Pepatah Afrika kuno mengatakan, "Ketika gajah bertarung, rumputlah yang menderita". Hal serupa terjadi pada konteks perang dagang, ketika negara dengan ekonomi besar berperang, maka negara-negara berkembanglah yang menjadi paling terpukul.
Ketegangan perang dagang mulai kembali memanas. Dilansir dari laman resmi Perwakilan Perdagangan AS atau USTR pada Jumat (10/5) lalu, Presiden Trump meminta AS meningkatkan tarif dari 10 persen menjadi 25 persen atau setara nilai impor Cina sekitar $200 miliar. Ketegangan perang dagang sudah berlangsung sejak tahun lalu.
Dimulai ketika Trump mengungumkan penerapan tarif impor untuk panel surya dan mesin cuci pada Januari 2018. Lalu pada Maret 2018, pemerintah AS memberlakukan tarif impor 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium dari sebagian besar negara.
Secara mengejutkan Cina melakukan pembalasan yang akhirnya diikuti Kanada, Meksiko, dan UE. Konfrontasi cepat meningkat dan pada September 2018 AS mengenakan tarif 10 persen yang mencakup sekitar $200 miliar impor Cina, dan Cina membalas dengan mengenakan tarif impor AS senilai $60 miliar.
Perang dagang inilah yang menjadi salah satu pemicu lembaga internasional IMF dan World Bank memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun 2019 untuk kedua kalinya di tahun ini.
WTO juga menurunkan perkiraan pertumbuhan perdagangan menjadi 2,6 persen dari sebelumnya 3,7 persen. Padahal adanya perdagangan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Di tahun 1960, kontribusi perdagangan terhadap PDB global sekitar 24 persen, yang kini meningkat mencapai 60 persen.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mungkin diklaim menjadi korban pertama perang dagang. Para anggota secara terang-terangan melanggar aturan sehingga kredibilitas lembaga sebagai pelindung sistem perdagangan dipertanyakan.
Meskipun tak menampik, sejak adanya Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan / GATT (sebelumnya WTO) pada tahun 1947, rata-rata nilai tarif yang berlaku di seluruh dunia telah menurun 85 persen. Tentunya angka ini bukan kebetulan, namun hasil kerjasama multilateral dan negosiasi perdagangan global.
Keuntungan dan Kerugian
Tarif bilateral yang dikenakan antar negara yang berperang, nyatanya tidak terlalu efektif melindungi perusahaan domestik di negara masing-masing, meskipun ampuh membatasi perdagangan dari negara yang ditargetkan. Kajian UNCTAD pada Februari 2019 menjelaskan perdagangan bilateral AS -- Cina akan menurun dan digantikan perdagangan dari negara lain.
Dari $250 miliar ekspor Cina yang dikenakan tarif AS, sekitar 82 persen akan diambil oleh perusahaan di negara lain, sekitar 12 persen dipertahankan perusahaan Cina, dan hanya sekitar 6 persen yang diambil perusahaan AS.