Dalam tinjauan yang dihimpun oleh pimpinan Harian DW Asia Tenggara, Grahame Lucas, muncul sebuah kesimpulan pilu bahwa perang melawan terorisme justru menimbulkan masalah baru di tingkat global.
Pada mulanya perang melawan terorisme dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap jaringan Al-Qaeda terkait Serangan 11 September. Perang yang digagas oleh Mantan Presiden George W. Bush itu kini telah berjalan hampir 14 tahun lamanya. Bukannya mengurangi ancaman terorisme, justru malah membuatnya jadi meningkat. Bahkan bentuk aksi terorisme pun kian beragam, tidak lagi sebatas ledakan bom saja. Alhasil masyarakat pun kian merasa was-was dalam menjalani kehidupannya.
Berbagai analisis data yang banyak beredar di media massa menunjukkan (hampir) keseragaman fakta bahwa (secara langsung) perang melawan terorisme gagal menghentikan aksi teror. Lihatlah apa yang terjadi di Afghanistan dan Irak pasca invasi militer yang dilakukan oleh AS. Kekerasan kian meningkat, aksi teror merebak di mana-mana, bahkan akibat dari invasi tersebut kini muncul beberapa jaringan terorisme baru yang sepak terjangnya cukup mengkhawatirkan, seperti ISIS misalnya.
Saya melihat meningkatnya aksi terorisme bisa jadi juga diakibatkan karena adanya dendam. Jika melihat apa yang terjadi di Irak dan sekitarnya, umumnya jaringan terorisme banyak memanfaatkan rasa dendam masyarakat di sana dalam merekrut para simpatisannya. Sebagai contoh, saya pernah membaca artikel di salah satu edisi majalah perempuan nasional yang di dalamnya terdapat kisah mengenai duka seorang ibu yang anaknya bergabung dengan ISIS. Lebih dari duka, sang ibu juga merasa dilematis terhadap keputusan anaknya itu. Di satu sisi ia mengecam aksi terorisme, namun di sisi lain ia juga merasa dendam dengan invasi militer yang terjadi di Irak.
Menurut saya, kondisi seperti di atas tidak dapat ditangani melalui perang, melainkan melalui pendekatan yang lebih moderat. Terlebih dengan melihat data yang dijabarkan oleh Lucas, hanya sebanyak tujuh persen keberhasilan menanggulangi terorisme yang dilakukan melalui kebijakan perang, kian menjelaskan bahwa perang tidak mampu menyelesaikan masalah. Justru melalui pendekatan moderat, terpampang data sebanyak 80 persen organisasi teroris dapat dilumpuhkan. Hal ini membuktikan bahwa negosiasi dan partisipasi harus menjadi program utama dalam memerangi terorisme.
Beruntung Indonesia telah berinisiatif membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai koordiator dalam menanggulangi aki terorisme di tanah air. Dengab mengedepankan upaya deradikalisasi, BNPT mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi aktif menumpas terorisme hingga ke akar-akarnya. Bukan hanya menyebarkan pesan-pesan perdamaian secara umum, melainkan juga melakukan pendekatan lintas elemen, mulai dari tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat dan lain sebagainya.
Diharapkan jika pendekatan moderat telah banyak dilakukan, maka akan tercipta kesadaran bersama untuk menjauhi paham-paham radikal sehingga bibit-bibit terorisme dapat dilumpuhkan sejak dini. Salam damai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H