Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Buanglah Sampah, Jangan Masa Lalu

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1378079715970696427

[caption id="attachment_284994" align="aligncenter" width="300" caption="sumber ilustrasi: http://b-metro.com/"][/caption]

Masa lalu bukan sampah, karena dalam proses terdahulu ada kebahagiaan yang tersemat mengikutinya. Sebuah pesan singkat dini hari bertengger di deretan pesan masuk lainnya, namun satu pesan singkat ini cukup menghentakkan tidur yang nyenyak. Saya tidak dalam rangka menggurui siapapun yang membaca tulisan ini, apa yang dituliskan memang seperti demikian dan sebagian kecilnya adalah pengalaman hidup yang ingin saya bagi di pagi hari ini.

Kesalahan tidak akan mengubah sejarah bahwa dirinya pernah menjadi teman terbaik, walaupun pada akhirnya, kemampuan motorik seseorang bisa juga terjungkil terbalik dan melakukan hal yang tidak kita senangi. Saya tidak berani mengatakan bahwa dengan keihklasan semua beban akan terasa ringan. Namun satu hal yang bisa saya lakoni adalah membuat “pemisahan”. Sikap berada pada satu ruang tersendiri, dan sosok juga memiliki ruangnya sendiri. Cukup meyakini bahwa yang akan terjadi maka terjadilah, kita hanya diberi pilihan untuk menjalani kejadian dengan ketenangan batin dan pikiran.

Mememdam masa lalu dengan penuh kekecewaan hanya akan membuat diri terombang ambing, seperti melekat pada daun yang terbang tak tentu arah, pada akhirnya terjatuh di tanah. tidak ada kemenangan, yang tersisa adalah diri melekat pada daun yang akan kering dan hancur menjadi sampah. Cukup daun itu saja yang menjadi sampah, biarkan diri kita lepas dan mencari sandaran yang kokoh untuk menguatkan hati menjalani keindahan hidup. Kejadian di masa lalu bisa saja dijadikan momen untuk menemukan titik balik. Melanjutkan kembali impian yang sempat terhenti karena ketakberdayaan hati menyambut pilihan di masa lalu.

Berdoa kepada Tuhan dengan permintaan yang paling sederhana, bukan untuk melupakan, karena Tuhan tidak akan pernah memberi tahu cara melupakan. Tidak ada satu hal didunia ini yang bisa kita tebak akan berbentuk dan berwujud apa nantinya. Manusia diberi kemampuan tertinggi untuk “menjalani” bukan “meratapi”. Dengan prinsip “menjalani” manusia akan menggunakan mata hati untuk melihat, telinga untuk menjadikan kita pendengar terbaik, dan kedua tangan dan kaki untuk memantapkan langkah terbaik berikutnya yang akan kita tempuh. Kenikmatan “menjalani” inilah yang selama ini kita butuhkan tapi enggan untuk menghadirkannya.

Kata ikhlas terkesan sederhana namun tidak sesederhana mengamalkannya. Karena kata ini melibatkan seluruh unsur dalam diri dan jiwa untuk bisa melakukannya. Hati dan pikiran harus selaras untuk bisa mengamalkannya. Buku Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu, menjadi bacaan wajib saya beberapa waktu yang lalu. Buku ini awalnya tidak mudah saya pahami isinya. Entah setahun kemudian ketika membaca buku ini lagi saya merasa lebih memahami isinya.

Saya pun akhirnya berfikir bahwa bahkan untuk mencerna sebuah isi tulisan yang bermanfaat sangatlah mahal harganya. Ya, harganya menjadi mahal karena hati ini masih diselimuti ratapan masalah hingga untuk memahami sebuah tulisan, diri ini masih terbata-bata. Semoga setiap kita terbangun di pagi hari, hati kita selalu merasa lapang agar siap menjadi tempat berkumpul yang nyaman bagi orang-orang terdekat yang selalu melimpahkan kasih sayangnya pada diri kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline