Mungkin kita masih ingat kiprah Imam Samudra sebagai pembom Bali 1 yang dihukum mati. Imam Samudra memiliki seorang anak laki-laki yang saat itu terjadi berumur 5 tahun. Saat remaja dia berangkat ke Syria untuk memperjuangkan syariat Islam yang dia yakini. Saat di Syria dia tewas saat baku tembak. Banyak orang yakin bahwa anak Imam Samudra itu terinspirasi dari kisah sang ayah yang dianggap mati syahid; mati di jalan yang diridhoi Allah.
Contoh kedua yang ingin dikemukakan di sini adalah keluarga pengebom empat gereja di Surabaya yang terdiri suami, istri dan tiga anaknya. Cara kerja mereka sangat terencana karena ada pembagian wilayah, dimana sang Ayah mengebom GPPS dengan bom mobil, kemudian sang ibu membawa anak perempuannya mengebom GKI dan dua anak lelakinya dengan menggunakan motor mengebom Gereja Katolik Santa Clara di Ngagel. Ketiga bom meledak pada waktu yang hampir bersamaan.
Di kemudian hari ditemukan bahwa keluarga ini punya guru ngaji khusus dan akhirnya polisi mengejar guru tersebut karena ditengarai dia ikut berperan dalam menanamkan pola pikir radikal pada keluarga itu.
Jauh sebelum kejadian itu, sang ayah yang merupakan alumni salah satu perguruan tinggi terkemuka di Surabaya memang disebutkan aktif pada ekstra kurikuler mahasiswa yang ditengarai mengajarkan hal-hal berbau radikal. Kegiatan ini semacam rahasia umum bagi lingkungan universitas dan alumninya. Ini juga dianggap mempengaruhi Dita, sang ayah sangat accepted terhadap hal-hal berbau radikal.
Kegiatan radikalisme kurang lebih menumpukan segala cara untuk mengangkat panji-panji agama. Mereka umumnya tidak setuju dengan dasar negara kita yaitu Pancasila. Di mata mereka Pancasila adalah berhala masa kini dan termasuk thaghut. Sehingga dalam benaknya, keragaman dan nilai-nilai bangsa adalah sesuatu yang salah.
Mereka sangat menekankan politik identitas ; saya akan bersama orang yang sefaham dan menolak orang yang berbeda faham. Mereka yang beraliran radikal biasanya sangat mudah mengkafirkan orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Diantara mereka bahkan mengesampingkan hubungan sosial dengan kaum yang berbeda.
Radikalis tak segan berkumpul atau bergabung dengan kaum radikalis juga. Orang yang bergabung dengan ISIS secara tak langsung punya ciri-ciri seperti di atas. Mereka adalah radikalis dalam arti sebenarnya karena sampai berani meninggalkan segalanya bagi negara Islam yang diingininya. Mereka melihat Pancasila secara salah dan tidak mengakuinya sebagai dasar negara kita.
Padahal sampai saat ini banyak negara yang mengakui kelenturan Pancasila dalam hal menghargai perbedaan. Pancasila bukan thaghut dan sudah terbukti adalah cara terbaik untuk menghormati banyak perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H