Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Indeks Kota Bahagia, Realistis?

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14309442071808186748

[caption id="attachment_415560" align="aligncenter" width="480" caption="Pertunjukan seni tarian daerah di Pasar Ngasem Taman Sari (Foto:Ratih Purnamasari)"][/caption]

Setelah membaca buku Eric Weiner (Geography of Bliss) tentang pencariannya menemukan kota paling bahagia di dunia, saya jadi tertarik ingin melakukan hal serupa. Tidak harus seperti Weiner yang melakukan perjalanan dari kota-kota terkenal di dunia seperti Swiss, Inggris atau Bhutan melainkan sebuah perjalanan keliling kota di Indonesia.

Salah satu kota yang menarik perhatian saya dari pengalaman Weiner mencari kota paling bahagia ketika berada di Bhutan (Negara di Pegunungan Himalaya). Menurutnya ada kebijakan pemerintah Bhutan yang cukup unik dalam mengukur tingkat kemajuan negaranya. Karma Ura peneliti indeks kebahagian di Bhutan menjelaskan pada Weiner tentang maksud dari indeks kebahagian.

Jadi di Bhutan untuk mengukur kemajuan negaranya dikenal dengan Kebijakan Kebahagiaan Nasional  Bruto Bhutan. Agama yang dianut penduduk Bhutan adalah Buddha, dan dalam kehidupan sehari-hari penduduknya mereka mengamalkan ajaran Buddha. Indeks Kebahagiaan tidak lepas dari filosofi Budha yang dipaparkan Karma Ura.

Karma Ura berujar jika selama ini kita berpatokan pada ukuran, bukan isi, misalnya apakah orang yang hidup cukup lama dengan usia angka harapan hidup 60 tahun dapat dikatakan bahagia? Menurut Karma Ura, dia selama ini bahagia karena tidak punya banyak harapan realistis.

Sampai disini saya berhenti sejenak membaca , merasa berbeda dengan Karma Ura itu jelas. Tidak ada cara bagi saya untuk menghakimi pemikiran Buddha karena umat Buddha menjalani kehidupannya dengan nilai filosofi dan harmoni yang sangat tinggi.

Dan ya, saya tidak mencapai tahap itu, filosofi kebahagiaan ini terlalu sulit untuk saya pahami apalagi jika diterapkan dalam satu kota atau negara. Tapi pelan-pelan saya mencoba menganalogikan dan membandingkan pandangan Karma Ura dengan apa yang saya alami di Jogja. Melakukan perbandingan biasanya lebiih mudah dimengerti sebelum saya berbicara soal filosofi Karma Ura yang tidak saya mengerti sedikit pun.

Jika saya ditanya apakah saya bahagia tinggal di Jogja, maka saya akan menjawab “YA” tanpa perlu pikir panjang. Untuk mengukur kebahagiaan saya tentu tidak sama dengan cara berfikir Karma Ura. Biasanya hitungan dan angka-angka bisa mengaburkan fakta yang sebenarnya, tapi bukan berarti pandangan filosofi juga cukup mudah diterima akal saya.

Yang unik di ruang publik Jogja

Pertama, yang membuat saya merasa bahagia tinggal di Jogja adalah ruang publiknya. Minggu pertama di Jogja saya lebih banyak mendengar tentang alun-alun utara, Malioboro, angkringan tugu. Minggu kedua saya diajak ke kawasan titik nol kilometer Kota Jogja tepatnya di depan gedung Monumen Serangan Umum Satu Maret. Di tempat ini saya menyaksikan pagelaran seni Tiongkok, dan untuk pertama kalinya saya melihat langsung Sultan Yogyakarta.

Jujur saya tidak pernah menonton acara budaya secara langsung seperti pengalaman tadi. Minggu-minggu berikutnya ketika saya akhirnya dinyatakan lulus sebagai mahasiswa, saya kemudian memulai petualangan di Kota Jogja. Di Jogja, ada banyak pilihan menghabiskan waktu di ruang publik dan tentu saja semua ruang publik di Jogja punya keunikan masing-masing.

Waktu pertama kali ke Alun-alun Utara misalnya, keberadaan dua beringin besar ternyata menyita perhatian hampir semua orang yang baru pertama kali ke Jogja. Saya salah satunya, seperti orang yang baru lihat beringin saya sangat kegirangan ingin mencoba permainan langka tersebut. Di kampung saya juga banyak pohon beringin, tapi tidak pernah ramai dikunjungi orang untuk alasan apapun karena lebih banyak cerita mistisnya sehingga kami takut main di bawah beringin.

Tempat kedua yang saya kunjungi adalah kawasan angkringan tugu. Sebelum ke tempat ini telinga dan kepala saya sudah dipenuhi istilah Kopi Joss. Teman-teman saya tidak memberitahu Kopi Joss seperti apa, saya hanya disuruh memesannya saja. Setalah pesanan Kopi Joss datang, saya kembali terheran-heran, mana kopinya? jadi yang bikin hitam bukan karena ada kopi tapi arang yang dituang ke dalam gelas berisi air panas. Unik bukan?

Diantara ruang publik yang pernah saya kunjungi, saya sebenarnya paling suka dengan konsep ruang publik di Pasar Ngasem Taman Sari. Sisa reruntuhan Bangunan di Taman Sari (dahulu adalah Istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat) adalah pemandangan menakjubkan, seperti berada di kota tua dan terkesan berada di abad yang sudah lampau sekali. Warna gedung yang keemasan dan pantulan cahaya matahari di sore hari menambah kesan kokoh sekalipun bentuk bangunannya tidak lagi sempurna.

Puncak keramaian di Pasar Ngasem Taman Sari ini ketika ada kegiatan budaya dan pertunjukan seni. Pada waktu perayaan atau pas ada kegiatan festifal budaya pasti selalu ramai, ada yang berjualan dan juga ada pagelaran seni.

Sewaktu menyaksikan pertunjukan orkestra dan Tari Kecak di Taman Sari, saya benar-benar takjub. Hanya Jogja yang bisa membuat pertunjukan seperti ini, menonton orkestra layaknya di hotel berbintang dan menonton pertunjukan Tari Kecak serasa di Bali. Pasar Ngasem sukses membawa panggung orkestra dan Tari Kecak di pentas warga biasa di ruang publik. Ruang publik di Kota Jogja seperti Alun-alun utara, Kilometer nol, kawasan angkringan dan Pasar Ngasem sukses menjadi ruang sosial bagi semua kalangan dari anak-anak hingga orang tua sama-sama menikmati ruang publik tersebut.

Kedua, adalah transportasi publik Trans Jogja. Jika saya diminta berterima kasih pada Jogja, maka saya akan berterima kasih pada pelayanan publik Trans Jogja. Moda transportasi angkutan massal ini sangat berjasa sejak awal ke Jogja hingga sekarang. Setidaknya dengan Trans Jogja, saya tidak perlu berpanas-panasan di jalan dengan kendaraan roda dua, atau dipenuhi debu dan asap kendaraan.

Kemanapun saya pergi selama rutenya masih dalam Kota Jogja, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena Anda tidak akan tersesat. Trans Jogja menurut saya termasuk ruang publik bergerak, karena di dalam bus ini saya bertemu banyak orang, ada turis, orang tua, tunanetra, anak-anak dan pelancong semua satu dalam bus.

Masalahnya kini, karena Trans Jogja belum bisa menarik perhatian pemilik kendaraan pribadi mau menggunakan moda ini. Dengan berbagai alasan tentunya, seperti kenyamanan. Namun dari segi ketepatan tiba di tempat tujuan, saya rasa Trans Jogja masih bisa diandalkan.

Iya, Saya bahagia tinggal di Jogja

Sampai disini, saya lalu menghubungkan makna bahagia dalam indeks kebahagiaan Bhutan dengan konsep ruang publik. Ruang publik adalah ruang yang terbuka bagi siapa saja, kaya atau miskin tidak akan menjadi soal di tempat ini. Ketika ada pagelaran seni seperti pengalaman saya tadi, kita tidak lagi peduli orang disekitar kita siapa. Saat Anda menonton pertunjukan seni di ruang publik, sekalipun tidak disediakan tempat duduk senyaman di hotel tapi saya yakin kita masih bisa menikmatinya.

Dalam ruang publik yang menyediakan bangku atau kursi gratis saya bisa menghabiskan waktu berdiskusi atau mebicarakan apapun dengan teman atau kolega. Tidak melulu saya harus ke Mal atau tempat yang lebih privat, kursi taman di ruang publik bisa jadi pilihan yang menyenangkan.

Dari pengalaman tersebut saya sepakat pada pernyataan Robert Kennedy jika keindahan puisi kita, kekuatan pernikahan, atau kecerdasan perdebatan warga adalah bagian dari kemajuan suatu bangsa. PDB tidak mencatat atau menghitung itu, karena tidak ada indikator yang bisa diukur.

Jadi kebahagiaan saya di ruang publik mungkin benar masih sulit diukur, tapi ilmu yang saya dapatkan di ruang publik dan kemampuan saya menulisnya dalam sebuah artikel adalah indikator yang layak dipertimbangkan. Mungkin tidak harus membagikan kuesioner yang berisi pertanyaan berapa kali saya tertawa dalam sehari.

Pemerintah kota yang tertarik membahagiakan warganya bisa memulai dengan menanyakan fitur sosial apa yang dibutuhkan dalam kota, dan kegiatan budaya seperti apa yang ingin ditampilkan. Bagi saya yang penting adalah memahami apakah rencana kota yang disiapkan akan mengambil atau menambah kebahagiaan seluruh warganya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline