Lihat ke Halaman Asli

Bubur Ayam Sahabatku

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Semangkuk bubur ayam selalu mampu menceriakan pagiku, juga malamku. Rasanya sulit kutemukan sahabat yg sesetia bubur ayam. Sejak kecil semangkuk bubur ayam menjadi energi yang membuatku tersenyum & semangat. Walaupun, menurut dokter asma ku, dr Alexander K Ginting, Sp.P., bubur ayam terlalu besar untuk porsi sarapanku, tetap tak bisa kutinggalkan.

Masih ku ingat saat usiaku 4 tahun, ibu membelikan bubur ayam sebelum keberangkatan kami ke Surabaya, saat kakek meninggal dunia. Barangkali, bahkan lebih kecil dari itupun, aku sudah sarapan bubur ayam. Tetapi memoriku tak mampu me-recall peristiwa yg terlalu lampau itu. Namun aku masih ingat loh, rasa Bubur Ayam Rawa Belong yang terkenal itu, salah satu alternatif menu malam minggu keluarga kami. Namun kesempatan menikmatinya hanya sampai kelas 3 SD karena kami pindah ke Muara Karang.

Saat SMP, setiap pagi kami harus stand by, karena pedagang bubur ayam selalu melaju dengan cepat di depan rumahku. Rasanya yg agak berminyak, legit sekali. Apalagi porsinya termasuk sedikit, jadi kenikmatannya tidak hilang. Seperti law of diminishing return, semakin meningkat (porsi) akan semakin berkurang nikmatnya.

Bubur Ayam Cirebon di jalan Mahakam adalah bubur ayam Cirebon terenak yang pernah ku makan. Bersama Megawati Ahmad, kami sarapan bubur yang sangat panas itu sebelum masuk sekolah. Bertambah nikmat karena ditemani sate telor muda. Tidak banyak yang menyediakan sate telor muda, lebih sering pedangan bubur menyediakan sate telor puyuh. Sayang, sekarang bubur itu entah ke mana. Kata tanteku, pindahnya ke depan Aquarius. Dan bubur ayam cirebon menjadi salah satu kenangan terindahku di SMA 6 Jakarta.

Salah satu bubur ayam yang pantas dikangeni adalah Bubur Ayam Mang Eden di seberang RS Pelni Petamburan. Salah satu bubur ayam yang terkenal ini memakai asinan toge, seperti bubur ase asli Betawi. Krenyes-krenyes kalo dimakan. Toge yang garing dan dingin bercampur dengan bubur yang panas.

Sayangnya, bubur ayam tidak ikut mensupport hari-hariku di Universitas Indonseia. Sudah survey ke sana ke mari, termasuk di tempat kos, gak ada bubur ayam yang enak. Tetap saja, aku gak pernah kapok mencoba tiap ketemu abang-abang bubur. Hasilnya… nihil. Akhirnya aku ketemu lagi bubur ayam yang enak saat kerja di Radio Elshinta. Perjalanan pagi hari ke Radio Elshinta harus transit di Grogol, depan Universitas Trisakti. Di pinggir jalan yang berdebu, untungnya masih pagi sekali, aku makan semangkuk bubur ayam yang rasanya agak beda. Agak kenyal, tapi kalau sudah dicampur dengan topping-nya… lezatnya. Nyandu deh pokoknya… Ku namain aja Bubur Ayam Trisakti.

Selepas nikah aku tinggal di Depok. Jarang sebenarnya bubur ayam yang enak dekat rumah. Tapi pagi-pagi sekali saat menunggu Bis Debora AC yang mebawaku ke PT Graha Ismaya di Pondok Indah, aku sarapan bubur ayam pinggir jalan. Rasanya agak mirip dengan yg di Trisakti. Sayang, lagi-lagi kesetiaanku pada bubur ayam Margonda ini luntur karena aku berhenti kerja. Sekarang, bubur ayam favorit kalo lagi gak enak badan ya Bubur Ayam Sinar Garut, depan RS Bunda Margonda. Buburnya yang encer & panas sekali dengan topping cistik benar-benar menghangatkan jiwa yang dingin. Coba deh.. sejenis dengan Bubur Ayam Cikini.

Masih ada beberapa bubur ayam recommended, tapi lebih baik mencari tahu dari Kompasianer penggemar bubur ayam. Aku tunggu infonya ya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline