Pengembang Yoyakarta Berlomba Membangun Paling Tinggi
[caption id="attachment_408252" align="aligncenter" width="600" caption="Salah satu properti apartemen yang berlokasi di sekitar pemukiman warga Dusun Karangwuni, Sleman (Foto: Dokumen Ratih Purnamasari)"][/caption]
Iklan di papan reklame raksasa yang menawarkan promo hunian eksklusif kini makin banyak terpasang di perempatan jalan strategis Kota Yogyakarta (Jl. Kaliurang-Ringroad utara dan Bundaran Kampus UGM). Tren pengembangan properti di Kota Yogyakarta kini bergeser ke pembangunan apartemen, oleh Dosen Pembimbing saya dikatakannya sebagai fenomena baru di Kota Pelajar.
Pembangunan apartemen, condotel, dan hotel juga sama ambisiusnya menjual view Merapi sebagai daya tarik utama dalam bisnis properti ini. Salah satu tagline pengembang secara lugas memasang tagline “Infinity Sky Pool” dengan latar Merapi yang memesona.
Pembangunan apartemen ini berlokasi di Jalan Kaliurang, dengan luas lahan pengembangan kira-kira 20 x 20 m². Luas lahan rencana pembangunan apartemen tersebut memang tidak terlalu luas, namun ketinggiannya yang mencapai 15 lantai ditambah basement akan menjadi pemandangan paling mencolok di tengah perkampungan warga juga di sepanjang Jalan Kaliurang.
[caption id="attachment_408256" align="aligncenter" width="600" caption="Spanduk penolakan warga yang bergabung dalam paguyuban Karangwuni menolak pembangunan apartemen"]
[/caption]
Hari Jum’at 3 April lalu, saya berencana ingin bertemu dengan salah satu warga atau kepala RT. Karangwuni yang rumahnya berhadapan langsung dengan apartemen tersebut. Sayangnya saya belum bisa memperoleh banyak informasi karena hari itu hari libur, saya hanya mendapat info tentang penolakan warga yang sudah dilaporkan ke pihak DPRD Sleman setahun yang lalu.
Dihitung sejak tahun lalu hingga sekarang, jumlah bangunan apartemen baik yang masih rencana dan sementara dalam pembangunan jumlahnya sudah mencapai 6 unit apartemen. Pembangunan apartemen di daerah Sleman tidak hanya menyasar lahan sempit di pusat keramaian kota atau kampus UGM, di daerah Maguwoharjo yang cukup dekat dari Bandara Adisucjipto juga menjadi lokasi strategis untuk pembangunan apartemen.
Apartemen yang dibangun di daerah Maguwo dan Pogung berada di atas lahan pertanian, dan khusus untuk daerah Maguwo ini, luas alih fungsi lahan pertanian menjadi apartemen mencapai 2-3 ha. Ketinggian apartemen ini juga mencapai 10 lantai bahkan lebih.
[caption id="attachment_408262" align="aligncenter" width="500" caption="lokasi pembangunan apartemen di Dusun Pogung, Kabupaten Sleman"]
[/caption]
[caption id="attachment_408263" align="aligncenter" width="373" caption="Lokasi pembangunan apartemen di Dusun Seturan, Kabupaten Sleman"]
[/caption]
Yang menggelikan adalah pengembang seperti tidak terlalu peduli dengan kelas jalan di blok persil lokasi rencana pengembangan propertinya. Saya ambil contoh letak properti yang ada di Jalan Kaliurang, dengan lahan sempit sekitar 200 m² pengembang tetap berniat membangun apartemen.
Saya lalu teringat dengan pembatalan izin usaha Gama Plaza yang ada di poros utama Jalan C. Simanjuntak. Keterbatasan lahan untuk bangunan Gama Plaza hampir sama dengan pembangunan apartemen di Jalan Kaliurang, sama-sama berada di lahan berukuran kecil dengan lalu lintas yang cukup padat. Ketinggian Gama Plaza bahkan tidak setinggi apartemen di Jakal ini yang mencapai 15 lantai. Namun mengapa izin usaha Gama Plaza dihentikan?
Tahun 2013 silam saya berhasil menemui salah satu staf di Bappeda Sleman untuk keperluan penelitian, lalu tidak sengaja memberi saya penjelasan tentang pelanggaran tata ruang yang terjadi di Gama Plaza. Alasan utama dihentikannya izin pembangunan Gama Plaza adalah jarak sempadan bangunan dan ketinggian bangunan yang terlalu dekat dengan jalan < 4m (aturan KLB DAN KDB bangunan).
Lalu bagaimana dengan proyek properti lain yang kasusnya juga sama dengan Gama Plaza? Apartemen yang berada di Jalan Kaliurang dengan rencana ketinggian bangunan sebanyak 15 lantai apakah tidak menyalahi rencana tata ruang?
Yang Paling Tinggi yang Paling Bahagia
Beruntung, Yogyakarta masih memiliki warga yang cukup melek dengan masalah tata ruang dan lingkungan. Warga yang tidak setuju dengan pembangunan apartemen dan hotel akan membentuk paguyuban kemudian membawa masalah ini ke perwakilan mereka di DPRD. Dari informasi yang saya temukan di salah satu media cetak lokal Kota Yogyakarta, sampai saat ini masih ada kasus penolakan warga terkait pembangunan apartemen di daerah Ngaglik.
Pihak DPRD maupun Bupati Sleman, mengupayakan agar sengketa dan konflik antara warga dan pengembang diselesaikan lebih dulu sebelum melanjutkan pembangunan properti. Walaupun pada akhirnya semua kejadian ini hanya membenturkan keinginan publik dengan pengembang. Pemerintah sebagai pembuat regulasi mestinya dari sejak awal membuka ruang diskusi, antara pengembang dan masyarakat sebelum memulai pembangunan properti.
Yang membuat saya prihatin adalah karena pengembang properti ini selalu menjual view Merapi sebagai bagian dari iklan mereka. Jika pengembang properti bisa cukup leluasa menjual view Merapi kepada pembeli apartemen, lalu bagaimana dengan warga sekitar? Warga sekitar hanya bisa menatap tingginya tembok apartemen, karena mereka tidak mampu membayar cukup mahal untuk menikmati view Merapi.
Satu hal yang diabaikan dalam pembangunan properti yang mengusung bangunan vertikal di tengah perkampungan warga adalah hak warga memperoleh sinar matahari, keluasan pandangan dan air bersih. Bisa kita bayangkan ketika bangun di pagi hari di mana kita masih bisa melihat cahaya matahari masuk di rumah. Namun tiba-tiba 3 bulan kemudian kita tidak melihat cahaya matahari dan udara segar masuk memenuhi ruangan, karena di samping rumah telah berdiri bangunan 15 lantai.
Sementara, bangunan di sebelah rumah kita dengan leluasa membangun lebih tinggi, dan tidak ada yang menghalanginya menikmati udara yang segar, sinar matahari dan keluasan pandangan. Artinya, warga kota yang tidak mampu membangun lebih tinggi tidak akan pernah menikmati view Merapi. Yang menikmati udara yang bersih dan cahaya matahari serta pemadangan bagus adalah mereka yang bisa membangun lebih tinggi atau mereka yang bisa membayar sewa tinggal di apartemen tersebut. Memprihatinkan.
Saya menuliskan ini karena ingin mengajak kita semua merenung dengan keadaan kota yang ada di sekeliling kita. Hari ini saya agak terusik dengan bunyi alat-alat berat dari lokasi pembangunan Mal yang rencananya akan menjadi Mal terbesar di Jogja dan Jawa Tengah. Mungkin Anda juga demikian, saat ini ketika terbangun dari tidur Anda, di pagi hari ternyata sudah ada pagar tinggi menutupi lahan diBsamping bangunan Anda. Biasanya pagar-pagar tinggi ini menandakan sebentar lagi akan ada hotel, mal baru yang dibangun di depan rumah kita.
[caption id="attachment_408265" align="aligncenter" width="600" caption="Lokasi pembangunan Mal, yang disebut-sebut sebagai mal terbesar di Jogja (sumber: Citra Google Earth)"]
[/caption]
Mungkin kita belum menyadari, cara-cara pengembang mengambil lahan di tengah pemukiman kita yang tanpa permisi itu sebagai bentuk ketidakadilan ruang. Secara langsung mereka telah menegaskan bahwa hanya yang bermodal besar yang bisa menikmati air terbaik, pemandangan terbaik, udara terbaik dan lingkungan yang sehat. Dan sayang sekali, warga kota lainnya hanya dapat menikmati pemandangan tembok-tembok raksasa apartemen.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H