Apa itu RDTR OSS dan Taksonomi Hijau?
Rencana detail tata ruang atau disingkat RDTR adalah instrumen penataan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang. Sebagai instrumen, RDTR menjadi alat utama dalam menilai dan menindak dengan sanksi hukum pada penyelenggaraan tata ruang yang tidak sesuai peruntukan kegiatan dalam raperda (sekarang ranperkada) yakni rancangan peraturan daerah. Namun pada sisi lainnya, RDTR juga berfungsi sebagai pendorong berbagai kegiatan investasi sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Cipta Kerja, bahwa RDTR selain berfungsi sebagai pengendalian ruang juga berperan dalam memacu investasi daerah.
Tentu saja, makna investasi dalam kegiatan RDTR ini adalah tata kelola kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan. Mengapa RDTR memiliki peran sentral yang cukup penting dalam fungsi pengendalian dan pendorong kegiatan investasi? Karena penyusunan peta pola ruang dalam RDTR telah melalui tahapan di berbagai level, mulai dari tingkat kabupaten, provinsi hingga lintas sektor/kementerian. Materi Teknis RDTR juga diuji dengan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) sehingga dapat dipastikan, bahwa rencana pola ruang yang terlampir dalam ranperkada telah melalui proses validasi lintas sektor, kelembagaan, institusi sosial dan metode ilmiah.
Sebagai penggerak utama dan pintu masuk kegiatan investasi, RDTR OSS (Online Single Submission) sebagai sistem perijinan usaha elektronik menjadi bagian penting dalam menilai atau dapat dijadikan indikator performa pola ruang untuk kegiatan investasi hijau. Indikator dalam menggerakkan investasi hijau diawali melalui taksonomi hijau.
Taksonomi hijau sendiri adalah langkah awal pada roadmap keuangan berkelanjutan tahap II yang direncanakan oleh pemerintah (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai bentuk dan rujukan Kementerian/Lembaga (K/L) terkait dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif pembiayaan inovatif. Sebagai rujukan, taksonomi hijau dapat mewujudkan tercapainya target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim menjadi sebuah agenda penting bagi para pemimpin. Dengan demikian, penerapan investasi hijau melalui taksonomi hijau akan menjadi "new normal" bagi berbagai sektor jasa keuangan.
Otoritas jasa keuangan telah merilis resmi panduan taxonomi hijau Indonesia edisi 1.0 -- 2022. Penyusunan taksonomi hijau telah melibatkan delapan kementerian terkait, yang mencakup sekitar 43 Direktorat Jenderal dan Unit Eselon I lainnya untuk mengkonfirmasi ambang batas (threshold) kriteria hijau yang tercantum dan telah didasarkan pada kebijakan, serta ketentuan yang berlaku. Taksonomi hijau bertujuan menjadi alat bantu dalam proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/ pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat (greenwashing).
Yang menarik dari penyusunan taksonomi hijau adalah integrasi KBLI atau klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia dimanan KLBLI ini tidak hanya fokus pada subsektor/kelompok/kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai hijau, namun disertakan juga sektor/kelompok/kegiatan usaha yang belum terklasifikasi ke dalam kategori hijau. Klasifikasi kriteria pada taksonomi hijau dibagi menjadi tiga kategori yaitu: Hijau (do not significant harm, aplly minimum safeguard, provide positive Impact to the environment and align with the environmental objective of the Taxonomy), Kuning (do no significant harm), dan Merah (harmful activities).
Lantas, Bagaimana Penerapan atau Integrasi KBLI RDTR OSS dengan Taksonomi Hijau?
Taksonomi hijau merupakan bagian dari pembahasan dalam presidensi G20, dimana lembaga keuangan didorong untuk melakukan obligais hijau. Bank Indonesia sendiri mencatat jumlah obligasi hijau di Indonesia telah tumbuh signifikan, sebesar USD 482 Miliar. Taksonomi hijau terdiri dari lima sasaran utama untuk meminimalisir dampak finansial sistem investasi konvensional.
Transisi investasi konvensional menuju investasi hijau memiliki tujuan besar dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim yakni kerusakan fisik aset (infrastruktur perkotaan), gangguan pada produksi, gangguan pada rantai pasokan, gangguan pada harga bahan baku dan perubahan pada permintaan produksi. Melalui transisi menuju investasi hijau, pemerintah menyasar lima aspek dari taksonomi hijau yakni (1) membangun keuangan berkelanjutan, (2) implementasi: pelaporan aspek lingkungan, (3) pengembangan program, (4) inovasi produk dan layanan keuangan berkelanjutan, dan (5) kampanye nasional keuangan berkelanjutan.
Pada bagian implementasi pelaporan aspek lingkungan, taksonomi hijau menggunakan pendekatan kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL) yang terdiri klasifikasi/simbol perwarnaan hijau, kuning dan merah. Setiap warna ini merupakan kode dengan level risiko lingkungan yang berbeda-beda. Melihat sasaran dari taksonomi hijau tersebut maka hal ini rupanya juga sejalan dengan sistem peraturan zonasi dalam RDTR (Rencana Detail Tata Ruang).