Selama tiga dekade ini banyak sekali orang yang terhanyut dengan kata pemurnian Islam yang disuarakan oleh beberapa pihak. Islam yang ada di Indonesia yang sering disebut Islam Nusantara sering dikritik karena dituduh tidak membawa roh murni Islam. Bagi mereka Islam ya Islam, Islam Nusantara beda lagi.
Budaya sering menjadi sang tertuduh. Mereka sering mempersoalkan budaya lokal yang mencemari bahkan "merusak" islam itu sendiri . Kita bisa melihat banyak keluarga yang bertikai gegara bagaimana mengirim doa bersama untuk ibu mereka setelah meninggal, karena diantara mereka menolak untuk melakukan tahlilan. Lalu ada yang menolak berbagai ritual untuk anak karena alasan yang sama. Bahkan ziarah kubur pada hari-hari tertentu seperti menjelang Idul Fitri juga.
Padahal kita bisa melihat, tradisi seperti grebeg Maulid yang diselenggarakan secara resmi itu adalah gabungan antara tradisi dalam hal ini budaya dengan agama. Sunan Kalijaga pada masa lalu mengajak rakyat masuk Islam dengan pertunjukan wayang. Lalu ada Sunan Bonang yang dengan tembang dan sastranya menyebarkan Islam. Begitu juga Wali Songo lainnya. Lalu Islam menyebar dengan luas sampai sekarang Indonesia menjadi negara modern dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia.
Di Indonesia tradisi dalam agama tidak dihabisi. Namun tradisi yang ada dan terimplementasikan dalam relasi sosial kemansyarakatan. Ater-ater adalah ungkapan rasa syukur saat mau lebaran atau hari-hari tertentu lainnya yang menjadi perekat antara budaya dan agama.
Dengan itu, masyarakat akan mudah menerima maksud baik ajaran Islam. Sebagaimana ungkapan Ulama Nusantara; merawat sesuatu hal (tradisi lama) yang baik (yang buruk ditinggalkan), serta merawat yang sesuatu hal (tradisi baru) yang lebih baik.
Namun Indonesia tetap berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, sebagai negara dengan keberagaman penduduk yang kompleks. Secara sejarah keberagaman itu tidak bisa dipisahkan dari terbentuknya negara ini.
Karena itu, faham yang memisahkan budaya dengan agama Islam itu adalah tantangan kita semua untuk mengkoreksinya. Mengeklusifkan agama bahkan memisahkannya dengan budaya sama halnya dengan mengkerdilkan agama itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H