[caption id="attachment_407951" align="aligncenter" width="506" caption="Tugu Minyak Lokasi Kecamatan Cepu Kabupaten Blora (Dokumen Ratih Purnamasari)"][/caption]
Pidato Jero Wacik dalam acara wisuda mahasiswa Akademi Minyak dan Gas di Cepu-Blora pada bulan Mei 2014 sebagaimana dilaporkan kompasianer Fandi Sido sedikitnya memberi informasi baru bagi saya tentang kondisi minyak dan gas dalam negeri. Dalam pidatonya, Jero wacik menjelaskan tentang Caturdarma Energi yang terdiri dari empat konsep utama pengelolaan minyak dan gas.
Butir pertama dalam Caturdarma Energi yang dimaksud Jero Wacik adalah Meningkatkan eksplorasi dan produksi migas. Meningkatkan eksplorasi menurut Jero Wacik meliputi peningkatan sumber daya, kualitas, kuantitas penggalian sumber energi dan minyak di Indonesia. Pertamina sebagai perusahaan nasional minyak dan gas diharapkan dapat memperkuat sumber daya finansial, serta mempercepat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Harapan Jero Wacik terhadap Pertamina agar tumbuh menjadi perusahaan minyak kelas dunia melalui peningkatan SDM dan finansial bukanlah tanpa alasan. Melalui data International Energy Agency dalam World Energy Outlook 2008 menyebutkan hasil prediksi untuk tahun 2030 dua per tiga dari total minyak dan gas dunia akan diproduksi oleh NOC (National Oil Company).
Prediksi oleh WEO di tahun 2008 tentu mengacu pada negara-negara yang memiliki sumberdaya minyak dan gas yang cukup besar di negaranya masing-masing seperti Malaysia, China, dan Indonesia. Untuk Indonesia, keterbatasan finansial dan SDM di bidang perminyakan pasca kemerdekaan menyebabkan pengelolaan minyak dan gas di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan asing seperti Exxon dan Chevron. Hingga saat ini produsen minyak terbesar di Indonesia masih dikuasai oleh Chevron Pacific Indonesia yang berada di Provinsi Riau. Produksi minyak yang dihasilkan Chevron mencapai 370 ribu bpd (barel per day).
Gamil Abdullah yang bekerja di di bidang industri hulu migas telah mengutip pernyataan Emmanuelle Bauquis asal Perancis menyebutkan bahwa terjadi perubahan pemeran utama dalam pengelolaan minyak dunia yang menghasilkan perusahaan baru berstatus NOC dari negara penghasil minyak dan gas yang dikenal dengan istilah “The New Seven Sisters” (Dikutip dari Jurnal Energi, 2012:142).
Dampaknya terhadap Indonesia khususnya perusahaan minyak nasional seperti Pertamina adalah persaingan dan penguasaan ladang minyak di dalam negeri yang menimbulkan persaingan cukup ketat. Negara yang tergabung dalam “New Seven Sisters” ini mimiliki dukungan teknologi, sumberdaya manusia dan finansial yang sangat besar sehingga cukup mudah untuk mengembangkan International Oil Company (IOC). Kalau Pertamina bisa mengejar, tidak tertutup kemungkinan dapat kembali bergabung menjadi “The Eight Sisters”, sebagaimana diharapkan Gamil.
Contoh nasionalisasi aset perusahaan minyak asing di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan, ketika seorang warga Belanda berhasil menemukan lokasi minyak di Telaga Said provinsi Sumatera Utara. Warga Belanda tersebut kemudian mempelopori perusahaan minyak di negaranya yang menjadi awal perkembangan perusaahaan minyak dan gas Shell.
Saat ini Indonesia telah memiliki aset sangat besar dalam pengelolaan energi, minyak dan gas seperti Pertamina Hulu Energi-West Madura Offshore yang berada di lepas pantai Jawa (Jawa Timur). Dengan meguasai PHE-WMO, Pertamina diharapkan pelan-pelan mendominasi sektor migas di negeri sendiri, sehingga cita-cita kementerian ESDM yang masih dipimpin oleh Jero Wacik kala itu soal peningkatan eksplorasi migas dapat terlaksana.
Harapan besar terkait nasionalisasi dan kemandirian Pertamina mengelola sumber energi dan MIGAS dalam negeri nyatanya tidak hanya menjadi cita-cita Kementerian ESDM. Warga negara seperti saya rasanya juga mendamba, Pertamina bisa tumbuh dan mandiri sebagai perusahaan nasional layaknya Petronas di Malaysia. Agar tumbuh menjadi perusahaan nasional MIGAS di dalam negeri, Pertamina perlu melakukan strategi yang juga sama dilakukan oleh perusahaan minyak internasional seperti Exxon dan Chevron khususnya untuk peningkatan sumber daya manusia.
Upaya yang dilakukan dalam peningkatan kemampuan sumberdaya di bidang Migas seperti meningkatkan kemampuan IPTEK di bidang Geologi, Geofisika dan Engineering. Sumber daya manusia di bidang IPTEK akan menetukan keseluruhan program dalam manajemen suplai dapat berjalan dengan baik. Pada Pedoman Tata Kerja BPMIGAS yang telah direvisi akan mengutamakan pendayagunaan produksi dan dan kompetensi dalam negeri. Pemenuhan tuntutan akan kompetensi ini merupakan target yang harus dicapai BPMIGAS dalam menjalankan PTK 007 Revisi II.
Tenaga Kerja dalam Negeri
Keberadaan dua Kapal Pertamina Gas (kapal berkelas very large khusus pengangkut gas mentah yang beroperasi transhipment di perairan teluk Kalbut Sitobondo juga menandakan keseriusan Pertamina mengutamakan tenaga kerja dalam negeri dan efisiensi operasional dengan kepemilikan. Kapten Kapal Pertamina 2 yang bertugas kala itu bernama Kosim, menyebutkan Indonesia beruntung memiliki kapal besar untuk distribusi gas dibandingkan harus menyewa kapal asing.
Fakta lainnya adalah, seluruh tenaga kerja yang mengoperasikan Kapal Pertamina Gas 2 adalah orang Indonesia. Dalam Kapal Pertamina Gas 2 ini terdapat 27 awak kapal, dan semua kapal Pertamina oleh orang Indonesia. Selain itu Pertamina saat ini telah memiliki 90 kapal lokal untuk menunjang kegiatan di sektor hulu migas. Total jumlah kapal penunjang ini sebanyak 690 unit dan hanya 7 unit yang berasal dari negara asing.
Untuk memenuhi kuota tenaga nasional dalam sektor migas maka dilakukan peningkatan SDM oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan menetapkan target untuk peningkatan kapasitas nasional. Peningkatan Kapasitas Nasional ini akan melibatkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang akan mengurusi pengembangan kemampuan manusia, sistem dan infrastruktur yang menunjang kinerja perusahaan migas dalam negeri.
Melalui forum pengelolaan suplai rantai hulu migas akan melakukan bentuk penguatan kemitraan yang terdiri dari pokja pengadaan bersama, pokja pengaturan tata kelola rantai suplai dan pokja capacity building. Pokja untuk capacity building ini sendiri sudah cukup menarik dari segi kebijakannya, karena pihak SKK Migas berharap di masa depan TKDN kita tidak hanya menjadi produk yang dibuat di Indonesia tetapi dibuat oleh Indonesia. Berikut pernytaan Lambok H.Hutauruk pada acara SCM Summit 2014:
“Pengelolaan rantai suplai harus bisa berpihak pada pengembangan dan pembangunan kapasitas nasional. TKDN pun nantinya tidak sekadar produk made in Indonesia, tetapi juga made by Indonesia,”
Cetak Biru Peningkatan SDM Industri Hulu Migas
Pada 2012 lalu Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKMigas) meluncurkan 33 Inisiatif Pengembangan SDM Industri Hulu Migas, upaya pencapaian Visi Pengembangan Tenaga Kerja Hulu Migas Indonesia berkualitas, yang terbagi ke dalam tiga horizon besar: 1) Pengembangan Basis Tenaga Kerja dan Kepatuhan terhadap Regulasi; 2) Peningkatan Kapabilitas; dan 3) Stabilisasi Visi.
Mengutip dari laporan itu, kompetensi-kompetensi dasar SDM Indonesia perlu dipetakan dalam cetak biru besar untuk pencapaian kejayaan Industri Hulu Migas di tiga tantangan paling besar dalam industri, yakni Mencapai Target Produksi 1 juta bph, Penemuan cadangan minyak baru, dan pengawasan ketat terhadap biaya produksi dan Cost Recovery. Selama ini, kemampuan Sumber Daya Manusia dianggap satu dari enam kendala penting pengembangan industri hulu migas (bersama kendala-kendala tenologi, investasi, perijinan yang kompleks, gangguan keamanan, dan regulasi yang tumpang-tindih.
Dalam peta SKMigas, Sumber Daya Manusia ikut mempengaruhi kinerja value chain atau rantai nilai dari keseluruhan proses industri hulu migas dalam tiga tantangan paling besarnya di atas. Value Chain begitu kompleks memerlukan orang-orang yang capable sejak dari proses Akuisisi Wilayah Kerja (penentuan data cadangan, pencarian investor), Pengelolaan Project Development dan Pengelolaan Produksi (termasuk di dalamnya penganggaran, durasi perizinan, dan recovery rate), bahkan sampai proses Manajemen Meninggalkan Wilayah Kerja saat Cadangan Migas habis (penggunaan aset kembali atau monetisasi aset).
[caption id="attachment_407948" align="alignnone" width="650" caption="(Sumber: SKK MIGAS Laporan Penyusunan Blueprint dan Roadmap Pengelolaan SDM Industri Hulu Migas Nasional, Desember 2012)"]
[/caption]
Pada kenyataannya, berbagai upaya pengelolaan Sumber Daya Manusia Indonesia di sektor hulu migas harus berlomba dengan kencangnya laju penurunan kapasitas industri migas di Tanah Air. Selain untuk pengurangi laju penurunan produksi migas, pengelolaan SDM migas yang kompeten, capable dan “benar” akan dapat membantu industri migas Indonesia bersaing dengan pasar global, di mana persaingan SDM lewat pasar yang semakin bebas juga akan semakin kompetitif.
Industri Hulu Migas wajib membangun human capital dengan peningkatan kualitas SDM dan calon-calon SDM industri dalam setidaknya lima-sepuluh tahun ke depan. Modal Manusia ini akan dibentuk dan disaring sedemikian rupa untuk menghasilkan outcomes dalam bingkai strategis ketenagakerjaan Indonesia yang visioner, berminat tinggi dan termotivasi, cerdas, memiliki integritas kebangsaan, mampu mengatasi dan mengelola pencarian bakat-bakat baru, dan lulus dari instansi-instansi pendidikan yang terpercaya.
Guna memenuhi outcome modal manusia seperti itu, diperlukan enabler atau instrumen-instrumen pendorong, yang dalam hal ini digambarkan SKMigas sebagai siklus sama berisi program-program tata kelola kemitraan, pendayagunaan Tenaga Kerja Nasional, perbaikan Kebijakan dan Prosedur ketenagakerjaan, sistem monitoring, sampai aplikasi database. Keseluruhan proses ini berjalan berkesinambungan dan dapat dimulai sesegera mungkin, selama regulasi yang dibuat menyokong penerapannya.
Tantangan Pengetahuan Energi Hijau
Pengelolaan SDM nasional yang berkualitas juga akan menghadapi tren industri migas yang mencari sumber-sumber energi terbarukan. Kedepan, 10 tahun mendatang kebutuhan energi tidak lagi bergantung pada energi fosil, melainkan dengan memanfaatkan sumber energi alternatif yakni panas bumi, dan angin.
Secara keseluruhan, negara-negara maju telah mengupayakan untuk mengurangi konsumsi energi fosil dengan beralih ke energi hijau. Tantangan bagi Pertamina adalah menyiapkan SDM seperti peneliti yang menguasai dengan baik pengelolaan energi hijau untuk menjadi sumber energi subtitusi sewaktu-waktu ketika terjadi krisis energi. Pertamina di masa depan sebaiknya menangkap lebih banyak potensi pengelolaan energi hijau dengan merintis penelitian dan pengembangan energi hijau.
Ada setidaknya 1.070 jumlah pekerja di industri hulu migas Tanah Air yang bertambah setiap tahun dan 96% adalah orang Indonesia, baik itu yang bekerja di perusahaan nasional ataupun rekanan dari perusahaan asing. Hanya dengan standar yang jelas, basis pengelolaan, dan pengawasan yang berkomitmen serta kesinambungan seperti itulah metriks keberhasilan para tenaga kerja nasional kita akan menyokong pengembangan SDM berkualitas dan bersaing global, sebagaimana visi-misi banyak badan migas di Indonesia.
***
Referensi:
1. Laporan Penyusunan Blueprint dan Roadmap Pengelolaan SDM Industri Hulu Migas Nasional, Desember 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H