Lihat ke Halaman Asli

Ratih Fitroh

A passionate happy teacher

Sound of Borobudur: The Harmony of Wonderful Indonesia

Diperbarui: 4 Mei 2021   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Candi borobudur. (Foto: KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT)

Mungkin sudah jodoh. Saya, Borobudur, Sejarah, Musik dan kompasiana. Sudah lama tak menulis, apalagi tentang sejarah (terakhir ya skripsi waktu S1. Wkwkwk) karena memang tidak mudah. Menulis sejarah berarti tentang riset, tentang bertemunya kita dengan ledakan pengetahuan yang selama ini telah menunggu. Monumen-monumen sunyi yang agung, magis, indah dan sakral pada masanya. Salah satunya adalah Candi Borobudur.

Sebagai sebuah candi dan tujuan wisata, saya sudah berkali-kali mengunjungi Borobudur. Kalau lagi piknik sekolah jaman SD, apalagi karena tinggal di Kabupaten Ngawi, Borobudur dan Prambanan menjadi destinasi utama saat itu. Saat SMP, SMA bahkan saat kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Unesa juga sama. Candi Agung Borobudur menjadi agenda utama meski sebagai pelajar kami kehabisan ide mau ngapain.

Dokpri

Kalau ke Borobudur tuh yang kepikiran cuma panas, foto-foto pose aneh di stupa, foto sama bule, pakai topi lebar dan pakai kacamatan item yang banyak dijual pedagang keliling. Belum pernah rasanya kami memikirkan mengunjungi Candi Borobudur sebagai sebuah Candi Agung, yang pada masa kerajaan Mataram Kuno merupakan sumber ilmu pengetahuan dan pusat peradaban Budha dunia. 

Andai diibaratkan artis, Borobudur ini sudah go internasional dari dulu. Kerajaan Sriwijaya yang notabene tidak meninggalkan bangunan monumental sekelas Borobudur saja saat itu disebut I Tsing sebagai pusat pengajaran agama Budha. Banyak biksu dan para pedagang segala kewarganegaraan berkunjung dan mendalami agama budha di Sriwijaya. 

Jikalau dibandingkan, tentulah Borobudur adalah highlight-nya. Meski dibangun di pulau Jawa, rada jauh dari Sriwijaya, bangunannya tidak kaleng-kaleng. Megah berdiri di tengah bukit tinggi. Magis dengan segala keindahan pahatan reliefnya. Nah mengenai relief inilah yang akan menjadi harta karun kita selanjutnya.

Sebagai sebuah monumen, candi Borobudur telah ditetapkan menjadi warisan dunia oleh Unesco pada tahun 1991. Banyak turis lokal dan internasional yang berkunjung, meski sekedar foto-foto dan mendengar penjelasan guide tentang sejarah berdirinya candi. Hampir belasan kali saya ke Borobudur sejak 2002, saya mencermati tidak banyak yang berubah dari segi pemberian informasi terkait Borobudur. 

Jadinya kalau udah berkali- kali kesana, palingan ya cukup sekali aja yang pakai guide. Sisanya karena sudah dijelaskan di sekolah, juga bisa dibaca di internet, agenda utama sebagai turis tetaplah foto-foto dan naik turun hingga area Arupadhatu.

Kesan saya tentang Borobudur mulai berubah saat berkunjung sebagai mahasiswa jurusan pendidikan sejarah. Saat itu tahun 2010 kami tidak memakai jasa guide melainkan dijelaskan sendiri oleh dosen mata kuliah arkeologi kami, Alm. Bapak Hanan Pamungkas. 

Kami diminta untuk berkenalan dengan Borobudur lebih dekat. Kami melakukan mapradaksina, upacara mengelilingi candi searah jarum jam. Kami diminta mencermati relief-relief indah, yang dipahat di batu andesit dari sungai sekitar desa Boro. Kami diminta membayangkan susahnya mengangkut, memotong, memahat, juga mengonsep relief Borobudur yang sangat detail dan halus ini. Kami tercengang. Seperti buta baru melek, anak-anak milenial akhirnya berkenalan dengan benar peninggalan monumental leluhur kita.

Setelahnya, saya mulai jatuh cinta lagi, kali ini lebih dalam pada Borobudur. Tahun 2016 saya kembali kesana, sebagai mahasiswa pendidikan profesi guru sejarah, saya kembali melakukan mapradaksina. Mencermati Borobudur dengan lebih lekat. Reliefnya saya susuri satu demi satu, menikmati kedamaian yang menyusup perlahan di relung dada.

Saat itu Borobudur hampir senja, keindahannya berkali lipat menubruk saya. Saya akhirnya duduk di antara stupa, kemudian memandang sekaliling, ah.. mungkin kedamaian dan ketenangan batin inilah yang dirasakan oleh umat Budha saat membangun candi ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline