Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Polusi//3: Bintang yang Menghilang dari Kubah Gemilang

Diperbarui: 25 Februari 2019   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ind.sciences-world.com/freely-shared-satellite-data-improves-weather-forecasting-88949

Sebuah malam yang sejuk, tidak terlalu dingin, dan tidak terlalu hangat. Saya mendapatkan kesempatan langka yang sebagian orang kota sebut sebagai privilege: menikmati udara sejuk perbukitan sabana yang berbatasan langsung dengan Pantai Selatan Jawa. 

Aktivitas luar ruangan secara berkelompok ini telah menjadi harta karun bagi sebagian orang, di mana siklus sirkadia tubuh yang kerap kali tercabik-cabik aktivitas hipe di kota seperti diatur kembali mengikuti jam terbit dan tenggelamnya matahari. 

Sebuah pengalaman yang khusuk, terlebih-lebihnya, karena secara visual kita jauh dari gemerlap lampu LED perkantoran dan kerlip-kerlip residual kafe di kejauhan dari kendaraan-kendaraan yang berseberangan. Galaksi Bimasakti tertangkap oleh keahlian seorang kawan, dan kami merayakannya seperti anak kecil yang telah lama menantikan hujan.

Galaksi Bimasakti memerlukan tingkat kegelapan langit yang sangat dalam, dengan gangguan cahaya sekeliling pengamat (jika kamu berada di Bumi) mendekati nol. 

Kerlip bintang--yang jarak aslinya dari bumi sekira 30 tahun cahaya--sebagai perbandingan, baru akan nampak di mata pengamat jika tertangkap retina pada magnituda kenampakannya di kisaran -1,5 (paling redup) hingga 4 (paling cemerlang), bulan sekitar -12 sedangkan matahari -26,7. Semakin tinggi magnitud, semakin cemerlang kenampakannya dari mata kamu di bumi.

Bimasakti, atau lebih tepatnya, piringannya, akan nampak di bumi dengan kecemerlangan jauh di bawah bulan dan bintang. Yang berarti, dibutuhkan latar langit yang jauh lebih kelam agar galaksi tempat kita tatasurya kita itu nampak oleh mata.

 Inilah yang saya katakan sebagai harta, karena menemukannya di langit adalah sebuah kemenangan visual. Sebuah penemuan yang mustahil ditemukan dari persimpangan jalan kota yang benderang.

Penemuan kami (atau lebih tepatnya, hasil jepretan kamera kami), akan piringan Bimasakti di belahan selatan langit Jawa kala itu hanya sepekan sebelum Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) merayakan setahun ditetapkannya Hari Antariksa Nasional, yang jatuh pada 6 Agustus setiap tahunnya sejak 2017 kemarin. Sedikit ironis, karena Indonesia terhitung terlambat mengikutkan polusi cahaya ke dalam perlindungan pengalaman antariksa masyarakatnya.

Ilmuwan Christopher Kyba dari GFC German Research Center for Geoscience menghitung, tingkat polusi cahaya rata-rata kota utama di dunia mencapai kenaikan 2% setiap tahunnya, sejak 2012 hingga 2016. 

Studi yang diumumkan lewat jurnal Science Advance itu menemukan, tingkat polusi udara yang terjadi di kota-kota selama ini, semakin merangsek ke pedalaman, dengan cakupan semakin jauh ke desa setiap tahunnya. 

Pola pindah rural yang sedang tren, diperkenalkannya teknologi LED biru yang diklaim hemat energi, dan perkembangan industri mendorong makin parahnya visibilitas langit malam di banyak wilayah bumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline