Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Nadira Memilih

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Saya masuk sekolah asrama saja Bu.

Suara nadira mengejutkan Bapak Ibunnya yang masih menikmati santapan makan malam di meja makan. Pak Damar hanya berdeham sebentar tapi tidak langsung menggubris kicauan Nadira.

“Kita bicarakan nanti ya nak, makan dulu nanti makanannya keburu dingin tuh.”

Ibu Yana mencoba mencairkan suasana gara-gara omongan Dira barusan.  Ibu Naya masih tidak habis fikir dengan keinginan anak perempuan satu-satunya ini. Ibu Naya jauh lebih berharap Nadira masuk sekolah umum saja.

“Kalau di pesantren emang mau dapat apa dia nantinya?” pikir ibu Naya.

“Bantu Ibumu beres-beres di dapur Dir, anak perempuan itu harus akrab dengan dapur, jangan di kamar terus.”

Pak Damar mengejutkan Nadira yang baru saja selesai makan. Sementara itu Nadira tiba-tiba merasa dongkol dengan omongan Bapaknya.

Setelah selesai membantu ibunya, Nadira pun ikut nimbrung di ruang tengah berkumpul sama ibu dan bapaknya. Nadira masih penasaran jawaban orangtuanya, apakah menyetujui rencananya masuk sekolah asrama.

“Yah, Nadira boleh sekolah asrama?” tanya Nadira dengan perasaan harap-harap cemas.

“Hemm..sebenarnya tidak ada masalah buat Ayah, malah bagus, biar kamu lebih mandiri. Cuma Ayah khawatir nanti kamu tidak betah di asrama. Asrama itu beda dengan sekolah biasa Dir. Kamu tidak bisa leluasa menghubungi Ayah sama Ibu lagi, nah kamu siap tidak sama semua resikonya?”.

Pak Damar berusaha menjelaskan dan memberikan gambaran ke Nadira soal sekolah asrama yang dimaksud anaknya. Pak Damar khawatir anaknya Cuma angin-anginan mau sekolah asrama.

“Kalau menurut Ibu bagaimana?” Nadira menatap sendu ibunya, berharap ada dukungan penuh tanpa ada pertimbangan macam-macam yang bisa membuat Nadira merasa optimis dengan pilihannya.

“Ibu juga sependapat sama Bapakmu, tapi Ibu mendukungmu nak, nanti kami sering-sering jenguk kamu di sekolahmu, sekalian kamu nyari pengalaman di tempat baru.” Ibu Naya berusaha membesarkan hati anaknya yang mulai kelihatan pesimis dengan pilihannya.

“Nadira tidak masalah kok Yah,Bu, saya janji sekolah dengan benar dipesantren. Saya mau merasakan sekolah yang jauh, itu saja sebenarnya alasan saya Yah”. Nadira memang tidak tahu persis mengapa ia memilih pesantren sebagai pilihan melanjutkan sekolah menengah tingkat pertama di pesantren. Baginya yang penting jauh dari orangtuanya.

Perbincangan malam itu berjalan lancar, orang tua Nadira rupanya menyetujui rencana anaknya masuk sekolah asrama di pesantren. Waktu seminggu disiapkan orangtua Nadira menyiapkan segala keperluan anaknya masuk pesantren.

Mungkin dunia baru bagi Nadira, dunia yang tidak dia kenal sama sekali, ketika semua aktivitasnya harus berkejaran dengan ketepatan waktu yang membuat Nadira agak kewalahan. Melanggar sedikit maka hukuman bersih-bersih toilet jawabannya, atau diwajibkan menghafal surah-surah pendek Juz Amma.

Tantangan yang paling sulit buat Nadira adalah mengikuti materi pelajaran kitab gundul yang dimulai setelah shalat subuh. Baginya pelajaran ini selalu membuatnya kantuk berat, tidak ada sedikitpun ayat dari kitab gundul yang berhasil dia baca dengan sempurna.

“Ah kitab gundul, bahasa Arab itu bikin kepalaku kayak putri malu, bawaannya selalu ngatuk Ris.”

Nadira ngomel-ngomel disamping sahabatnya. Nadira baru saja selesai belajar bahasa Arab, sejak pelajaran berlangsung di kelas, dia sudah tidak sabar ingin berlari keluar kelas, tidak tahan dengan pelajaran bahasa Arab yang menurutnya dari hurufnya saja sudah membuat matanya sipit kanan kiri.

“Ia Dir, ini beda ya, beda sama kalau kita ngaji biasa aja, atau belajar kosa katanya saja. Aku gak sreg sama perbedaan kalimat yang ditujukan untuk laki-laki dan perempuan. Aku bingung Dir, mana hurufnya keriting-keriting semua, ilmunya belum masuk di kepala, tulisannya lebih-lebih.  Aku ga pernah nyatat materi Ustad Catir.”

Siang itu perbincangan antara Nadira dan Riska menjadi obrolan santai tapi cukup menghilangkan stres karena baru saja selesai membahas bahasa paling rumit sedunia, setidaknya menurut Riska dan Nadira. Di tengah perbincangan datang teman sekelas mereka yang lain, cerita soal guru baru.

“Minggu depan, kita sudah tidak diajar bahasa Indonesia sama Ibu Wati, katanya Ibu Wati cuma ngajar satu kelas di kelas bahasa santri. Untuk santrwati nanti diajar sama guru baru, Ibu Erviana termasuk kelas kita juga.”

Riska baru sadar kalau sedari tadi dia tidak berbahasa Inggris, kalau berdua saja dengan Nadira dia sebenarnya jarang berbahasa Inggris atau Arab. Tapi karena temannya yang lain datang dan tidak berbahasa Inggris, jadinya dia ikut-ikutan juga ngomong bahasa Indonesia. Pesantren Ar-Rahman memang mewajibkan seluruh siswanya berbahasa Inggris dan Arab. Senin-Rabu bahasa Inggris dan Kamis-Minggu bahasa Arab.

Peraturan ini bertujuan untuk membiasakan santri dan santriwati bercakap dua bahasa dan bisa menguasai kedua bahasa tersebut. Agar efektif diturunkan piket rahasia yang memata-matai santri dan santriwati yang kedapatan melanggar bahasa, berbahasa selain bahasa Inggris dan Arab.

****

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Ibu Erviana guru baru yang mengajar bahasa Indonesia rupanya cukup membuat siswa kelas VIII pensaran. Bagaimana sosok guru baru mereka, atau mereka menerka-nerka usia guru tersebut.

Suasana kelas masih ribut, santriwati masih sibuk ngobrol sana sini dan tiba-tiba seorang perempuan berlalu di depan jendela kelas mereka dan berjalan menuju kelas. Semua santriwati terdiam beberapa detik sampai akhirnya ketua kelas memecah keheningan dengan menginstruksikan siswa untuk memberi salam kepada guru yang ada di depannya.

“Nama saya Erviana, guru yang menggantikan Ibu Wati, saya akan mengajar Bahasa Indonesia dan melanjutkan materi yang sudah diajarkan oleh Ibu Wati sebelumnya.”

Erviana guru baru itu cukup menyita perhatian anak-anak kelas VIII, dari suara khas yang dimiliki, agak berat dan terkesan tegas. Sorot matanya tajam tapi bukan garang, tanda bahwa Erviana sosok cerdas, dan terbiasa beradu pendapat.

Minggu pertama sampai minggu ketiga tidak nampak hal yang cukup mencolok dari sosok Ibu Erviana, Nadira malah merasa lebih menyukai cara mengajar guru barunya. Ibu Erviana dianggap lebih mengerti cara menyampaikan pelajaran, suasana di kelas tidak membosankan. Ibu Nadira kerap memancing siswanya agar lebih aktif, dan terbukti cara ini lebih menggairahkan semangat belajar di kelas bahasa Indonesia.

Namun kejadian cukup mengejutkan Nadira dan teman-temannya ketika Ibu Erviana mengeluarkan botol air minum mineralnya. Dengan enteng dia menaruh botol minumannya di atas Al-quran. Sontak seluruh mata menatap risih melihat sikap Ibu Erviana.

“Ini ada apa? ayo tugasnya dilanjutkan sekarang.” Suara Ibu Erviana memecahkan suara kasak kusuk di kelas siang itu. Erviana menangkap gelagat siswa dikelasnya yang lebih banyak bisik-bisik daripada mengerjakan tugas.

“Kalian mempermasalahkan botol minuman saya?, baik saya jelaskan, Al-Quran ini kitab suci tapi menurut saya yang suci adalah ayat-ayat Al-quran bukan kitabnya,bukan kertasnya. Saya hafal seluruh isi Alquran ini jadi tidak ada masalah jika saya menaruh apapun di atasnya, apalagi kalau sampai harus membantingnya.”

Jantung Nadira berdegup kencap mendengar penuturan Ibu Erviana, dia tidak pernah melihat Al-Quran dijadikan baki apalagi mau dibanting. Nadira masih tidak habis fikir dengan cara pandang Nadira. Selama ini baginya Al-Quran harus di simpan di tempat yang bersih dan tidak di taruh sembarang tempat.

Kejadian ini rupanya menjadi awal bagi Nadira mulai menanyakan banyak hal tapi hanya disimpan di kepalanya. Nadira termasuk unggul di mata pelajaran sains. Minatnya yang begitu besar di bidang sains mulai mempengaruhi cara berfikirnya tentang agama dan Tuhan.

Nadira diam-diam berdikusi dengan Ibu Erviana, menurutnya Ibu Erviana punya cara lain menjaga, mencintai agama dan mengenali Tuhan. Semakin bertambah usia Nadira semakin kritis pula ia berfikir, apalagi buku-buku yang dibacanya kebanyakan buku sains, kalaupun membaca buku agama, Nadira malah membaca buku yang justru dilarang beredar di Pesantren Ar-Rahman.

Paham Syekh Siti Jenar tentang Manunggaling kawula Gusti dianggapnya sangat menarik. Nadira merasa cara beribadahnya selama ini adalah warisan dari orangtua yang tidak pernah diketahui mengapa bisa seperti itu. Tidak berhenti dengan buku Siti Jenar, selepas menyelesaikan sekolah di pesantren, Nadira melanjutkan ke sekolah menengah atas dan kembali ke orangtuanya.

Di sekolah yang baru dia mulai menemukan banyak buku yang membahas mengenai keimanan iman manusia kepada Tuhannya. Namun semakin banyak Nadira membaca, rupanya semakin banyak perhitungan di kepalanya. Nadira bingung apakah yang diyakininya justru kekeliruan terbesar dalam hidupnya.

“Kamu ga sholat Dir,” Ibu Naya menegur Nadira yang sedari sore sampai Maghrib masih di depan TV, dan sudah berminggu-minggu dia bersikap seperti ini.

“Iya Bu, ini lagi nonton.” Jawab Nadira sekenanya. Tidak peduli betapa kagetnya Ibu Naya mendengar jawaban Nadira yang terlihat santai.

“Kamu kok aneh sejak balik pesantren, bukannya rajin shalat rajin ngaji, malah ibu lihat kamu jarang shalat sekarang. Kalau Bapakmu tahu, bisa parah urusannya, sudah kamu wudhu sana, pergi sholat.”

Ibu Naya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya melihat Nadira yang terlihat tidak peduli dengan omelannya.

Nadira berlalu begitu saja setelah mendengar ibunya marah, dan masuk ke kamar. Di kamar, Nadira menyelesaikan tugas sekolahnya dan mempersiapkan dirinya menghadapi olimpiade Biologi. Kata-kata ibunya sebenarnya sangat mengganggu pikirannya, namun Nadira menepis semuanya dan memilih membaca buku-buku pelajarannya.

“Aku heran sama anakmu Pak, akhir-akhir ini aku lihat dia malas baca shalat, bukan sekali tapi shalat lima waktu dianggurin semua.” Tidak biasanya dia seperti ini. Ibu Naya mengadu ke suaminya.

“Nanti saya bicara dengan Nadira bu, kita tidak bisa memarahinya seperti anak-anak lagi, dia sudah dewasa. Bapak pikir Nadira butuh waktu untuk memahami apa yang sedang terjadi disekelilingnya, selama  masih dalam koridor agama kita cukup memantaunya saja dulu bu.” Pak Damar berusaha berfikir jernih dengan kekhawatiran istrinya.

Pak Damar bukan tidak khawatir, tapi apa yang terjadi dengan Nadira mulai dia pahami dan pelajari sedikit demi sedikit. Pak Damar menyadari zaman mulai berubah, mengenalkan Tuhan pada keluarganya tidak cukup dengan bercerita soal surga dan neraka saja. Pak Damar memperhatikan perubahan sosial serta arus informasi yang terjadi disekelilingnya, dan sekarang dia sadar betul perubahan itu kini terjadi di dalam keluarganya sendiri.

*****

Sebulan, dua bulan, masuk bulan berikutnya, Nadira tidak menunjukkan perubahan apapun soal ibadah, ia betul-betul meninggalkan shalat lima waktu. Ibu Naya sudah berkali-kali menasehati Nadira, tapi Nadira hanya diam dan selalu menghindari obrolan soal agama dengan Ibunya. Pak Damar mulai dibuat resah juga hingga memutuskan harus berbicara langsung dengan Nadira tapi dengan pembicaraan yang lebih dewasa, lebih banyak bertukar pikiran.

Malam itu, Ibu Naya sudah tertidur tapi Nadira masih asyik menonton TV, laga pertandingan sepak bola Liga Inggris membuat matanya melek, apalagi tim kesayangannya Liverpool akan menjamu Chelsea. Pertandingan malam ini bakal seru. Nadira tertarik dengan tim sepakbola dari Inggris, bukan karena permainannya yang bagus. Lebih dari itu, Nadira mengagumi kebudayaan hingga tata krama orang Inggris, ia benar-benar jatuh cinta dengan negara Ratu Elizabeth.

“Seru nonton bolanya Dir, Bapak gabung ya.” Suara Pak Damar mengejutkan Nadira, dipikir bapaknya juga sudah tidur.

“Iya Yah, ini Nadira sudah tidak sabar pengen tahu skornya nanti berapa, mudah-mudahan liverpool menang”. Nadira terlihat sangat antusias menyaksikan tim kesayangannya begitu lincah memainkan bola.

Pak Damar sebenarnya tidak tahan begadang, hingga akhirnya tertidur. Tadinya ia menunggu Nadira menonton bola, ingin bicara lebih banyak dengan anaknya, tapi malam itu sepertinya bukan waktu yang pas. Nadira kaget melihat bapaknya sudah tertidur, dia tersenyum menatap wajah bapaknya.

Kerutan di wajah bapaknya terlihat jelas, bahkan selama ini dia tidak benar-benar memperhatikan wajah bapaknya. Nadira mengingat betul bagaimana bapaknya selalu memanjakan dia. Tapi ketika menginjak usia remaja, perlahan kasih sayang bapaknya mulai berkurang. Bapaknya lebih banyak diam, Nadira pun merasa tidak leluasa lagi berbicara dengan bapaknya.

“Ah aku tidur disamping bapak saja, aku kangen sama ayah.” Nadira menitikkan air matanya, dia merasa bapaknya yang dulu sudah kembali. Nadira pun tertidur disamping Pak Damar bapaknya.

***

“Ayah ingin bicara Dir”, suara pak Damar terdengar berbeda dari biasanya, kali ini terdengar lebih serius. Nadira sudah menduga masalah yang akan dibahas bapaknya.

“Masa-masa seperti usiamu sekarang memang akan dihadapkan banyak kebingungan, banyak pertanyaan. Ada yang bisa kita jawab tapi ada juga yang menyisakan banyak keraguan. Ayah tidak ingin sok tahu, tapi kalau agama membuatmu ada dalam kebimbangan, maka tarik dirimu lebih dulu.” Pak Damar masih berusaha menjelaskan maksud omongannya.

“Maafkan Nadira Yah, tapi Nadira sudah berusaha keras selama ini, Nadira juga tidak bisa memaafkan diri sendiri karena mungkin dianggap menyimpang dari tuntunan agama.”

“Disisi lain logika di kepala saya tidak henti-hentinya memancing banyak pertanyaan ketika saya mulai istiqamah Yah. Tidak ada perasaan bergetar di hati saya ketika mendengar ayat suci didengungkan. Tidak ada perasaan dekat dan kenal dengan pencipta kehidupan di dunia ini pak. Nadira benar-benar bingung Pak, Nadira sudah muak dengan semua ini.”

Tangis Nadira tumpah di depan Ayahya. Pak Damar tidak menyangka pergolakan batin anaknya sedemikian hebat. Pak Damar tidak tahan menyaksikan tangis anaknya, ini kebingungan maha dahsyat dalam hidup Nadira. Pak Damar sadar betul bahwa Nadira tidak salah, dia tidak ingin semena-mena mencap anaknya kafir karena meninggalkan kewajibannya sebagai muslimah.

“Ayah paham Nak, coba tenangkan pikiranmu, yakinkan hatimu, karena agama tidak akan menggiring manusia pada kebingungan dan kebencian tapi justru mengantarmu pada kedamaian. Setiap manusia punya jalannya sendiri-sendiri menemukan Tuhan, ketika kamu merasa damai maka yakin saja bahwa Tuhan selalu bersamamu.”

“Yakinkan hatimu tapi jangan menekan pikiranmu, jawabannya tidak akan kita temukan sehari, dua hari. Kamu tidak akan menemukan jawaban atas Tuhanmu jika berlomba bersama waktu. Semuanya butuh proses, entah kamu akan berjumpa dengan persoalan atau pengalaman hidup yang membuka kejernihan pikiranmu. Ayah tidak menyuruhmu shalat dan segera bertaubat atas kebimbanganmu meragukan agama dan Tuhan”. Kamu akan menemukan jawabannya Nak, melihatlah dengan hati, jangan biarkan pikiran yang memutuskan sendiri takdirmu.”

Pak Damar merasa sudah tenang, mendengar langsung kegelisahan Nadira. Baginya Nadira seperti manusia sesungguhnya yang ia temui. Karena Nadira akan menemukan Tuhannya dengan jalannya sendiri, dengan pencariannya sendiri, bukan karena doktrin surga dan neraka saja.

“Terima kasih Yah, Nadira bersyukur memiliki orangtua seperti bapak. Bapak jangan tinggalkan saya, ini sangat berat untuk Nadira pikirkan sendiri Pak.”

Nadira masih menangis tersedu-sedu di pundak bapaknya, sudah lama dia merindukan kebahagiaan seperti yang ia rasakan siang ini. Pak Damar merangkul putri kesayangannya, Pak Damar berjanji akan menjadi teman Nadira dalam menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tentang Tuhan.

Bukan soal logika yang membelenggu pikiran manusia hingga memutuskan menjauh dari Tuhan, sama sekali bukan. Manusia tidak pernah meninggalkan Tuhan. Kekalutan, keputusasaan, kekecewaan manusia adalah bukti bahwa manusia merindukan Tuhan, begitu pun dengan Nadira, kebingungannya adalah jalan bagi dirinya menemukan kehadiran Tuhan dalam hidupnya.

“Yuk Nak, habiskan makanannya, dari sini kita pergi ke pemakaman kakekmu, sudah lama kita tidak berziarah, hari ini bapak ingin sama-sama kamu terus, bapak rindu membawa panda manisku ini jalan-jalan.” Pak Damar menatap penuh kasih sayang sama anak semata wayangnya.

“Terima kasih Ayah.” Ucap Nadira bahagia.

Nadira merasakan kehangatan itu terpancar dari sorot mata Bapaknya, dia makan lahap sekali. Siang itu menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Nadira, menemukan jawaban atas kebingungannya dari orang yang sangat dia cintai, Bapaknya sendiri.

ilustrasi: galleryhip.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline