Lihat ke Halaman Asli

Terima Kasih Dokter, Lucky to Have You as My Doctor

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dokterku sayang, dokterku malang. Kalimat ini mungkin cocok dengan situasi saat ini. Setelah kasus kriminalisasi dokter, yang terakhir adalah penyiraman kopi panas oleh ‘keluarga’ pasien kepada dokter. Entah harus dimulai dari mana tulisan ini. Banyak yang berkata, dokter mengedepankan bisnis. Walaupun ada beberapa oknum demikian, tentu tidak adil menyamaratakan semua dokter demikian. Pengabdian tulus para dokter yang memegang teguh sumpah Hippocrates pun mendadak tenggelam oleh cibiran sinis mereka yang memperkeruh suasana.


Sebagai perempuan, rasanya pas kalau saya menceritakan pengalaman dengan dokter kandungan. Saya mengetahui hamil saat berada di Pulau Buton, sebuah pulau penghasil aspal yang berada di sebelah Tenggara Pulau Sulawesi. Setelah perjalanan sejak pukul 3 pagi dari Jakarta, melalui penerbangan ke Kendari dan dilanjutkan dengan speed boat selama 4 jam, tibalah saya jam 5 sore di Kota Bau-Bau. Sudah seminggu ‘tubuh’ rasanya berbeda, sehingga selepas magrib saya langsung naik becak mencari klinik bersalin. Setelah berputar-putar cukup lama dalam keadaan gelap dan sedikit kesulitan mencerna logat penduduk yang lebih cepat bicaranya, akhirnya ketemu juga dokter kandungan. Cukup kaget ya, perempuan hamil di sana, mulai dari yang sangat muda sampai yang sudah tua. Hmmm… “Wah ibu, sedang apa di sini? Kok periksa kandungan jauh-jauh?” dokter yang tampan nan gagah itu bertanya. Ternyata, di daerah yang sepi ini ada dokter yang sangat meyakinkan. Hehe.. “Dok, bisa gak periksa hamil tanpa periksa dalam?” pertanyaan bodoh meluncur begitu saja. “Tenang saja, ayo kita periksa bu,” Pak dokter berkata sambil tersenyum. Oh.. rupaya ada USG ya di sini. Hehe.. Kemudian pak dokter menyampaikan kabar gembira sambil memberikan sedikit nasehat untuk ibu hamil. “Hati-hati ya bu, kalau sudah di Jakarta nanti ke sini lagi.” Saya meninggalkan pak dokter dengan sebuncah kebahagaiaan yang sangat indah.


Kehamilan ini mempertemukan saya dengan dokter kandungan yang baik hati. Sengaja tidak disebutkan namanya, karena tidak semua orang senang kebaikannya diumbar-umbar. Dokter ini bertugas di RS Hermina Depok. April 2003, tiba-tiba air dari bawah mengalir deras. Dengan taxi, sampailah saya di rumah sakit. Ternyata ketuban belum pecah. Aneh, tadi air apa ya. Orang awam sih bilang ketuban kembar. Bu dokter kemudian minta persetujuan, “Ratih, diinduksi ya. Kalau tidak, nanti kamu malah dioperasi.” Jam 7 malam induksi dimulai. Lebay mungkin, tapi itu rasa tersakit yang pernah saya rasakan, dan mungkinhampir semua perempuan mengalaminya. Jam demi jam berganti. Pembukaan berjalan sangat lambat.Tengah malam bu dokter datang lagi. Saat memeriksa, tiba-tiba saya muntah. Tidak seperti kebanyakan perempuan hamil yang muntah selama trimester pertama, saya muntah hampir sepanjang masa kehamilan. Baju putih dokter pun terkena muntahan. Bu dokter hanya tersenyum seperti biasa. Sabar ya, katanya. Oh.. baiknya dokterku ini. Sepanjang malam saya tidak tidur karena rasa sakit yang luar biasa.


Pagi sekali bu dokter sudah datang. Saya langsung berpikir, begini rasanya jadi dokter (kandungan). Bagaimana jika ada panggilan mendadak saat liburan keluarga. Bagaimana jika harus melakukan operasi tengah malam buta. Bu dokter riang sekali memeriksa saya sambil ngobrol dengan almarhum ibu, dan kemudian berkata, “kita tunggu sampai jam 11 ya”. Namun, setelah pembukaan tujuh, tidak ada kemajuan.Sementara ‘tetangga-tetangga’ sudah mulai melahirkan. Terdengar suara pak dokter yang membantu persalinan dengan penuh kesabaran. Ada yang melintang bayinya, tapi pak dokter meyakinkan bisa membantu persalinan secara normal. Tak lama, pecahlah suara tangisan bayi. Oh Tuhan.. ajaib sekali.. dan betapa bahagianya ayah si jabang bayi karena kelahiran anak kedua ini tanpa operasi, tidak seperti anak pertamanya. What a great doctor!


Jam 11 siang rasanya saya tidak sanggup lagi. Sudah 6 jam berlalu sejak pembukaan tujuh. Ketubanpun sudah keruh. Dokter berkata saya harus dioperasi. Rasa sakit yang luar biasa seketika sirna saat infus induksi dicabut. Berarti ini sakit karena induksi ya? Persiapan operasi dilakukan sambil menunggu dokter anestesi. “Tih, ini apa?” dokter menanyakan bekas operasi tumor sepanjang 5 cm. Setelah itu langsung memerintahkan perawat untuk mempersiapkan anti keloid. Bekas caesarku mulus loh.. Kalau saja dokternya tidak perhatian, jangan-jangan bekas operasi seperti jengger ayam. Hehe.. Kelelahan mencoba melahirkan normal, membuatku tertidur saat operasi dimulai. Karena dipanggil, saya jadi terbangun. “Ratih.. bayinya memang gak mungkin keluar normal...” Saya masih sempat melihat keajaiban itu. Bayi putih yang alhamdilillah sempurna fisiknya.


Setelah itu saya tidak sadar apa yang terjadi. Lambat laun suara ibu teriak-teriak, “Dokter, anak saya mati. Anak saya mati..” Mata ini kupaksa buka tapi tak sanggup. Mencoba berpikir tapi tak bisa. Ketakutan menyergap jiwa. Hanya suara ibu menangis dan terdengar suara kaki-kaki berlari-lari. Mungkin suara dokter dan perawat-perawat. Saya tidak tau apa yang kemudian dilakukan dokter dan perawat. Sampai malam gelisah, kenapa tidak bisa bangun. Ruangan sangat sepi, mungkin saya sudah dipindah ke kamar perawatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline