Menginjakkan kaki untuk pertama kali di Pulau Nias tepatnya Gunung Sitoli, sempat menyisakan trauma. Saat itu tengah cuaca buruk sehingga ada penutupan sementara waktu, kira-kira 15 menit di Bandara Binaka Kota Gunung Sitoli. Menghadapi situasi seperti ini maka sesuai kebijakan maskapai penerbangan, pesawat yang belum diijinkan mendarat berarti harus berputar-putar di ketinggian 10.000-15.000 kaki (khusus untuk pesawat jenis ATR) atau pilihan lainnya adalah kembali ke Medan, Kualanamu. Karena sebelumnya pesawat yang saya tumpangi sudah mengalami turbulensi parah, maka rasanya saya sudah tidak tahan duduk berlama-lama di kursi pesawat.
Mencoba mengingat-ingat gambar lompat batu di mata uang seribuan, imaginasi saya tentang Nias mulai muncul. Nias adalah pulau yang terpencil dengan sedikit sekali sentuhan moderinitas di kehidupan penduduknya, kira-kira seperti itu hal pertama yang muncul di ingatan saya. Hal baru yang membuat saya kagok adalah bahasa. Diperjalanan itu saya berusaha ingin memahami pembicaraan antara supir dan teman asal Nias, tapi sedikitpun tidak ada yang bisa dipahami. Ternyata pengalaman berkeliling Indonesia tetap tidak membuat saya memahami secara tersirat bahasa daerah di Nias Barat.
Biasanya berkaca dari pengalaman sebelumnya, saya sering memahami secara tersirat bahasa daerah sekalipun secara kata per katanya memang terdengar asing di telinga. Namun untuk Nias Barat, saya akui ini adalah bahasa yang paling asing di telinga dan pengucapannya juga jauh sangat sulit. Alhasil saya tidak bisa menangkap sedikit pun makna dari kata-kata mereka. Konon, pengaruh bahasa di Pulau Nias ini berasal dari Austrenesia (bisa lihat di sini).
Ciri bahasa Nias yang unik itu ditandai dengan penggunaan huruf vokal yang dominan dalam setiap kata/kalimat dan diakhiri dengan huruf vokal. Contohnya seperti ini: penulisan nama dusun di Mandrehe Barat misalnya “Lolohia” tetapi penyebutannya adalah “Lelehe”. Penyebutan konsonan “e” juga tidak sembarangan, kadang mereka menandai dengan titik dua di atas huruf konsonan untuk membedakan penyebunan setiap huruf vokal. Contoh huruf-huruf vokal dengan penyebutan yang khas adalah sebagai berikut eàë, atau oàö.
Selain bahasa yang unik, Nias Barat ternyata masih menyisakan bukti-bukti peninggalan perkakas zaman Megalitikum yang ditandai dengan menhir yang terdapat di poros jalan Kabupaten Nias Barat (Desa Lahomi). Menhir ini berupa batu besar seperti tiang atau tugu yang diletakkan di atas tanah sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang, tahta batu dan bentuk-bentuk unik lainnya. Dari usianya saja diprediksi sudah ada sejak zaman Megalitikum bahkan Palaeolithikum, disini saya melihat sebuah proses perjalanan budaya prasejarah tertua di Indonesia.
Selain peninggalan berupa Menhir, saya juga masih menemukan rumah tradisional yang masih terpelihara dengan baik. Beruntung karena pemerintah daerah tengah berupaya ingin melestarikan kawasan/perkampungan yang didominasi rumah-rumah tradisional beratap tinggi dan setengah berbentuk lonjong.
Apa yang dilakukan pemerintah Nias Barat bagi saya cukup tepat. Memelihara peninggalan bersejarah berupa menhir dan rumah tradisional seperti ini akan membuka peluang wisata baru. Walaupun bencana alam seperti gempa bumi kabarnya telah mengubur sebagian menhir sehingga jumlahnya hanya beberapa saja yang tersisa. Pemerintah daerah tidak muluk-muluk memang, jika melihat kekayaan budaya yang memikat cukup kuat di daerah ini. Sayangnya entah karena promo wisata yang masih sayup-sayup atau karena lamanya waktu perjalanan yang dihabiskan untuk bisa tiba di Nias.
Tradisi yang cukup terkenal di Nias adalah tradisi lompat batu (fahombo) setinggi satu meter lebih yang menjadi salah satu daya tarik kunjungan wisatawan asing. Lompat batu ini sebenarnya ada di Kabupaten Nias Utara, sementara di Nias Barat saya tidak temukan monumen batu yang dijadikan sebuah festival lompat batu. Walaupun sesungguhnya di masa lalu, tradisi lompat batu ini umum dilakukan sebagai upaya meningkatkan keterampilan berperang (perang suku) oleh angkatan perang.
Keunikan lainnya menurut saya adalah keragaman budaya. Selain suku Nias yang mendiami Nias Barat, ternyata banyak juga penduduk dari Aceh yang bermukim di kabupaten Nias Barat. Marga Aceh yang cukup dikenal adalah Polem, sebutan Polem mini melekat di belakang nama contohnya nama Muhammad Refki Polem. Orang-orang Aceh ternyata sejak dulu telah memiliki hubungan erat dengan orang Nias karena keterampilan berperang orang Aceh yang dianggap lebih ahli, maka orang Nias tertarik belajar keterampilan perang dari orang Aceh. Saat itu saya mendengar langsung dari teman asal Nias, bahwa hampir tidak ada gesekan budaya atau agama antara orang Nias dan Aceh.
Nias di Masa Kini
Sedikit obrolan dengan supir yang mengantar dari Gunung Sitoli ke Kabupaten Nias Barat, saya jadi tahu jika dibandingkan dengan Nias Utara dan Selatan hampir tidak banyak supir yang mau mengantar penumpang ke Nias Barat. Alasannya karena kondisi jalannya banyak yang rusak. Ini yang jadi alasan mengapa harus mengontak lebih dahulu supir rental jauh hari sebelum ke Nias Barat. Selain karena bisa menekan ongkos perjalanan lebih murah dibanding memesan supir ketika sudah berada di Gunung Sitoli, selain tarif lebih mahal, cari supirnya juga susah.