Lihat ke Halaman Asli

Aku Bukan Budak Lagi

Diperbarui: 24 Agustus 2024   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terlihat sebuah dahi yang berkerut di wajah majikanku yang menungguku di depan pintu, dengan kedua tangannya yang bersila didadanya. Perasaanku sudah tidak enak dan memang nyatanya memang benar tentang apa yang aku rasakan.

Aku melihat mulutnya yang komat-kamit tidak karuan dengan cipratan air liur yang keluar dari mulutnya karena tidak henti-hentinya memarahiku, karena aku salah menaruh bekal untuk kedua anaknya. Salsa dan marsya namanya. Yang satu telur mata sapi yang satunya telur dadar.

Seperti biasa aku memasang earphone yang tidak kasat mata ditelingaku, berpura-pura tidak mendengar dan langsung bergegas menyiapkan makan siang untuk nyonya dan tuan, dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuhku yang kurus ini.

Aku masih kelas 2 SMA, sekolahku tidak jauh dari rumah majikanku, sebut saja pak adi dan nyonya karin. Aku bekerja untuk mereka sejak kelas satu SMP dan tinggal bersama mereka. Awalnya saudaraku yang menawarkan bantuan keibuku, agar aku ikut nyonya karin asalkan bersedia tinggal serumah dengannya menjadi pembantu dengan semua fasilitas yang disediakan, tapi nyatanya tidak. Aku hanya mendapatkan makanan sisa dan biaya sekolah yang selalu menumpuk karena tidak dibayar dengan dalih nanti-nanti. 

Ibuku yang tidak ingin melihat anaknya putus sekolah langsung menyetujui tawaran itu, sedangkan aku saat itu tidak setuju karena harus jauh dari ibuku, tapi apa yang ibu bilang saat itu.

"Ibu mau jadi TKW saja." Ucapnya dengan yakin

Aku tidak bisa berkata-kata lagi, hanya bisa patuh.

Kehidupan yang aku jalani sebagai siswa yang berprofesi sebagai pembantu yang tinggal dengan majikan dan ke empat anaknya. Sungguh berat.

Tapi setidaknya aku harus mendapatkan ijasah SMA supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan segera meninggalkan tempat ini.

Setiap malam aku lebih sering menangis dipojokan kamar pembantu yang lumayan sempit, yang cukup untuk menampung kasur kecil dan satu lemari plastik warna-warni.

Aku belajar tanpa meja belajar, lantailah yang menjadi meja belajar dan kursiku. Sungguh aku merasakan betapa dinginnya saat musim hujan tiba.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline