Lihat ke Halaman Asli

Ratna Dewi

Ibu rumah tangga senang jalan-jalan dn kuliner

La Galigo: Mengembara dari Tanah Liat ke Tiga Dimensi Kehidupan

Diperbarui: 15 Mei 2016   12:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat Malam, Graha Bakhti Budaya, TIM : Saya berjalan memasuki beranda gedung teater yang diremikan pada 1982 lalu itu.  “I La Galigo Asekku”, adalah judul pentasnya. Dan sungguh belum ada pengetahuan tentang La Galigo kecuali namanya kebetulan sama dengan nama sebuah museum di Fort Rotterdam di Makassar.

img-3912-57380b3d0f97734705e7a7d0.png

Namun yang dijumpai di beranda GBB, sambil menenteng buku kecil tentang I La Galigo Asekku , adalah lukisan-lukisan cantik yang bentuknya aneh. Hanya ada satu warna, kuning kecoklatan.  Ternyata ini adalah pameran tunggal pelukis Zainal Beta , yang merupakan seniman asal Makassar yang menggunakan media tanah liat untuk mengekpresikan perasaannya dalam lukisan.

img-3937-57380b531dafbd6507d59a84.png

Terlihat lukisan-lukisan abstrak yang bisa ditafsirkan berbeda oleh setiap orang yang melihatnya. Namun ada satu yang cukup berkesan, yaitu lukisan yang diberijudul Mental Revolusi.  Terlihat bagaikan sebuah bintang yang memancarkan cahaya ke sekitar. Menjadi pusat terang yang memberi cahaya dan bimbingan.

Tapi sudahlah, tujuan ke GBB ini toh bukan untuk melihat pameran lukisan,  Buku kecil itu mulai dibaca sambil menunggu pertunjukan dimulai.  Apalagi ada makanan kecil dan minuman gratis dilantai atas.  Informasinya sekilas mengenai karya besar yang berupa epos dan mitos orang Bugis: Yang mengambil tempat di tanah Luwu. Yang bercerita mengenai asal mula kehidupan manusia Bugis , yang kemudian menjadi nenek moyang para raja.

img-3944-57380b691093730205e40256.png

Pertunjukan dimulai, saya sudah mempunyai bekal bahwa kisahnya akan dimulai ketika para dewata , yang dipimpin oleh yang Sang Penentu nasib, akan mengutus Batara Guru untuk menjelma menjadi manusia dan hidup di dunia tengah yang masih kosong melompong sebagai Mula Tau atau Pemula Manusia.  Lalu  Batara Guru menikah dengan We Nyiliq Timoq, puteri penguasa dunia bawah dan kemudian menurunkan semua ummat manusia.

img-3955-57380b7c8d7a613310d44516.png

Namun kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan kali ini, adalah penggalan yang paling populer, yaitu tentang Sawarigading, putera Batara Latuq yang dilahirkan kembar dengan I Tenri Abeng.  Suratan nasib sudah tertulis bahwa dia akan mencitai saudara kembarnya sendiri dan karenanya harus pergi mengembara jauh .  Tidak berlebihan kalau kemudian Luwu mendapat julukan sebagai Bumi Sawerigading.

img-3953-57380b95927e615f05523ce8.png

Tampilan panggung terlihat sederhana. Tata Lampu juga tampil seadanya. Para penari bergerak perlahan diiringi narasi dalam bahasa Bugis yang disertai ringkasan terjemahan dalam Bahasa Indonesia.  Mereka bergerak kadang-kadang dalam bungkusan kain-kain panjang yang membuat tarian tampak indah penuh  misteri. Namun selain bergerak lambat, sesekali tuntutan cerita serta  dinamika koreagrafi mengharuskan mereka bergerak dinamis dengan cepat.

img-3963-57380be36723bd38055f768c.png

Ketika cerita mulai bergulir, barulah para pemain melengkapinya dengan dialog disertai  vokal yang lumayan jelas dan untungnya dalam bahasa Indoneisa sehingga penonton dapat menikmati kisah dengan lebih baik.  Dimulailah pengembaraan Sawerigading mengikuti anjuran I We Tenri Abeng unuk mencari kekasih hati yang serupa wajah dan bentuk tubuhnya denga sang saudari kembar.  Wanita itu adalah I We Cudai dan merupkan putri raja Cina.

img-3965-57380bf490fdfd0410062c68.png

Pelayaran ke Cina melalui tujuh samudera, melewati berbagai percobaan dan harus mengalahkan barisan perompak dan bajak laut. Namun dengan keteguhan hati, Sawerigading pun mamu mencapai negri Cina. Bertemu dengan kekasih impian, mengajukan lamaran dan akhirnya setelah lulus melalui berbagai ujian dan permintaan mahar dapat bersanding dengan I We Cudai.

img-3966-57380c070f97734305e7a7b6.png

Singkatnya banyak cobaan yang dilalui sebelum anak pertama lahir dan kemudian menjadi dewasa. Anak lelaki inilah yang kemudian tampil mengguncag dunia dengan berteriak “I La Galigo Asekku”  Namaku I La Galigo.  Dan I la Galigo sendiri dalam bahasa Bugis setempat, bahasa Bugis dan Luwu, berarti Kerumitan.   Nama I La Galigo inilah yang kemudian akan terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai karya sastra yang paling panjang dan memperoleh penghargaan dari UNESCO.

img-3984-57380c1bb99373241959ad13.png

Sekitar jam 10 malam, pertunjukan pun usai. Seluruh pemain dan pendukung naik ke panggung. Sebagian lagi berfotoria bersama di beranda. Semua bergembira. Kerja di Jakarta sudah usai. Tinggal menunggu tugas yang sama di Paris nanti.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline