[caption id="attachment_380950" align="alignnone" width="600" caption="Daerah Gilingan di Kecamatan Mlati, sumber Google Earth"][/caption]
Suatu hari saat berkunjung ke PPIK (Pusat Informasi Kebumian) di UGM berharap citra satelit yang saya butuhkan untuk kebutuhan penelitian bisa kudapatkan di tempat ini. Sebelumnya sudah pernah kudengar informasi soal mahalnya harga citra satelit tersebut, namun nekat saja kukunjungi PPIK ini dan menanyakan langsung. Harganya cukup mahal untuk ukuran perorangan seperti saya, karena yang sanggup membeli citra satelit dengan resolusi detail seperti yang saya inginkan hanya instansi pemerintah seperti BPN. Ok, kuturunkan lagi kasta tingkat resolusinya, berharap ada harga yang masih masuk akal kudengar hari itu. Ternyata sama saja, harga citra per kotaknya hampir Rp.1.000.000, itu baru bagian ujung salah satu dusun di kecamatan Depok Sleman. Bukan satu kecamatan, satu kecamatan bisa terdiri dari 20 kotak sedangkan yang saya butuhkan 5 kecamatan.
Satu-satunya saran yang lebih masuk akal yang disebutkan oleh staf PPIK hari itu adalah menggunakan citra Google Earth. Jalan terakhir dan buntu ini yang akhirnya saya pilih, saya sadar sepenuhnya kalau menggunakan citra Google Earth ini ada di kasta terendah (bagi saya). Namun akal saya tidak berhenti sampai disini, untuk menjaga kualitas dan tingkat digitasi yang kulakukan sekalipun hanya menggunakan citra Google Earth, saya menggunakan data SHP penggunaan lahan DPPD Sleman (Dinas Pengendalian Pertanahan Sleman). Hasil digitasi yang kulakukan akan di overlay (istilah pemetaannya tumpang tindih) dengan peta dari DPPD agr lebih akurat.
Masalah baru muncul saat saya harus menggunakan Google Earth dan Wikimapia secara bersamaan, kemampuan kartu modem yang agak lemah jika harus membuka GE dan Wikimapia bersamaan. Jadi pagi-sore menjelang maghrib saya sudang "nongkrong" betah di Perpustakaan Kota Jogja untuk mengunduh satu persatu potongan citra Google Earth ini. Hanya saja tetap ada kekurangannya karena biasanya di malam hari Saya masih ingin melanjutkan pekerjaan ini namun tidak di dukung dengan kecepatan internet yang memadai.
Sebenarnya kebutuhan informasi pemetaan saat ini sudah sangat berkembang dan dibutuhkan di berbagai instansi pemerintah. Namun seperti yang saya sebutkan di atas kalau harga citra Quick Bird atau IKONOS yang terkenal dengan resolusi tingginya harus dibandrol dengan harga yang sangat mahal. Kalau tidak bisa dengan Quick Bird tak apalah cukup menggunakan Google Earth, dan biar lebih akurat harus didukung dengan survei lapangan. Peta yang telah kita digitasi (jiplak ulang dalam software GIS) ini yang dibawa ke lapangan, menandai satu persatu ketelitian hasil digitasi dan kondisi di lapangan. Cara ini memakan waktu yang lama dan perlu tim untuk melakukannya, disinilah letak perbedaan menggunakan citra resolusi tinggi dengan citra biasa seperti Google Earth.
[caption id="attachment_380949" align="alignnone" width="600" caption="Digitasi, salah satu tahapan pembuatan peta melalui citra Google Earth dengan menggunakan GIS (dokumen Ratih Purnamasari)"]
[/caption]
Bagi saya kalau harus menggunakan citra Google Earth juga bukan kendala, selama dukungan akses dan kecepatan internet yang saya gunakan tidak terganggu karena faktor "lambat loading". Tahun ini setelah penelitian saya berakhir saya berencana membuat Peta Hijau di salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman. Peta Hijau ini sudah lama diperkenalkan oleh pakar perkotaan Marco Kusumawijaya dan sudah melakukannya untuk kota Jogja. Hal ini yang membuat saya tertarik untuk melakukan pemetaan serupa di satu kecamatan kabupaten Sleman.
Kenapa peta hijau untuk Sleman? Saya melihat ada perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi di kabupaten Sleman selama 10 tahun terakhir. Perubahan lahan ini terjadi di atas lahan pertanian subur, sekalipun dalam rencana tata ruangnya disebutkan wilayah yang mengalami perubahan ini sudah ditetapkan sebagai kawasan perkotaan. Sekalipun demikian saya berfikir jika ada masalah yang lebih besar menanti Sleman beberapa tahun kemudian seperti berkurangnya luasan lahan. Ada masalah lingkungan yang siap menanti di depan mata, kekeringan, kesulitan air bersih dan efek urban heat island.
Hari ini semua orang bisa berleha-leha, berjalan-jalan di kota dengan tersenyum riang, ancaman lingkungan belum terpikirkan. Ketika tiba saatnya kendaraan sudah tidak ada artinya, panas di kota yang makin menggila, air bersih semakin sulit, maka perang baru saja dimulai, namun bukan perang dunia III. Saat itu kita baru sadar tersadar musuh paling nyata adalah kota yang hancur, kota dan pertanian adalah perang yang sesungguhnya.
Harapan saya untuk lingkungan melalui peta hijau terlihat sederhana, ia hanya berupa titik. Tapi titik-titik kecil ini akan bertemu dengan titik-titik kecil yang dilakukan orang lain dan punya kepekaan sama terhadap lingkungan. Semoga dari kumpulan titik-titik usaha dan harapan ini bisa menjadi jaring laba-laba yang besar dan menjangkau semua harapan orang akan kota dan lingkungan yang lebih baik di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H