Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Lagi, Ospek Berujung Maut Kembali Terjadi

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: janesville.www.clients.ellingtocms.com

beberapa tahun silam tepatnya sekitar tahun 2007, masih lekat dalam ingtaan bagaimana kekerasan yang ditunjukkan mahasiswa IPDN melalui video yang beredar saat itu. Kemudian publik kembali dihebohkan dengan aksi perpelocoan yang dikemas dengan kegiatan orientasi mahasiswa baru yang kental dengan kekerasan. Namun kasus kekerasan yang terjadi berulang seakan tak pernah menjadi pembelajaran untuk membenahi sistem pembinaan mahasiswa baru di perguruan tinggi.

Sampai akhirnya, kemarin pagi saya dikejutkan kembali dengan berita tewasnya salah satu maba Planologi ITN Malang, disinyalir karena siksaan fisik dan kondisi kesehatan tubuh yang menurun drastis menjadi penyebab utama meninggalnya maba asal Mataram tersebut. Awalnya saya mengabaikan berita tersebut, namun karena penasaran saya akhirnya mencari detail informasi mengenai mahasiswa yang meninggal saat mengikuti orientasi mahasiswa di ITN.

Informasi mengenai mahasiswa baru ITN yang meninggal bertepatan dengan kegiatan ospek ternyata memang benar adanya. Salah satu laman di berikut mengungkapkan detail rangkaian kegiatan orientasi itu. Dari informasi tersebut saya tidak percaya masih ada cara-cara keji yang dipertontonkan dan dilakukan oleh mahasiswa. Kekerasan fisik hingga pelecehan seksual adalah tindakan memalukan dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang menyandang status mahasiswa.

Budaya barbar dan perpeloncoan, bagaimana budaya ini diserap dalam lingkungan yang dikenal mencetak generasi hebat dalam pengembangan ilmu pengetahuan?. Sementara di tempat lain, kita menyaksikan bagaimana mahasiswa disibukkan dengan penelitian untuk membawa perubahan dan peradaban baru bagi dunia. Perpeloncoan justru masih dipercaya sebagai metode ampuh untuk membentuk mental mahasiswa baru yang tangguh memasuki dunia kampus (alasan yang mengada-ada).

Ospek dan Kekerasan

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ada dua arti dari kata orientasi. Pertama orientasi diartikan sebagai peninjuan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang benar dan tepat. Sedangkan arti yang kedua adalah pandangan yg mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.Hal ini menjelaskan bahwa orientasi adalah kegiatan yang memberi pandangan kepada mahasiswa baru untuk mengenali dunia kampus. Membuka wawasan dan pemahaman seluas-luasnya, posisi dan peran mahasiswa serta tanggung jawab selama menjadi mahasiswa.

Kegiatan orientasi yang dilakukan setiap penyambutan maba, sangat jauh dari kesan membentuk persahabatan. Budaya kekerasan yang terjadi setiap tahun pada acara penyambutan mahasiswa baru ibarat perayaan atas kekerasan massal yang dilakukan oleh sekelompok orang. Saya tidak ingin menutup mata, pura-pura tidak tahu bahwa kejadian perpeloncoan juga pernah terjadi sewaktu menempuh pendidikan strata satu. Menyandang status sebagai mahasiswa teknik, menumbuhkan sikap fanatik berlebihan. Selalu ingin menjadi yang paling kuat dan hebat, pola fikir ini juga mampir di benak saya pada waktu itu.

Walaupun tidak berdampak pada diri saya secara pribadi, namun yang terjadi pada saat itu berhasil membangun sudut pandang baru bagi maba. Kegiatan ospek dan bina akrab yang dilakukan sebenarnya memiliki tujuan positif, kegiatan ini bertujuan membangun komunikasi yang lebih baik dengan angkatan sebelumnya. Sebagai sarana berbagi informasi dan ajang membangun relasi antar angkatan agar terhindar dari gesekan, percekcokan yang biasanya rawan terjadi antar angkatan.

Berkaitan dengan kekerasan fisik dan verbal, Paulo Freire, seorang pemikir dan praktisi pendidikan pembebasan dari Brasil, dalam bukunya Pedagogi of The Oppressed (diindonesiakan dengan judul Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 1985) mengingatkan bahwa dalam situasi penindasan, kaum tertindas melakukan identifikasi secara kontradiktif. Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mahluk yang terbenam, terhina, terlepas dan tercerabut dari kemanusiaannya. Adapun di hadapan mereka adalah kaum penindas yang berkuasa dengan harkat kemanusian yang sempurna, “Tuan tanpa salah” (Kurnia Widiantoko).

Kemudian, dikenal istilah perpeloncoan, awalnya hanya iseng “mengerjai” mahasiswa baru, kemudian berkembang mengarah pada bentuk-bentuk kekerasan fisik. Tindakan tidak masuk akal seperti memakan satu buah jeruk secara bergiliran misalnya, dinilai sebagai langkah untuk membangun kedekatan secara emosional. Kemunduran kah atau kemajuan kah yang hendak dipraktikkan dalam membangun budaya kebersamaan dengan cara-cara “vulgar” seperti itu?.

Kita seperti kehabisan akal untuk membangun komunikasi dan kebersamaan secara kekeluargaan. Kita tidak pernah belajar bagaimana bangsa kita mengalami masa penjajahan. Masa kelam penidasan, penyiksaan dan diperlakukan tidak manusiawi. Kita lupa bagaimana harga diri bangsa diinjak-injak pada masa penjajahan. Lantas dengan bangganya sekelompok orang yang menggunakan almamater universitas, tempat tertinggi menempa pengetahuan justru melakukan “penjajahan” pada generasi penerus yang sebangsa dengan dirinya.

kita lupa, bagaimana nilai-nilai kemanusiaan, saling menghargai, menghormati menjadi budaya sejati bangsa ini, Indonesia. Mahasiswa arogan, bermental “penjajah” dan gila hormat, apa yang bisa dilakukan generasi ini di masa depan? Selain mewariskan sistem pembentukan mental penjajah untuk generasi berikutnya. Seperti sebuah lingkaran setan, warisan kekerasan fisik pada akhirnya menjadi tradisi yang berulang setiap tahun.

Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan di Indonesia memulai perjuangan yang tidak mudah untuk menebar remah-remah pengetahuan di bumi kaya ini. Ki Hajar Dewantara mengajarkan nilai-nilai kebaikan, keluhuran, dan keutamaan, bukan kekerasan. Nilai-nilai luhur tokoh pendidik di tanah air kita hilang begitu saja, kita lebih mengenal nilai “penghormatan” ingin disegani melalui kekerasan.

Peran Kampus

Berdasarkan SK Dirjen Dikti No.38/DIKTI/Kep 2000 yang melarang pelonco dalam ospek. Peraturan dalam SK Dirjen Dikti No.38/DIKTI/Kep 2000, menekankan bagaiman melakukan ospek dengan cara-cara yang santun dan menghilangkan budaya kekerasan. Sosialisasi dan pemantauan terhadap segala kegiatan mahasiswa, tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak kreativitas mahasiswa. Agar ketika terjadi masalah pihak kampus tidak serta merta lepas tanggung jawab dan selalu menganggap insiden kekerasan adalah tradisi turun menurun.

[caption id="" align="aligncenter" width="673" caption="Citizen6. Ospek Anti Kekerasan Fikom Unissula. Oleh Septian Luthfi"][/caption]

Sebenarnya sudah banyak universitas yang melakukan pembenahan kegiatan ospek, salah satunya adalah Universitas Gadjah Mada. Kegiatan ospek di kampus UGM fokus pada kegiatan pengembangan kreativitas. Selain itu alumni juga dilibatkan di kegiatan ospek sebagai pembicara dan motivator. Mahasiswa baru tersebut tidak hanya dituntut untuk cinta pada jurusan dan kampus saja. Namun tidak kalah pentingnya adalah tujuan dari kegiatan ospek untuk menumbuhkan semangat mencintai tanah air. Keragaman budaya, bahasa seluruh masahasiswa yang datang dari berbagai daerah, menyadarkan bahwa bangsa kita bangsa besar. Potensi generasi muda begitu besar untuk mengembangkan pengetahuan demi kemajuan bangsa.

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Sumber: janesville.www.clients.ellingtocms.com"][/caption]

Sejak awal kesadaran nasionalisme melalui kegiatan ospek merupakan langkah awal untuk meningkatkan rasa persaudaraan antar mahasiswa baru dan mahasiswa angkatan sebelumnya. Bangsa Indonesia di beberapa bidang telah jauh tertinggal. Budaya kekerasan pada masa orientasi mahasiswa tidak pantas lagi di pertontonkan sebagai identitas di kancah dunia pendidikan secara global. Kekerasan yang selalu terjadi pada penerimaan maba sudah lebih dari cukup memberi “pelajaran”. Jangan menjadikan kejadian kekerasan ini sebagai “pelajaran” saja. Pembenahan bentuk orientasi perlu dipantau dan menindak tegas pelaku kekerasan di kampus, bukan sebaliknya justru melindungi pelaku kekerasan di kampus.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

Dorothy Law Nolthe

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="sumber: www.ouw.edu.au"]

sumber: www.ouw.edu.au

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline