Lihat ke Halaman Asli

Untukmu, yang Menulis Sepi

Diperbarui: 22 Mei 2021   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat perkamen yang sering kamu tulis di hatimu untuk dr. Hans ?. Sore ini terlalu banyak angin rupanya, hingga kabar tentang dr.Hans akhirnya terbang terbawa angin bulan Mei ke arahmu. 

Tentu hatimu berdetak lebih cepat, seperti biasanya jika kamu mendengar sesuatu tentangnya. Aku bisa melihatnya, kedip matamu menandakan kegelisahan yang mati matian ingin kamu sembunyikan. Hembusan panjang nafasmu menandakan kamu sedang mengingat sesuatu yang muncul dari belahan hati yang sudah kamu kunci rapat rapat. 

Kamu duduk terdiam di taman kota yang mulai meredup langitnya. Rupanya tidak mudah bagimu beranjak dari perkamen perkamen yang sudah usang itu. Pada akhirnya kamu harus membaca kembali satu persatu tulisan hati yang membuatmu terjerembab dalam ketidakseimbangan nalar.

Katamu dengan bulir embun di sudut mata, " Dia akan pergi jauh ke negeri seberang melanjutkan sekolahnya, mungkin 5 tahun "

Apa bedanya bagimu, dia pergi ke negeri seberang atau sampai kutub utara sekalipun. Apa beda nya bagimu dia pergi 5 Tahun atau 10 tahun. Toh kalian sekarang tidak pernah bertemu dan berbicara apapun juga. Ada bentang jarak yang tidak tau siapa duluan yang menciptakan. 

Katamu lagi dengan bulir embun yang  mulai mengalir jatuh, " Entahlah, mengapa aku harus merasa kehilangan sesuatu yang tidak aku miliki. Mungkin aku rindu, itu saja ".

Untuk apa  kamu masih menyimpan perkamen perkamen hati yang lusuh itu, jual saja di pasar loak ujung jalan. 

" Aku tidak ingin menyimpannya, aku tidak membawanya dalam hidupku. Aku sudah menyelesaikan keseluruhannya ", katamu sambil menatap langit sore yang mulai memerah saga. 

Semoga saja perkamen hatimu yang diterbangkan angin sore ini memang hanya serpihan kenangan yang nanti akan hilang dengan sendirinya seiring senja berganti malam. 

Dengan senyum getir tersemat di ujung bibirmu kamu berucap lirih , " tidak ada yang lebih mendebarkan dari pertemuan yang tidak disengaja, aku berharap saat itu datang, aku hanya ingin melihatnya dan itu cukup ".

Sepertinya seluruh indramu hari ini bersekongkol untuk mengkhianati usahamu melupakannya. Dan dalam temaram lampu kota yang mulai dinyalakan kamu kembali menuliskan sesuatu pada palung hatimu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline