Pernah terbayang situasi ini:
Seorang pria yang ditahan karena senjata illegal dan kembali ditahan karena kepemilikan obat terlarang, rela berlari ke lantai 20 sebuah gedung untuk mencegah seorang pemuda yang berniat meloncat bunuh diri.
Seorang pemuda pembobol ATM yang hampir membunuh teman satu selnya saat di penjara, akhirnya mendirikan sebuah yayasan untuk anak-anak di daerah miskin, setelah bebas dari penjara.
Kalau mendengar kisah seperti ini, pasti reaksi pertama kita akan “Wowww”, merinding, bercampur takjub dan terharu. Tapi kalau coba kita balik…yang kita dengar adalah berita semacam, “Anaknya tetangga ketangkep gara-gara ikut tawuran dan ngebunuh orang”. Mungkin kita hanya bisa geleng-geleng, atau mencocokkan berita tersebut dengan ulasan singkat dari profil anak tersebut yang muncul di kepala kita. Lalu beberapa detik kemudian, mungkin kita akan mengangguk, “Hmm…iya pantes, bapaknya tukang mabok, si anak itu juga emang tukang bolos. Mau diapain juga udah ancur emang hidupnya.” Saya pun mungkin akan berpikir demikian…tetapi itu sebelum saya menginjakkan kaki saya dan terlibat langsung dalam intervensi psikologis bagi para anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang.
Pertama kali masuk dan terlibat, kami sudah skeptis intervensi ini akan berhasil. Harapan saya waktu itu hanya setidaknya mereka bisa mengisi waktu luang mereka bersama kami untuk menghilangkan kepenatan mereka. Saat bertemu dengan kepala bagian pembinaan, beliau pun tampak hopeless dengan anak-anak ini, “Mereka sebenarnya anak baik, Mbak, cuma kurang beruntung aja terlahir di keluarga yang amburadul…ditambah lagi intelegensi mereka rendah, jadi susah untuk belajar,” ujarnya. Mendengar ini, sikap skeptis saya berubah menjadi “Ah ya sudah lah, setidaknya sudah mencoba untuk membantu anak-anak ini.” Ditambah lagi dengan bayangan bahwa mereka mungkin akan banyak memberontak; kami benar-benar datang dengan niat baik tapi kami hanya bisa berpasrah.
Memasuki proses intervensi, ternyata bukan anak-anak yang begitu liar yang kami lihat, bukan pula anak-anak dengan sinar mata kejam dan sinis. Tapi kami melihat anak-anak remaja yang kebanyakan masih bersikap seperti anak kecil yang manja dan malu-malu. Banyak dari mereka yang berusaha menarik perhatian kami agar diajak berbincang. Tak jarang juga yang tiba-tiba mendatangi kami karena penasaran dengan intervensi yang akan kami berikan. Dari sini, kami mulai berpikir bahwa mereka seperti anak-anak lain yang bebas di luar sana. Mereka butuh perhatian, kasih sayang, dan panduan…begitu kata batin kami.
Saat itu, tiga dari kami melakukan konseling secara individu pada mereka, dan tiga yang lain melakukan terapi kelompok. Intervensi ini berupa manajemen marah, pengajaran tentang coping stress yang tepat, serta terapi kognitif dan tingkah laku. Karakter dari anak-anak yang ikut dalam intervensi kami cukup bervariasi. Beberapa sangat pendiam dan sulit mengekspresikan emosinya, beberapa aktif tetapi terlalu banyak bercanda, beberapa sulit untuk diminta datang secara teratur ke intervensi, tetapi tak jarang juga yang memiliki semangat untuk berubah sehingga termotivasi untuk menjalani intervensi dan melaksanakan segala tugas rumah yang kami berikan. Selama proses intervensi, hal miris yang kami temukan adalah kebanyakan dari mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang yang buruk 100% hingga terkadang ketika kami memberi apresiasi untuk tugas atau kemajuan yang tampak, mereka hanya tertawa dan menganggap apresiasi kami hanya sekadar basa basi atau kata manis agar mereka mau menuruti kami. Coba bayangkan jika mereka terus berpikiran bahwa diri mereka buruk, kira-kira kehidupan seperti apa yang akan mereka pilih setelah keluar dari penjara nanti? Kami rasa mereka akan memilih pekerjaan yang tak jauh berbeda dari hal yang membuat mereka masuk ke penjara, karena mereka merasa hanya itu yang pantas mereka kerjakan dan kehidupan macam itu lah yang pantas mereka dapatkan. Dan memang ketika ditanya, kebanyakan dari mereka merasa bingung apa yang harus mereka lakukan ketika kembali ke masyarakat. Mereka hanya tahu bahwa dunia mereka keras, sehingga mereka harus menggunakan cara yang keras untuk menaklukkannya. Beberapa anak yang berpikir bahwa dia ingin memilih pekerjaan yang benar pun masih sangsi dengan rencananya tersebut karena dia merasa dia pasti akan kembali menjadi buruk oleh pengaruh lingkungannya. Bukan hal yang mudah pula untuk mengubah pandangan mereka terhadap diri mereka tersebut. Kami harus konsisten memberikan apresiasi dan menunjukkan bukti nyata pada mereka apa yang membuat mereka pantas diberi pujian. Selain itu, kami juga mencoba mengajarkan pada mereka untuk mengenali risiko-risiko yang ada di lingkungan mereka sehingga mereka bisa menghindari atau setidaknya meminimalisir pengaruh lingkungan yang buruk.
Sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan masalah yang kompleks. Tidak jarang mereka menerima kekerasan dari orangtua atau orang terdekat mereka. Hal ini membuat mereka seperti tak punya tempat berlindung di dunia mereka yang begitu keras dan kacau. Mungkin karena hal ini juga mereka tampak kekanak-kanakan dan butuh perhatian dari kami…mereka membutuhkan kasih sayang dan tempat berlindung.
Sebulan setelah berakhirnya intervensi, kami kembali untuk melakukan evaluasi terhadap keberhasilan intervensi kami. Hasilnya ternyata lebih memuaskan dari dugaan kami. Anak-anak yang mengikuti intervensi kami merasa intervensi ini sesuai dengan kebutuhan mereka dan mereka pun merasa intervensi ini berguna untuk membantu mereka dalam memperbaiki diri. Satu kisah yang menarik dari mereka adalah ada seorang anak yang kini menjadi sangat peduli terhadap keadaan teman-teman satu selnya. Dia mencoba untuk mendatangi mereka yang tampak sedih atau murung dan mengajaknya berdiskusi atau sekedar member saran. Teman-teman yang dia datangi tersebut merasa terbantu dan berterima kasih kepadanya, hingga salah seorang temannya menceritakan pada pemuka agama yang rutin memberikan ceramah di lapas. Anak ini pun mendapat banyak apresiasi dari beliau dan teman-temannya.
Dari pengalaman kami ini, memang tidak mustahil bagi seorang yang pernah melakukan tindak kriminal untuk berubah menjadi orang yang baik seperti dua kisah di bagian pembuka. Ada kalanya kejahatan yang mereka lakukan secara tidak sadar juga merupakan ‘cry for help’ mereka atas segala hal yang menimpa mereka, apalagi bagi mereka yang masih berusia dini. Mereka masih punya kesempatan untuk dibina agar bisa kembali pada masyarakat untuk melakukan hal yang berguna. Pengalaman kami ini juga bisa menjadi bukti bahwa dalam sistem hukum negara kita, selain pemberian efek jera, aspek pembinaan perlu dikembangkan di lembaga pemasyarakatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H