Lihat ke Halaman Asli

Ratih Purnamasari

TERVERIFIKASI

Tata Kota

Menunggu Listrik di Kulonprogo

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14137779151910725491

[caption id="attachment_367712" align="aligncenter" width="580" caption="Gerbang masuk Desa Kalirejo, Kec. Kokap, kULONPROGO. Di desa ini terdapat setidaknya 3 dusun yang belum teraliri listrik secara penuh. Foto oleh: Ratih Purnamasari."][/caption]

Selama beberapa menit saya tertegun mendengar cerita Mbah Sujiyanto (81), warga dari dusun Kalibuko II Kecamatan Kokap, Kulon Progo, D.I.Y., Sabtu (18/10) kemarin. Walaupun sepanjang pembicaraan di pinggir kebun itu Mbah Suji terus menggunakan bahasa Jawa, saya berusaha menangkap sedikit demi sedikit informasi penting yang disampaikannya.

Sujiyanto adalah satu dari beberapa kepala keluarga yang ada di Dusun Kalibuko II yang belum bisa menikmati listrik hingga saat ini. Mbah Suji bercerita jika dirinya sudah dimintai uang muka untuk pemasangan instalasi listrik di rumahnya. Ingin cepat menikmati, Ia malah membayar lunas sebesar 2,3 juta rupiah ke PLN lewat pengurus desa, tapi sambungan listrik tidak kunjung menyentuh rumahnya.

Sambil terkekeh-kekeh Mbah Suji menunjuk dusun lain yang sudah mendapat  listrik. “Saya sudah bayar lunas, tapi kabel listrik malah terus ke selatan dan ke barat, tidak lewat rumah saya.”

Pola permukiman di Kecamatan Kokap tidak menyatu dalam satu kawasan permukiman, tetapi terpencar-pencar mengikuti kontur perbukitan. Hal inilah yang tampaknya menyulitkan PLN untuk memasang jaringan instalasi listrik di Kecamatan ini. Tiang-tiang hanya menjangkau dataran agak bawah, sementara area lebih terjal hanya dilewati kabel-kabel listrik yang dicantolkan ke dahan pohon.

Keterangan yang sama pun juga telah disampaikan dari pihak Kasi  Minyak dan Gas Bumi, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM Kulonprogo Dian Nugroho pada laman Harian Jogja Juli 2014.

Kontur wilayah yang berbukit-bukit dan kemiringan yang curam menjadi faktor utama yang membentuk pola pemukiman di Kecamatan Kokap akhirnya berdiri sendiri. Akibatnya pemasangan instalasi listrik menjadi terkendala, karena prasyarat pemasangan tiang listrik ini berjarak 35-50 meter dari rumah warga.

Kenyataan di lapangan sebagian besar rumah penduduk di Dusun Kalibuko tidak ada yang berada tepat di depan jalan utama. Sebagian besar rumah penduduk berada di bagian dalam rimbunan perkebunan atau di bagian dasar perbukitan. Untuk mencapainya harus melalui jalan setapak yang curam, belum beraspal karena jalan ini sebenarnya hasil swadaya atau inisiatif warga setempat.

Di Kulonprogo terdapat setidaknya 2 kecamatan yang belum teraliri listrik secara penuh, yakni Kecamatan Panjatan dan Kokap. Di Kokap sendiri, 2 dari 4 desa, yakni Kalirejo dan desa Tirtohargo, area ketercakupan listrik PLN masih sekitar 50%. Yang terparah berada di sekitar Kalibuko II terus ke utara hingga perbatasan Purworejo, di mana terdapat rumah-rumah yang sulit dijangkau jalan biasa dan terjepit di antara rimbun hutan.

Tidak jauh dari tempat saya bertemu Mbah Suji, secara kebetulan saya bertemu dengan warga dusun lain yang masih berada dalam Dusun Kalibuko. Namanya Fuad Khalwani, seorang perantau dari Bengkulu dan kini menetap di Jawa bersama seorang istri, anak serta adik laki-lakinya. Fuad mulai bercerita awalnya mereka bisa menikmati listrik seperti sekarang.

[caption id="attachment_367713" align="aligncenter" width="220" caption="Fuad Khalwani (30) bermain bersama anaknya saat saya temui di rumah mereka, dusun Kalibuko. (Foto: Ratih Purnamasari)"]

14137780611241807973

[/caption]

Dari penuturan Fuad, tiga tahun yang lalu, pemerintah Kulon Progo sempat mendata seluruh penduduk Dusun Kalibuko yang belum mendapat layanan jaringan listrik di rumahnya. Saat itu Fuad mendaftarkan dirinya dan membayar biaya sebesar Rp 600 ribu/KK untuk daya sebesar 900 VA. Biaya ini merupakan biaya untuk pemasangan awal setelah disubsidi pemerintah. Selanjutnya jika ingin menambah daya yang lebih besar bisa diurus secara perorangan tergantung kebutuhan daya yang dibutuhkan.

Sebelum akhirnya bisa menikmati listrik, menonton tv dan menyalakan mesin air di rumahnya, Fuad harus membeli listrik di tetangga dekat rumahnya, membayar bulanan sekitar 30 ribu sampai 50 ribu. Boleh dikata listrik yang dibeli itu dibisniskan karena jika dihitung-hitung biaya yang dikeluarkan Fuad sebelum memiliki listrik sendiri dan setelah punya listrik sendiri, ternyata biayanya lebih besar membeli listrik dari tetangga itu.

Tanda-tanda bahwa Dusun ini pernah “gelap” selama bertahun-tahun mulai terasa. Saat menjelang Magrib saya mulai merasakan suramnya Dusun Kalibuko tempat tinggal Fuad. Beruntung mesjid di dusun ini masih bisa mengumandangkan Adzan, tidak dibisukan oleh ketiadaan listrik sehingga saya masih bisa merasakan ada di dalam perkampungan.

Tidak ada penerangan lampu jalan di sepanjang jalan dusun ini. Sejauh mata memandang, saya hanya melihat kegelapan. Hanya ada gemuruh angin yang terdengar jelas malam itu. Memang terasa sangat jauh dari Yogya meski berjarak hanya sekitar 50 kilometer. Fuad berkata jika hujan deras dan angin kencang bisa mematikan listrik di rumah mereka.

Kembali saya kembali mengingat Mbah Suji, pria berusia 80 tahun yang mungkin sepanjang hidupnya tidak pernah disinari cahaya lampu. Tak perlu angin kencang dan hujan deras, dalam kondisi cuaca yang bersahabat sekalipun, Mbah Suji sudah terlalu lama berada dalam kegelapan.

Kenyataan ini adalah contoh paling dekat yang bisa saya saksikan, satu dusun yang berada di Kabupaten Kulon Progo dan berada dalam bagian wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagaimana dengan warga yang berada di daerah perbatasan? Di provinsi lain yang hanya bisa menikmati listrik hingga jam 11 malam saja.

Papan Reklame, Pemborosan Energi Perkotaan

Sementara di jalan-jalan besar Kota Yogyakarta dan baliho, papan reklame yang menjadi sampah visual justru bisa mendapatkan berpuluh-puluh neon box. Neon box ini hanya digunakan untuk memperjelas kalimat iklan produk yang membosankan. Padahal puluhan lampu neon dalam satu papan reklame di Kota Yogya ini bisa menerangi jalan sepanjang 50 meter di Dusun Kalibuko. Atau sesekali kita bisa melihat salah satu retail terbesar di depan kampus negeri di kota ini.

Ada sekitar ratusan lampu neon yang terpasang dalam toko tersebut. Terangnya cahaya dalam toko ini bisa sampai di depan jalan. Apakah orang yang berbelanja, makan dan minum di dalam toko itu penglihatannya kurang jelas hingga harus diterangi lampu sedemikian banyak? Kesombongan penggunaan energi yang sangat jelas, padahal kita semua tahu negara ini sedang terseok-seok masalah energi.

Energi alternatif yang digembar-gemborkan di pedesaan, orang desa yang diajak memelihara sapi, mengembangkan bio gas, orang desa yang dibantu dengan energi hibrid ala angin dan matahari, apakah semua ini untuk “mengamankan” kenyamanan dan kesombongan orang kota memboroskan energinya? Adakah yang memikirkan bahwa di dalam sebuah dusun dengan waktu tempuh kurang dari sejam dari Ibu Kota ternyata belum pernah mendapat listrik seumur hidupnya?

Kini gemerlap lampu-lampu papan reklame sepanjang jalan Kota Sleman dan Yogya membuat saya semakin merasa miris. Enggan rasanya berlama-lama di jalan yang sudah penuh sesak oleh kendaraan, diterangi cahaya neon box, yang ada hanya bayangan wajah Mbah Suji.

[caption id="attachment_367722" align="aligncenter" width="154" caption="Meteran listrik prabayar di rumah Fuad./ Foto: Ratih Purnamasari."]

14137783231408057069

[/caption]

Kulonprogo sendiri mulai siap berbenah sejak Pemerintah Provinsi mengesahkan Desa Temon di pesisir sebagai titik pembangunan bandar udara baru. Harga tanah melonjak di atas 1 juta rupiah per meternya kini. Dan kontroversi terus terjadi. Di saat wilayah pesisir Kulonprogo terbangun pelan-pelan, wilayah perbuktian di utara jarang tersentuh. Kepada saya Fuad mengakui, bahwa sangat jarang orang pemerintah turun hingga ke Kokap, meski sekadar untuk mengecek aliran listrik warga.

Apakah ini pantas disebut sebagai perjuangan atau penantian panjang? Sekalipun pemakaian listriknya tidak sebanyak kebutuhan orang di kota. Atau tidak sebanyak pemakaian lampu di toko retail itu. Sekadar kita ketahui, kalau Mbah Suji hanya butuh tiga lampu saja untuk menerangi rumah mereka yang sudah “gelap” selama bertahun-tahun.

Mbah Suji sendiri nampaknya tidak mengetahui secara persis di mana dan harus kemana dirinya mengeluhkan rencana pemasangan listrik yang dijanjikan padanya. “Saya ini orang bodoh, lebih baik di rumah ngurusi mbah Putri.” Mbah Suji sudah terlalu tua untuk mengurusi hal-hal diluar kemampuannya seperti menagih janji pemasangan listrik di rumahnya. Mungkin tidak sedikit yang bernasib sama dengan Mbah Suji, tinggal di desa tanpa listrik dan kebanyakan kepala keluarga sudah berusia lanjut.

*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline