Sampai dengan minggu lalu, keseluruhan rangkaian Pemilu 2014 adalah sebuah prestasi karena hasilnya tidak mudah diprediksi. Menurut para ahli di dalam dan luar negeri, salah satu indikasi bahwa demokratisasi di sebuah negara sudah maju adalah tidak mudah bagi kelompok tertentu untuk mangatur hasil sebuah pemilihan umum.
Untuk prestasi tersebut para tokoh politik nasional, khususnya pimpinan partai politik, boleh dan perlu diapresiasi. Kenapa? Karena politik yang bermanfaat adalah gabungan dari idealisme, ilmu (science) dan seni (art). Dengan "ilmu" (science) para pimpinan partai politik bisa mengidentifikasi dan mengukur aspirasi pemilih melalui berbagai survei dan teori.
Melalui "seni" (art) para pimpinan partai politik saling mengungguli antara satu dengan yang lain. Banyak kompromi dan pragmatisme dalam seni politik ini, tapi tetap tidak menurunkan kualitas demokrasi selama dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan pemilih.
Sedangkan idealisme membungkus keduanya dalam satu platform yang terarah, berkarakter, dan mementingkan kepentingan masyarakat. Idealisme masing-masing tokoh atau koalisi antara beberapa tokoh/partai bahkan menjadi arah perjalanan bangsa dan negara ini.
Ketika salah satu dikesampingkan, dapat dirasakan menurunnya kualitas masing-masing partai dan tokoh dalam hal kepemimpinannya dan kelayakannya untuk terus didukung. Contoh saja, ketika science dikesampingkan, yang terjadi adalah diskoneksitas atau "tidak nyambung"-nya prilaku politik dengan aspirasi pemilih. Bisa saja sebuah parpol atau tokoh membuat langkah-langkah atau pernyataan yang seru dan menarik perhatian pemilih.
Tapi ketika "tidak nyambung" atau bahkan kontradiktif dengan aspirasi pemilih, hasilnya pasti kontraproduktif. Contohnya adalah pernyataan cawagub Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI Jakarta lalu ketika menghina Basuki Purnama (Ahok) dengan pernyataan yang "rasis". Langsung saja pasangan Foke-Nara ditinggalkan pemilih karena sudah jelas pemilih di jakarta adalah masyarakat modern yang tidak setuju dengan SARA.
Ketika "art" tidak dikuasai, yang terjadi adalah politik yang tidak menarik, karena mudah ditebak sehingga tidak menyegarkan pemilih. Contohnya adalah ketika Jokowi bolak balik hanya mengandalkan "blusukan" tapi tidak melakukan langkah-langkah atau mengeluarkan pernyataan yang substansial, media massa dan pemilih mulai bosan karena Jokowi mulai ketahuan dangkal. Di saat yang sama, pemilih juga sudah lelah dengan "pencitraan".
Sedangkan ketika idealisme dikesampingkan, dan pemilih mulai merasakan bahwa langkah-langkah politik adalah untuk kepentingan si pelaku politik dan kelompoknya, maka baik "science" maupun "art" menjadi tidak ada artinya. Bahkan sudah tidak relevan karena kepentingan pemilih sudah tidak lagi menjadi bagian dari pertimbangan politik si partai atau tokoh politik yang sedang menjadi perhatian.
Contoh konkritnya adalah langkah dan prilaku politik SBY dalam setahun terakhir. Apapun yang dikatakan atau dilakukan SBY ditanggapi dengan dingin bahkan sinis oleh masyarakat. Bahkan Konvensi Partai Demokrat pun sudah dianggap "non event" dan tidak relevan oleh pemilih. Sebabnya karena pemilih tidak merasakan niatan yang tulus dan idealis dibalik pernyataan dan prilaku SBY.
Masyarakat merasa tahu bahwa metode konvensi yang notabene sangat baik dan modern, dan yang seharusnya sangat menarik untuk diikuti itu semata-mata hanya untuk mengembalikan citra partai demokrat dan SBY serta kelompoknya saja.
Akibatnya, tokoh-tokoh muda seperti Gita Wirjawan, Anies Baswedan dan Dino Pati Djalil yang punya citra sangat baguspun jadi ikut tercela. Bukan hanya itu, Marzuki Alie, salah satu unggulan Konvensi yang sekaligus juga Ketua DPR-RI, ikut dihukum oleh rakyat dengan tidak mendapatkan kursi dalam pemilihan legislatif di dapilnya.