[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Apakah mereka penduduk asli Jakarta? atau warga dari daerah lain yang mencoba peruntungan di Jakarta? Siapapun dan dari manapun asalnya, kehadiran mereka butuh ruang. Sementara daya dukung kota sudah sesak dipenuhi limbah warga aslinya sendiri ; Jakarta, 2013"][/caption]
Melihat orang-orang tidur di emperan toko ketika malam hari lambat laun menjadi pemandangan yang biasa di mataku. Ada kejanggalan, ketidakberesan dan ketidakwajaran yang perlahan menjadi lumrah karena jumlah dan frekuensi terjadinya sangat sering, bahkan berlangsung setiap hari.
Suatu hari saat dalam perjalanan pulang dari kampus kira-kira pukul 8.00 malam, saya melintas di samping bangunan KFC depan Mirota Kampus. Saat itu sementara menunggu di bawah traffic light, kalau menunggu begini biasanya diriku tidak bisa tenang, mataku selalu melempar pandangan ke segala arah. Akhirnya kutemukan juga pemandangan yang aneh itu, sekumpulan anak-anak yang menggelar baliho bekas di atas trotoar di balik reklame raksasa ukuran 4x3 m sambil tidur-tiduran.
[caption id="attachment_381908" align="aligncenter" width="448" caption="Ada apa di belakang reklame itu?"]
[/caption]
[caption id="attachment_381910" align="aligncenter" width="448" caption="Kalau malam hari, beberapa geladangan tidur disini. Sore mereka keliling, mangkal di bawah lampu merah : Yogyakarta"]
[/caption]
Kesibukan anak-anak ini hampir tidak terlihat karena tertutupi reklame yang superbesar itu. Hanya kaki-kaki mungil yang kulihat dan satu orang anak yang sementara terbaring menghadap tembok pagar KFC. Kemudian berselang tiga hari kemudian saya kembali berhenti di traffic light depan restoran Sagan ke arah Panti Rapih. Depan restoran ini ada 3 reklame besar, dan di belakang reklame ini juga ada pemandangan yang sama dengan yang ada di samping bangunan KFC.
Setiap hari saya sering melintas di dua tempat ini, dan pernah suatu kali dibuat gemes sama ibu yang teriak persis di sampingku. Ibu ini menjadi mandor untuk anak gadisnya, anaknya disuruh keliling dari motor ke motor meminta receh. Mungkin saat itu anaknya sudah lelah dan kelihatan kurang cepat sementara lampu merah segera berganti hijau dan belum ada receh yang didapatnya.
Dua kejadian ini membuat diriku tidak tenang kembali, cukuplah tidur-tiduran di depan toko itu yang membuatku hampir kehilangan kepekaan lagi. Mengapa harus bertemu dengan kejadian baru lagi, yakni orang-orang yang mulai memanfaatkan ruang selebar 1 meter di belakang reklame untuk dijadikan tempat tinggal.
Sepertinya orang-orang ini bukan penduduk asli Jogja, entah datang dari kota mana dan berniat mengadu nasib di Kota Yogya. Ada kecenderungan saat kota-kota mulai tumbuh, pendatang dari berbagai kelas mulai berdatangan, seperti ada magnet yang ikut menarik kelompok gelandangan untuk mendatangi kota.
Mengapa orang-orang ini berbondong-bondong mendatangi kota besar? Padahal mereka sendiri tahu jika tidak ada keahlian yang mereka bawa selain menunggu di tiang lampu merah. Ada bapak yang memang lebih banyak duduk, mengamati anaknya dari jauh membawa kaleng dan meminta receh. Pernah kudapati seorang anak yang dimarahi bapaknya, kebetulan anak itu sempat menghampiriku untuk meminta receh. Orang-orang ini bertaruh cukup besar dengan kehidupannya, tanpa keahlian tanpa pekerjaan, mereka menantang nasib di jalanan.
Masalah kota tidak akan pernah selesai jika gelandangan terus berdatangan ke kota besar dan hanya bergantung pada belas kasih pengendara di jalan. Masalah kota seperti daya dukung lingkungan yang merambah ke masalah infrasturktur, limbah, sanitasi, dan kemacetan adalah hasil dari kepadatan penduduk kota yang menetap di kota. Masalah ini sudah cukup membuat pusing pemerintah kota, kemudian di tambah dengan kedatangan warga kelas baru yang tidak punya tempat tinggal, maka masalah kota menjadi semakin kompleks.
[caption id="attachment_381913" align="aligncenter" width="600" caption="Sedih melihat pemadangan ini "]
[/caption]
[caption id="attachment_381917" align="aligncenter" width="600" caption="Ada yang lebih berani seperti Bapak ini? mengais rejeki dari botol plastik, sementara di depannya melintang pipa gas tekanan tinggi. (Jakarta,2013)"]
[/caption]
Apakah saya antigelandangan? Sama sekali tidak, namun saya mengkritisi orang yang sengaja mengambil peluang di atas masalah kota yang sudah acak-acakan ini. Kota sudah cukup dibuat rusak dengan pemikiran “Masalah Kota Bukan Urusan Saya” itu tugas walikota, perencana kota. Kalau memahami bagaimana kota harus bekerja, tentu sebagai warganya yang baik kita akan membantu meringankan masalah kota. Namun nyatanya apa? Warung makan yang dibangun seluas lapangan bola tapi tidak punya tempat parkir, pedagang kaki lima yang susahnya minta ampun dipindahkan ke dalam bangunan lebih layak, pengendara yang seenaknya di jalan, buang sampah di mana pun berada.
[caption id="attachment_381914" align="aligncenter" width="400" caption="Contohnya Ibu ini, tinggal buang sampahnya di sungai, masalah selesai. (Jakarta,2013)"]
[/caption]
Ya kota semakin mirip kebun binatang, semua bebas membangun, semua bebas bersuka cita, melakukan apa saja, tidak ada yang ingin diatur, karena Masalah Kota Bukan Urusan Saya. Saat pemerintah mulai memperbaiki sistem transportasi dengan mendatangkan bus-bus besar dan nyaman, ternyata dihambat lagi dengan kemudahan orang mencicil motor dan mobil. Rasanya lucu, saat kota mulai menerapkan konsep kota cerdas tapi berada dalam negara yang kebijakannya masih agak aneh, konyol. Ya tidak salah jika pakar perkotaan asal Argentina Boyd Cohen melontarkan pernyaatan keras: Smart city in a Stupid Country.
Mengenai masalah gelandangan yang semakin menambah runyam masalah kota karena mereka pasti juga butuh ruang, mereka seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah di daerah asalnya. Untuk semua keruwetan yang ada di kota, kuncinya satu, mau diatur dan hidup teratur. Peradaban kota tidak muncul dalam bangunan fisik dan berapa jumlah mal, bioskop di kota Anda. Tapi Bagaimana pemerintah mau mengatur, dan warganya juga mau diatur.
Jika masalah kota bukan urusan kita, maka siap-siaplah menyambut kota dengan kebisingannya, dengan kegilaannya yang membuat saya dan kita semua menjadi beringas satu sama lain.
---
[caption id="attachment_381919" align="aligncenter" width="585" caption="Tak gentar kan ibu ini duduk di pinggir rel sementara KA sementara melintas di belakangnya. Teman saya yang tutup mata, takut."]
[/caption]
[caption id="attachment_381920" align="aligncenter" width="400" caption="Kami tidak disambut di dalam rumah, duduknya di antara dua rel kereta api. Artinya ruang dan lahan di Jakarta itu mahal. Masih nekat mau tinggal di Jakarta tanpa pekerjaan dan tempat tinggal jelas?"]
[/caption]
[caption id="attachment_381922" align="aligncenter" width="600" caption="Blusukan di sungai dengan Getek. Kalau sungai di Jakarta sudah bersih, bening, maka moda transportasi seperti Getek ini bagus juga dikembangkan. "]
[/caption]
[caption id="attachment_381924" align="aligncenter" width="600" caption="Silahkan ke kota, dan bagi penduduk asli, peliharalah kota kita, masalah kota adalah tanggung jawab bersama. Masalah kota bukan cuma tugas Pak Ahok dan Pak Ridwan Kamil"]
[/caption]