Seluruh dunia tahu bahwa kita adalah adalah negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Karena itu kita sangat dihormati di organisasi global untuk negara berpenduduk slam, OKI. Namun meski terbanyak penganut agama Islam, negara kita bukanlah negara Islam, namun negara dengan keberagaman yang kompleks alias pluralis.
Bahkan banyak negara-negara di dunia, kagum dengan kita yang dengan keragaman yang kompleks. Mereka menamakan itu sebagai laboratorium keberagaman terbesar di dunia. Namun negara kita mampu mengelola keberagaman meski di sana sini kesulitan maupun tantangan, ada. Kita memiliki filosofi negara yaitu Pancasila yang menjadi pondasi sekaligus bertugas melumasi relasi-relasi keberagaman itu.
Seperti yang saya kemukakan di atas, bahwa tak dipungkiri bahwa ada kesulitan di sana sini dalam mengelola keberagaman itu. Jadi tidak selalu mulus. Salah satu kesulitan atau tantangan itu adalah kecenderungan intoleransi di berbagai daerah.
Seperti pembangunan Sekolah Kristen di Pare-pare Sulawesi Selatan misalnya. Persoalan ini merupakan persoalan yang sudah dua -tiga tahun lalu muncul. Menurut sang pemilik lahan yang akan dibangun sekolah Kristen, secara legal mereka sudah memenuhi syarat untuk membangun gedung sekolah. Namun tiba-tiba beberapa ormas keagamaan menghalangi mereka membersihkan lahan dan membuat pondasi dengan dalih bahwa pembangunan itu belum mendapatkan izin.
Setara Institute yang memperjuangan kesetaraan hak bagi wni bereaksi pada hal itu. Mereka mengatakan bahwa penolakan pembangunan sekolah Kristen di Pare-pare sama sekali tidak beralasan. Mereka menyebut bahwa penolakan oleh beberapa ormas itu adalah gejala intoleranyang tidak dapat diatasi sendiri secara maksimal oleh pemerintah setempat. Masih menurut Setara Institute, penegak hukum bersikap diam saja ditekan oleh kelompok intoleran. Padahal kelompok minoritas sudah mematuhi proses hukum yang berlaku termasuk soal perizinan yang sudah lengkap. Namun di beberapa media, pemerintah setempat dan ormas yang terlibat berdalih bahwa apa yang terjadi bukanlah intoleransi.
Dalam kasus ini Pemda harus mampu mengedukasi masyarakat setempat bahwa hakekatnya keberadaan sekolah keagamaan minoritas dijamin oleh konstitusi dan Pancasila. Sejatinya untuk mengukur toleransi dan intoleransi, bisa dalam beberapa tahap, salah satu yang mendasar adalah penerimaan.
Pada kasus ini, secara benderang diperlihatkan bahwa mereka belum mampu menerima perbedaan yang ada. Bahkan mereka mempersoalkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipersoalakan karena proses perizinan mereka sudah beres.
Inilah tantangan kita semua. Kita perlu membangun dialog lintas agama dengan lebih baik, dan lebih ikhlas. Dengan begitu kita bisa meningkatkan toleransi dengan lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H