Marhaenisme seperti yang telah kita ketahui merujuk pada akomodasi kepentingan kelompok marhaen dan seringkali diasosiasikan kepada bagian termajinalkan dalam masyarakat. Jika membahas akomodasi kepentingan, berkaitan dengan konsep kapitalisme yang menjarah ruang-ruang pendidikan untuk mendukung kepentingan kelompoknya.
Tidak hanya itu, transisi sosial dikala pandemi juga berdampak besar terhadap sistematika institusi pendidikan di Indonesia saat ini. Meninjau dari gentingnya cekaman nilai kapitalisme yang mana melahirkan pendidikan sebagai penunjang kegiatan aktivitas ekonomi khusus, produksi, distribusi dengan mengintervensi objek pendidikan.
Dalam konteks ini bergeraklah pada stratifikasi pendidikan yang mana terbagikan pada golongan tertentu berdasar atas orientasi ekonomi. Klasifikasi biaya pada institusi pendidikan tersebut merepresentasi bagaimana pendidikan tidak menyentuh masyarakat kelas bawah. Upaya pemerintah menciptakan inovasi pendidikan nyatanya seringkali tidak mencapai pada titik sasaran. Sistematika pendidikan yang berorientasi pada nilai prakis ekonomi seperti ini, mengakibatkan meningkatnya kesenjangan dalam masyarakat.
Selain itu, dengan maraknya penindasan secara sistematis tersebut, mewujudkan ketidakoptimalan Human Capital Index yang mana sejauh ini masih tidak sebanding dengan negara-negara Asia lainnya. Upaya improvisasi metode dan sistem pendidikan digagas dalam konsep "Kampus Merdeka Belajar" yang terfokus pada peningkatan value pada aktor-aktor pendidikan seperti; pendidik dan yang terdidik (mahasiswa). Namun dalam implikasinya, kebijakan tersebut menjadi kontradiksi karena tidak sepenuhnya berjalan maksimal.
Bagaimanapun juga, praktik kapitalisasi dalam pendidikan kemudian mampu mendorong adanya respon berupa masifnya mobilisasi secara sukarela dalam mengupayakan tuntutan terhadap pihak kampus.
Dalam konteks ini, Kampus Merdeka Belajar tidak menggerakkan sistem secara mengakar khususnya di era pandemi, dan mewujudkan adanya malfungsi. Disinilah kemudian bagaimana kuasa terbentuk atas dasar strata ekonomi. Ketimpangan tersebut mengindikasikan bahwa instansi terkait melakukan pengabaian atas hak-hak yang harus diberikan. Tuntutan tidak jauh dari transparansi biaya kuliah dan subsidi bagi mahasiswa. Poin-poin mendasar yang sudah selayaknya dijalankan belum mencapai titik yang ideal.
Nilai-nilai kapitalisme yang eksploitatif tidak dapat serta merta dihilangkan begitu saja dalam konteks pendidikan kita saat ini. Namun marhaenisme sebagai suatu alternatif tentunya mampu melahirkan pergerakan massif yang juga didorong dengan aliansi lain sehingga dapat meluas dan tidak terpaku pada satu dimensi ruang. Meninjau opresi pendidikan semacam ini tidak hanya terjadi dalam lingkup kecil tetapi sudah menjadi rahasia umum pada bilik-bilik institusi. Legitimasi jaminan mutu dalam sistem tersebut masih perlu dikaji ulang, bagaimana penindakan atas asas demokrasi di lingkup kampus yang dijalankan mahasiswa belum mendapat feedback positif.
Sementara itu, poin tersebut didukung dengan pernyataan Freire dalam bukunya yang mengkomparasi pendidikan antidialogika dan dialogika. Ia menilai antidialogika menganggap pendidikan sebagai alat untuk menindas, melalui karakter menaklukkan, adu domba lalu menguasai, dan manipulasi, serta serangan kebudayaan.
Sedangkan dialogika merupakan alat pembebasan yang melibatkan kerja sama, persatuan, organisasi, dan perpaduan kebudayaan. Dalam hal ini wujud penindasan masih berupa suatu kebijakan yang menekan dan nominal, dalam artian belum dapat diimplikasikan kepada seluruh bagian terkait. Bagaimana tidak,, dalam perumusan kebijakannya sendiri tidak ada upaya audiensi dan dialog proporsional antara pihak instansi dengan mahasiswa.
Berhubungan dengan keterbatasan akses komunikasi, tidak sedikit pula instansi yang bertindak represif kepada para mahasiswanya. Oleh karenanya, dalam merefleksi nilai marhaenisme sudah seharusnya kita berdampingan dengan dinamika teknologi. Baik dalam upaya mobilisasi, sosialisasi, dan upaya-upaya lainnya seperti meningkatkan akselerasinya dalam media propaganda. Dengan adanya sinergi tersebut, marhaenisme lagi tidak terkekang pada romantisme lama. Dewasa ini, penghapusan penjarahan dalam ruang lingkup pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai wujud solidaritas terhadap bagian-bagian masyarakat yang ditenggelamkan oleh sistem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H