Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Selfie,Tongsis dan Tawa Di Ruang Publik

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: http://beritabulukumba.com/

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi: http://beritabulukumba.com/"][/caption]

Namanya ruang publik, berarti ruang di mana berbagai kegiatan, berbagai aktivitas berkumpul menjadi satu. Ruang publik bisa macam-macam juga bentuknya. Ada alun-alun, perpustakaan kota (ruang wi-fi), warung makan, dan arena pertunjukan seni. Ada juga ruang publik yang tidak terbatas pada ruang skala makro saja, shelter angkutan umum, jalan, kantor pemerintah bisa juga dikategorikan sebagai ruang publik. Dapat disimpulkan jika ruang publik adalah ruang yang digunakan bersama untuk melakukan kegiatan masing-masing.

Terkadang karena menganggap ruang publik sebagai ruang bersama, dan ada berbagai macam orang di dalamnya, sensitivitas terhadap situasi disekitar biasanya diabaikan. Kembali pada prinsip pembangunan ruang publik yang mengutamakan kesetaraan dan kebersamaan, nampaknya terjadi pergeseran dalam pemahaman tersebut.

Generasi “selfie” yang pernah diulas oleh kompasianer Fandi Sido menjadi tolak ukur saya dalam membahas bagaimana seharusnya orang bersikap di ruang publik dan hubungannya dengan perilaku remaja atau generasi selfie. Saat ini jika sekadar jalan-jalan ke alun-alun, perpustakaan kota, restoran, hampir kebanyakan dipenuhi oleh anak-anak muda.

Ada apa dengan remaja selfie ini?, beberapa pengalaman saya berhadapan dengan komunitas tongsis, sempat membuat dahi agak mengerut, jengkel dengan ulah mereka. Kejadiannya di ruang publik, saat kami menyaksikan pementasan kesenian di Taman Sari. Jumlah pengunjung yang membludak membuat saya harus berhati-hati memilih posisi untuk menonton, khawatir jika salah posisi malah mengganggu penonton lain.

Saat pertunjukan berlangsung, tiba-tiba saja sekumpulan remaja berjumlah enam orang menghalangi pandangan saya karena asyik ber-selfie ria. Tongsisnya membuat saya terganggu, dan akhirnya saya memiringkan badan agar tidak mengganggu aksi selfie mereka. Kesal jelas mengganggu pikiran saya waktu itu, hingga kurang menikmati pertunjukan selama beberapa menit, beruntung mereka segera pergi.

“Selfie ada baiknya dan ada sisi buruknya, satu sisi menunjukkan aktualisasi diri tapi di bagian lain, ada kecenderungan sikap percaya diri yang berlebihan”. Teman saya berusaha menjelaskan cara pandangnya soal remaja yang gemar selfie, setelah mendengar keluh kesah saya soal selfie di ruang publik tapi justru mengganggu kenyamanan orang lain.

Selfie, tidak terbatas pada aktualisasi diri di depan kamera saja kemudian mengirimkan/menyebarkannya ke berbagai akun si pemilik. Secara umum saya melihat selfie dalam lingkup yang lebih luas, misalnya tertawa terbahak-bahak di tempat umum, padahal bisa saja ada yang terganggu dengan gelak tawa mereka yang menghampiri ambang batas normal.

Apakah tertawa terbahak-bahak di tempat publik adalah bentuk selfie juga?, bisa setuju, bisa tidak. Ketika beraksi di luar batas kewajaran atau tidak peduli dengan situasi sekitar, sepertinya ada rasa percaya diri yang terjadi saat itu. Percaya dan yakin tindakan mereka wajar karena berada di ruang publik.

Sebelum teknologi semaju saat ini, saya masih mendapati seperti ada norma tidak tertulis yang menjadi alat kontrol serta filter dalam diri. Misalnya, bagaimana memelankan suara ketika orang disekitar memperlihatkan kesantunan yang sama, sekalipun ini di ruang publik. Kepekaan ini menjadi filter bagi diri agar sebelum bertindak kita tahu apa yang harus dilakukan.

Saat berada di perpustakaan kota misalnya, karena fungsinya sebagai ruang publik maka ada bentuk penghargaan bagi orang lain. Prinsipnya, ada yang memanfaatkan ruang tersebut dan sama pentingnya dengan urusan kita. Ruang khusus layanan wi-fi misalnya, dalam satu blok yang berbentuk shelter tersedia hingga lima colokan listrik untuk lima pengguna.

Agak heran juga ternyata, di ruang publik seperti perpustakaan kota, masih ada saja perilaku sebagian kecil pengunjung yang tidak peduli dengan kepentingan orang lain. Contohnya adalah tidak berusaha dengan segenap pengertian untuk memberi tempat bagi pengunjung lain.

Seharusnya di blok tersebut bisa diisi untuk empat pengguna, nyatanya oleh pengunjung ini malah dipakai berdua saja dengan kawannya. Berkas-berkas dan beberapa buku memenuhi meja di jajaran blok tersebut. Banyak pengunjung yang sepertinya canggung meminta tempat pada pasangan ini, akhirnya memilih duduk di bawah pohon.

Kejadian yang saya paparkan ini ternyata terbukti dengan penelitian dari Pew Research Center yang menemukan bahwa rata-rata generasi millenial memiliki kebiasaan selfie lebih besar, kisaran umurnya 18-34. Menurut penelitian ini, generasi selfie mewakili kelompok “abai yang terlalu percaya diri” seperti yang juga disebutkan dalam artikel Fandi Sido.

Juga masih lekat dalam ingatan saya, sekitar tahun 2004 saat itu saya sudah berusia 15 tahun, sempat heboh waktu itu mengenai aktualisasi diri dalam bentuk “peer-group”. Dengan bergabung ke grup atau kelompok terkenal di sekolah akan menambah rasa percaya diri, bahkan tidak peduli dengan syarat aneh yang diminta ketua kelompok.

Perilaku kelompok sejenis ini kadang tidak tahu aturan juga terutama di tempat publik. Sekumpulan gadis-gadis membuat gaduh saat berada di mal, atau saat menonton di bioskop dengan celoteh berkepanjangan, cekikikan, padahal harusnya di suasana seperti itu sebaiknya tidak bersuara. Atau sekumpulan anak muda yang sepulang sekolah lebih suka nongkrong di warung makan sekolah, tidak makan tapi merokok sebebas-bebasnya, mengganggu siswa lain yang ada di tempat itu juga.

Ada perbedaan cara kedua generasi ini menonjolkan aktualisasi dirinya, bedanya di masa lalu, orang baru merasa percaya diri ketika melakukan bersama-sama. Pada masa kini, seorang diri pun nampaknya sudah bisa menunjukkan aktualisasi dirinya di ruang publik.

Pada tampak luarnya suatu ruang berciri dan terlihat sebagai ruang publik, namun fungsi kebersamaannya, saling menghargai tidak terlihat sama sekali. Kenyataannya kejadian yang berlangsung di ruang publik ini berada di bawah kendali prinsip individualisme.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline