Pada dua dekade ini, kelompok radikal selalu memainkan narasi seputar romansa kejayaan Islam dan kisah-kisah soal kepahlawanan perempuan. Apalagi kini, perempuan merupakan pilar penting dalam kancah lokal, regional maupun global. Indonesia adalah salah satu negara yang punya kesetaraan gender yang cukup baik dari waktu ke waktu.
Sehingga tidak heran jika kaum radikal yang menyanjung kejayaan Islam yang terakhir 100 tahun lalu, selalu mengangkat kisah Aisyah sebagai sosok perempuan yang menjadi mujahidah dan berkorban untuk agama. Aisyah dinarasikan sebagai perempuan yang memahami kesadaran politik Islam bahwa pemeliharaan urusan umat harus diatur dengan syariat Islam.
Narasi ini sering menjadi inspirasi dan menggugah emosi kaum perempuan, sehingga simpati terbentuk. Untuk tahap selanjutnya, secara massif dieksploitasi kelompok radikal untuk meradikalisasi mereka. Bersama dengan propaganda ini, narasi objektifikasi perempuan juga banyak ditemukan di platform-platform media sosial. Hal ini nyatanya berkontribusi pada rentannya perempuan dalam jaring radikal terorisme, yaitu karena faktor kuatnya budaya patriarki dan akses informasi.
Badan Nasional Penanggulangan terorisme telah mendalami hal itu. Dalam temuan BNPT I-KHub yang telah dituangkan dalam I-KHub BNPT Counter Terrorism and Violent Extremism Outlook 2023, terdapat 3 kelompok yang rentan terpapar radikalisasi, yaitu perempuan, remaja dan anak-anak, yang dilakukan secara sistematif, masif dan terencana dengan memanfaatkan simbol keagamaan. Terutama perempuan, proses radikalisasi berlangsung intens di lintas platform, dari X, Facebook, hingga YouTube. Inilah yang terjadi pada masa kini.
Pembahasan mengenai peran perempuan selaras dengan diperingatinya tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Hari yang didekasikan untuk perjuangan melawan penindasan kepada kaum perempuan pada masa sebelum revolusi industri ini memang untuk merayakan perjuangan dan pencapaian perempuan.
Sebagai kelompok rentan, ini menjadi tantangan dalam konteks keterlibatan perempuan dalam upaya kontra radikalisasi. Di sisi lain, hal ini menjadi peluang karena bagaimanapun peran perempuan sejatinya tak terikat batas wilayah domestik tetapi juga merambah wilayah publik sesuai dengan kapasitas dan kompetensi perempuan, mulai dari perempuan sebagai Ibu rumah tangga dalam lingkup terkecil, hingga sebagai penggerak sosial dalam konteks sosial yang lebih luas.