Lihat ke Halaman Asli

Ibu bagi Pengungsi Bencana Merapi

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi masyarakat Yogyakarta, erupsi Merapi yang terjadi pada akhir Oktober dan awal November lalu menggoreskan luka yang cukup dalam.379 orang meninggal dan 40.000 lebih orang mengungsi. Ini bukanlah jumlah yang kecil.Tidak terhitung berapa banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumahnya untuk tinggal dalam keterbatasan dan ketidaknyamanan.Belum lagi ditambah dengan rasa khawzatir yang menghantui, bersiap-siap jika awan panas meluncur kapan saja memanggang tubuhnya.

Di masa genting semacam itu, peran relawan menjadi sangat penting.Bukan hanya sebagai pihak yang membantu merelokasi, bernegosiasi, ataupun menyalurkan bantuan dari para donatur, namun juga menjadi orang yang memberi semangat bagi para pengungsi untuk terus bertahan dan memiliki optimisme bahwa keadaan pasti akan menjadi lebih baik.

Salah satu sosok relawan yang memiliki etos kerja tinggi seperti itu dapat ditemukan pada diri seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Koroulon, Ngemplak Sleman bernama Ibu Sukamto (42).Dari penampilannya, mungkin orang tidak akan percaya bahwa beliau telah mengalami banyak hal selama dua bulan ketika erupsi Merapi terjadi.Bukan hanya sebagai relawan, Ibu Sukamto juga “dipaksa” untuk menjadi pengungsi setelah batas zona bahaya dari Gunung Merapi naik dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer karena letak rumah Ibu Sukamto berada pada jarak 17 kilometer dari Puncak Merapi.

Pilihan menjadi ibu rumah tangga

Minggu kelima pasca erupsi Merapi, kegiatan Ibu Sukamto tidak berkurang; beliau justru bertambah sibuk dengan banyaknya tamu yang berkunjung baik untuk memberikan bantuan ataupun meminta bantuan. Beliau saat ini masihmenjadi koordinator pos transit di rumahnya. Lalu siang itu tamu yang datang berasal dari Jakarta.Mereka mengadakan trauma healing terhadap pengungsi Merapi di rumahnya.Selain itu, Ibu Sukamto juga harus mondar-mandir menyambut tamu lain yang berasal dari SD Kanisius.Mereka menyumbang dua puluh paket kebutuhan sehari-hari untuk para korban Merapi di sekitar daerah Koroulon, Ngemplak Sleman.Belum selesai berbicara dengan dua guru dari Kanisius tersebut, telepon berdering beberapa kali dan Ibu Sukamto mohon permisi untuk menjawab telepon tersebut.Katanya, dari tetangganya yang tidak bisa mengikuti program trauma healing siang itu karena hujan lebat.

Rumahnya sejak erupsi Merapi telah menjadi pos transit barang bantuan dari berbagai pihak untuk disalurkan kepada korban di daerah sekitar rumahnya.Beliau sendiri mendadak menjadi “terkenal” karena kontribusinya ketika menjadi pengungsi sekaligus relawan satu bulan ini.

Keterlibatannya dalam kegiatan relawan sebenarnya baru pertama kali dilakoninya.Meski pada tahun 2006 lalu ia sempat membantu suaminya untuk membuat nasi bungkus bagi korban gempa, namun ia tidak pernah terlibat langsung dalam penanganan pengungsi.

Ibu Sukamto tidak lebih dari seorang ibu rumah tangga biasa yang berkecimpung di ranah domestik.Ibu Sukamto yang bernama asli Christiana Ena Srimaryani ini merupakan lulusan SMA IKIP I Veteran, Yogyakarta.Ketika ditanya mengapa tidak melanjutkan pendidikannya, Ibu Sukamto mengaku tidak bisa karena waktu itu ia telah menikah dengan suami dan jarak umur dengan suaminya cukup jauh.“Saya sih ingin melanjutkan, tapi selisih umur saya dengan Bapak (suami) itu jauh, lagipula waktu itu Bapak sudah jadi PNS, jadi nanti khawatir kalau tidak bisa mengurus rumah.”Ia tidak menyesal jika harus berhenti di bangku SMA, buktinya saat ini ia justru bersyukur menjadi seorang ibu rumah tangga.“Saya rasa itu jawaban dari Tuhan kalau saya harus membantu sesama lewat posisi saya sebagai ibu rumah tangga.Mungkin kalau saya bukan ibu rumah tangga saya tidak bisa full time membantu mereka waktu erupsi Merapi.”

Menurut Dian (21) puteri satu-satunya Ibu Sukamto, pertama kalinya menyaksikan ibunya terlibat langsung menjadi relawan bencana alam.“Sehari-hari ibu mengurusi rumah saja, kalau ada kegiatan KKN, baru rumah kami ramai dengan tamu karena biasanya rumah dijadikan kos sementara untuk peserta KKN.”Rumah keluarga Ibu Sukamto memang tidak jarang dijadikan tempat transit atau menginap tamu-tamu yang memiliki kepentingan di kampungnya, termasuk jika terdapat mahasiswa yang memiliki kegiatan KKN. Selain itu, rumahnya juga menjadi tempat transit bagi para pastur yang akan melaksanakan pelayanan di daerah Koroulon di mana beliau tinggal.

Sehari-hari Ibu Sukamto aktif dalam organisasi kampung dan juga terlibat dalam kegiatan paroki gerejanya di Gereja Santo Fransiskus Xaferius, Cangkringan Sleman.Di Gerejanya sendiri Ibu Sukamto dekat dengan Mudika (Muda-mudi Katolik).Selain itu rumahnya sering menjadi pos Kuliah Verja Nyata (KKN). Hal ini menyebabkan ia sering berkomunikasi dengan anak muda. Kerap berhubungan dengan kegiatan KKN dan Mudika membuat Ibu Sukamto supel mudah bergaul dengan kaum muda.Putri Ibu Sukamto mengakui bahwa beliau tidak kalah gaul dengan remaja seusianya.“Ibu itu punya semangat anak muda, jadi kalau berkomunikasi dengan kami bisa nyambung” kata Dian.

.

Ya pengungsi, ya relawan

Awalnya, rumah Ibu Sukamto memang tidak direncanakan untuk menjadi posko.Namun karena erupsi tanggal 26 Oktober 2010 , sekitar 20 orang yang terdiri dari kerabatnya dan beberapa temannya mengungsi di tempat tinggalnya sementara waktu.Satu minggu berselang, tepatnya pada tanggal 5 November 2010 keadaan berubah total.Tengah malam, terjadi erupsi Merapi untuk kedua kalinya dalam skala yang lebih besar.

“Waktu itu saya sedang berdoa Malaikat Tuhan, lalu melihat orang-orang dari utara turun ke bawah.Saya tanya orang-orang katanya Merapi njeblug lagi.Keadaan bukan lagi panik, tapi mencekam. Saya membangunkan orang-orang yang tidur di rumah supaya bangun, cepat-cepat keluar dari rumah dan tidak sempat membawa apa-apa, ya cuma pakaian yang saya pakai waktu itu.”Kepanikan itu sempat membuat semua orang tidak dapat berkonsentrasi, termasuk suami Ibu Sukamto hingga lupa di mana meletakkan kunci mobil.“Ternyata kunci itu ada di atas televisi, entah kenapa kami semua jadi lupa.” Cerita Ibu Sukamto sambil tertawa.

“Setelah berdiskusi singkat, akhirnya kami sepakat menuju Gereja Marganingsih di Kalasan.Walau jaraknya hanya 3 km, jalanan di depan rumah macet sekali, kami jadi terpisah-pisah.”Beruntung mereka dapat berkumpul di gereja tersebut meski datang pada selang waktu yang berbeda.Di sana Ibu Sukamto memberanikan diri untuk mengetuk pintu gereja dan meminta izin untuk mengungsi di sana untuk satu malam.

Ternyata keadaan memburuk.Ibu Sukamto harus tinggal lebih lama di pengungsian.Namun seperti pengungsi yang lain, esok harinya ia kembali ke rumahnya sekedar memberi makan anjing peliharaannya.Ia melihat tetangganya yang tampak kebingungan di sana.Ibu Sukamto lalu mengajak mereka untuk ikut mengungsi bersama.“Saya bilang sama mereka, kondisi pengungsian di gereja sangat layak dan fasilitasnya terjamin.”Alhasil, sejak hari itu warga di desanya mulai berdatangan ke Gereja Marganingsih dan jumlahnya mencapai 300 orang.Di gereja ini, para pengungsi berada di kelas-kelas yang terletak di panti gereja.Tiap kelas dihuni oleh kurang lebih 50 orang dan tidur beralaskan tikar.Tidak sedikit pengungsi yang menangis bahkan histeris terutama jika mereka menyaksikan berita di televisi dan radio yang mengabarkan situasi Merapi.Melihat keadaan ini tidak jarang Ibu Sukamto berusaha menenangkan mereka.“Ada pengungsi yang refleks ketakutan kalau mendengar petir waktu hujan turun, was-was kalau itu suara Merapi yang meletus.Biasanya saya berusaha menenangkan mereka supaya yakin di tempat kami tinggal ini aman.”

Meski Ibu Sukamto menjadi pengungsi, ia tergerak untuk membantu warga yang ada di pengungsian tersebut.Setelah berdialog dengan Romo Tata Priana, ia mulai berkoordinasi dengan relawan Mudika serta Romo-Romo yang dikenalnya.“Saya tadinya relawan dan sekarang saya jadi tahu bagaimana rasanya jadi pengungsi, saya tidak ingin hanya berdiam diri saja menerima bantuan.”

Saat itu, yang ada di pikiran Ibu Sukamto adalah bahwa ia tidak mau menjadi tanggungan orang lain.Karenanya, ia ingin terlibat dalam membantu sesama pengungsi.“Setiap hari saya menyediakan makanan tiga kali sehari dengan relawan lain, selain itu juga mengatur administrasi berkaitan dengan bantuan yang dikirim para donatur.” Papar Ibu Sukamto ketika ditanya tentang kegiatannya di pengungsian.“Selain itu, saya cukup dekat dengan orang-orang di sekitar sini, jadi ya kurang lebih tahu apa yang benar-benar mereka butuhkan.” Keinginan untuk membantu pengungsi lain dibuktikan ketika Ibu Sukamto rela “turun” ke Pasar Beringharjo yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari rumahnya untuk berbelanja kebutuhan pengungsi.Minggu pertama pasca erupsi kedua, ia dan Romo Priana (Romo dari lingkungan gerejanya) membeli banyak pakaian dalam dari jam sembilan pagi hingga jam satu siang.Bekerja tanpa henti tidak membuat semangatnya kendur, ia justru senang karena bisa melayani sesama.“Dari dulu, pelayanan untuk sesama adalah cita-cita saya, jadi saya tidak keberatan kalau harus bekerja seperti ini.”ucapnya dengan rendah hati.

Pengungsian yang terletak di kawasan gereja membuat agama menjadi isu sensitif waktu itu.Karenanya, Ibu Sukamto dan Romo Tata Priana berinisiatif untuk mengadakan dialog antar agama di pengungsian tersebut.Mereka menghadirkan tokoh agama seperti Romo dan Ustadz sebagai narasumber.“Saya senang sekali waktu itu, karena banyak pengungsi yang bilang kalau siraman rohaninya mengena bagi mereka, yang penting mereka merasa nyaman di sini tanpa khawatir dengan isu kristenisasi.”

Berbagi tentang suka dukanya menjadi pengungsi sekaligus relawan, Ibu Sukamto mengaku banyak pengalaman menarik yang didapatnya.“Yah…namanya juga pengungsi, mereka pasti punya beban mental jadi terkadang susah ngomong sama mereka.Banyak yang tatapannya kosong dan perasaannya masih rapuh.Jadi saya harus hati-hati untuk berkomunikasi dengan mereka.Takut menambah beban masalah mereka.”

Namun tidak semua pengungsi bersikap “ramah”.Tidak jarang ia menemui pengungsi yang tidak puas dengan bantuan yang diberikan. “Ada yang mengeluh kenapa bantuan rumit sekali pembagiannya, ada juga yang merasa pembagian bantuannya tidak adil, kan saya jadi bingung, wong ada 300 orang di sana, sulit memperhatikan mereka satu per satu.”

Ketika berada di pengungsian, sebenarnya ada kerabat jauh Ibu Sukamto yang menawarkan untuk tinggal di hotel, namun beliau menolak tawaran ini.“Kalau mau jadi egois ya bisa-bisa saja.Tapi sejak awal saya sudah menemani para pengungsi di pengungsian, mosok saya meninggalkan mereka begitu saja? Senang rasanya kalau bisa membantu.” Ujar Ibu Sukamto.

”Sekarang kalau melihat orang-orang kembali ke rumahnya yang berada di sekitar Merapi, saya tidak tega melihat tatapan mata mereka yang kosong.Rasanya kasihan sekali karena kehidupan mereka sudah lumpuh.Saya hanya bisa bersyukur pada Tuhan karena rumah masih utuh dan keluarga saya selamat.Ketika ditanya sampai kapan Ibu Sukamto bersedia membantu para pengungsi, beliau tersenyum kecil.“Saya mau membantu mereka sampai tenaga saya tidak dibutuhkan lagi.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline