.

Tapi kali ini Mimi sudah kepepet banget. Darahnya sudah menggelegak ke ubun-ubun, memanggilnya untuk segera membaca! Membaca. Kalau tidak dilaksanakan panggilan jiwa itu, Mimi takut wajahnya jadi mengkerut, keriput. Secuil otak kanannya kering kerontang, kayak kopra yang sudah kena pembakaran. Atau lebih serem lagi, kayak vamfire yang kebakar cahaya. Hiiii…syereeemmm.

Itulah! Mimi kini menguatkan hati dan jiwa untuk menjejakkan kakinya di gudang buku gratis ini. Dengan kaki berjingkat takut menimbulkan suara, Mimi sampai juga di depan meja tamu. Petugas jaga menyorongkan buku pengunjung. Mimi mengisinya tanpa bersuara.

Tap! Tap! Kakinya melangkah memasuki ruangan Perpustakaan. Betul saja, di balik pintu, Petugas sirkulasi sudah menyambutnya dengan tatapan statis.

“Pak, saya mencari buku Sosiologi Pedesaan dan beberapa buku sastra lama…”

Petugas sirkulasi mengangguk. Tangannya mempersilahkan mencari catalog di kotak. Mimi menggeleng.

“Saya cari saja langsung di rak ya Pak. Sudah tahu kok dimana letaknya!”

Si petugas mengangguk lagi. Wajahnya sedingin salju. Amboyy Emak…

Tiba-tiba timbul ide konyol di otak Mimi.

“Pak, Bapak sariawan ya?”

Si Petugas yang sudah menunduk taat pada buku tebal di hadapannya, tengadah. Memicingkan mata, menggeleng.

“Tidak ya? Ooohh atau..sakit gigi? Bapak sakit gigi?”

Kali ini si petugas mendelikkan mata, menampakkan wajah sangarnya. Rasanya badan Mimi mengecil seperti semut saking ciutnya.

“Kamu mau nyari buku atau wawancara?” suaranya menggelegar badai. Haiikkk!!!

“Aduhh..Sstttt..jangan ribuuuttt Pak. Ini ruangan baca lho. Tuh lihat, pengunjung pada menoleh ke sini!” Mimi nyengir seraya menyindir. Lumayan, tuh wajah si Bapak sudah tampak seperti manusia. Bukan patung lagi. Hihihi…

“Kalau Cuma mau main-main, silahkan di luar!” si Bapak jadi naik kuda. Ehh naik pitam.

“Aduh Pak, maafff. Saya Cuma mencoba bersilaturahmi saja sama Bapak. Saya kan pengunjung setia perpustakaan ini Pak. Masa tak boleh sesekali bersilaturahmi…”

“Silaturahmi nanti Lebaran. Kamu nggak tahu ini Perpustakaan?”

“Ihhh kata siapa Gedung Dewan pak? Ya tahulah!”

“Nah kalau sudah tahu, kamu tahu kan aturannya kalau di Perpustakaan? Datang ke sini tuh buat melihat, membaca…”

“Itu kalau sama buku. Tapi Bapak kan bukan buku. Bagaimana saya bisa melihat dan membaca? Wong di wajah Bapak gak ada hurufnya kok!” Mimi makin ndablek.

Wajah si Bapak kelihatan lebam. Menahan amarah dan mungkin rasa ingin sesuatu. Campur aduk dengan rasa ingin buang angin. Aduh ni anak. Wajah sama kelakuan nggak singkron banget. Pake jilbab tapi ngacangin orangtua. Kalau saja kertas, mungkin dari tadi udah diremas-remas sampai lecek. Bathin si bapak ngedumel.

“Kalau kamu masih mau ngobrol, mari ikut saya ke luar!” sambil ngomong begitu, si Bapak menarik tangan Mimi dan membawanya keluar ruangan Perustakaan. Spontan saja Mimi meronta. Terjadi adegan tarik menarik dalam gaya slow motion. Kebayang kan? Mereka tampak seperti sepasang aktris India yang sedang beradegan romantis.

“Hei…hei…hei, ada apa ini?” suara berat namun terkesan berwibawa membuat kegiatan dua orang yang beradegan film India itu berhenti.

Pak sirkulasi itu manggut dan langsung membawa tunduknya begitu melihat siapa yang datang. Mimi menatap Bapak berwajah bersih dan berpeci itu diiringi senyum innocent.

“Siang Pak. Maaf, Mimi mau nyari buku rujukan nih. Ohya, Bapak masih ingat kan sama Mimi? Mimi pengunjung setia perpustakaan ini lho!” sapa Mimi.

to be continued

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline