Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Kota, Antara Ruang Distopia dan Utopia

Diperbarui: 8 Oktober 2021   07:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangunan tinggi (Dokumen Pribadi Ratih)

Hari ini saya merasakan bagaimana sebuah perubahan benar-benar terjadi secepat kedipan mata hingga nyaris tidak terasa sama sekali. Itulah pengalaman yang saya rasakan ketika melewati satu koridor jalan kabupaten yang menghubungkan Kota Jogja-Klaten-Solo. 

Koridor jalan ini mengalami perubahan tata guna lahan cukup signifikan hanya kurang dari setahun karena pembangunan hotel dan jasa. Ada yang berubah dari lahan kosong atau semak tak terurus lalu tiba-tiba berdiri sebuah gedung megah, atau bangunan-bangunan lama yang mulai merubah fasad mengukuti tren arsitektur kekinian. 

Ajaibnya saya hampir tidak begitu merasakan adanya perubahan kecuali karena setelah bangunan baru itu berdiri dengan kondisinya yang mencolok, ketinggian yang mencapai puluhan lantai (rata-rata apartemen). 

Tidak sedikit yang mendiskusikan perubahan Yogyakarta khususnya yang terjadi di kawasan Aglomerasi Sleman (Kecamatan Depok, Mlati, Ngaglik, Godean dan Gamping) dalam komunitas perkotaan hingga penelitian-penelitian khusus yang tersebar di ruang digital universitas. 

Semua merasakan kegelisahan yang sama, bahwa Yogyakarta memang sudah mengalami perubahan lazimnya kota-kota metropolitan yang bergerak secara progressive, melesat maju hingga tak menyisakan lagi sejumput memori lama yang terpancar dari citra kota yang selama ini dibangun, sebagai kota yang inklusif, sederhana dan terkesan leyeh-leyeh

Lalu apakah sebuah perubahan kota itu salah? bukankah sejatinya sebuah perubahan itu  mutlak. Tidak, ini tidak salah. Saya hanya ingin menandai pemicu yang mempengaruhi terjadinya perubahan signifikan dalam tata ruang perkotaan, setidaknya yang saya amati dalam tiga tahun belakangan ini. 

Oke, mari kita sedikit berbicara agak teknis, jangan iritasi ya :)

Apa Pemicu Lambatnya Pengendalian Tata Ruang?

Secara teknis perencanaan tata ruang perkotaan telah diatur dalam sebuah kajian Rencana Detail Tata Ruang, di mana aturan ini akan mengikat semua fungsi bangunan di daratan dengan skala kedetilan 1:5.000. 

Artinya adalah setiap persil bangunan per bangunan telah terpetakan secara detail dengan menggunakan beberapa standarisasi citra satelit melalui proses pengukuran titik ikat bumi kemudian melakukan proses ortorektifikasi di mana selama proses tersebut Badan Informasi Geospasial terus memantau melalui proses konsultasi/asistensi (kalau saya jelaskan prosesnya maka satu artikel ini saja tidak cukup :). 

Itu baru urusan perpetaan, kita belum masuk ke tahapan lain yakni uji materi teknis sebagai dasar penyusunan naskah akademik, dan uji lingkungan yang dikenal dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline