Lihat ke Halaman Asli

Sarjana Itu Lahir dari Balik Kemudi...

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_133799" align="alignnone" width="680" caption="ilustrasi: forum.vivanews.com"][/caption]

Merindukan metro mini seperti merindukan sisi lain kehidupan yang sesungguhnya tak ingin ku jamah dan ku sentuh. Namun sisi-sisi unik metro mini kerap mengantarkanku menuju suatu pelajaran yang tak mungkin kudapatkan di atas Mitsubishi hitam ku yang sesungguhnya menawarkan kenyamanan dan keistimewaan.

Namun bukan itu yang ku cari disini, meski kerap terlihat asing aku berusaha mati-matian agar sosok-sosok metro mini menerimaku dengan ulurannya hanya sekedar berbagi kisah dan cerita.

Sosok sederhana ini aku kenal dari sebuah jurusan di jalur ke empat Terminal BLOK- M dengan seri trayek 69 jurusan BLOK-M ke Ciledug.

Lelaki paruh baya ini menghabiskan hari-harinya hanya di balik kemudi metro mini sejak tahun 1976 hingga saat ini. Lelaki paruh baya ini tidak pernah berganti profesi. Paling hanya berganti trayek jurusan saja.

Seperti pagi yang lalu. Berdesakan dengan para penumpang hanya untuk mencari kenyaman di dalam metro mini yang 'ngap' dan penuh aroma solar, bensin, oli, asap rokok dan parfum murahan serta aroma keringat para pencari kelayakan hidup di Jakarta. Aku ikut asyik ria meski dengan kepanikan luar biasa menikmati paginya Jakarta yang kerap berpacu dengan sang waktu. Hufff.., akhirnya kudapatkan juga bangku favoritku, ya duduk disamping pak supir....

Asap mengepul, bergulung-gulung melingkar seperti bola-bola lalu pecah oleh angin, saat di hembuskan dari bibir kasar dan hitam lelaki supir itu. Ya..., asap rokok yang keluar dari celah-celah bibir lelaki paruh baya itu menemani sang lelaki itu yang menatap kosong ke arah jalanan. Dasar otak yang selalu usil dan ingin tahu, iseng aku curi-curi kesempatan melirik dan menganalisa apa yang ada di benak si supir itu. Harapan kosongkah atau semangat hidup yang tinggi? Ternyata Tuhan mendengar pinta ku. Si lelaki tua itu memberikan senyuman teduhnya kapadaku. Tanpa membuang kesempatan aku menyapa dengan senyum manisku.

"Pagi ini lumayan ramai ya pak."

"Iya mbak, alhamdulillah... lumayan bisa buat tambah bayar semesteran anak saya yang Ragil."

'Anak saya yang Ragil,' berarti yang bungsu. Aku berpikir berapa jumlah putra bapak ini? Lalu sambil sesekali menyesap tembakaunya lelaki tengah baya itu bertutur sederhana kepadaku sambil menunggu metro mininya mulai penuh.

"Saya ini orang gak sekolahan mbak. SD saja saya tidak lulus tapi yang penting saya bisa baca dan coret-coret buat tanda tangan meskipun cuma sederhana. Tapi saya memiliki mimpi besar yaitu dari tangan supir metro mini ini saya bisa mengantarkan anak-anak saya untuk menjadi sarjana. Biar mereka memiliki hidup layak tidak seperti bapak juga ibunya yang hanya penjual rokok di pinggir jalan dekat kampung saya. Anak saya lima dan saya bersyukur ketiga anak saya sudah sarjana. Ada yang lulusan IAIN, UNBRAW lalu STAN dan yang Ragil ini di BSI. Tapi yang nomor dua lulus STM dia ikut program BLK lalu jadi TKI ke Jepang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline