Lihat ke Halaman Asli

Ratih Elysa

Government Studies

Benarkah Politik Identitas Agama Pengaruhi Terwujudnya Demokrasi Liar?

Diperbarui: 16 April 2021   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi geografis Indonesia yang meliputi keberagaman suku bangsa dan budaya dalam tatanan multikultural membentuk berbagai interaksi melalui asimilasi maupun akulturasi. Adanya multikulturalisme ini juga merepresentasikan kemajemukan identitas yang meliputi; suku, agama, ras, ideologi, hingga golongan kepentingan. Identitas merupakan hal yang penting untuk dimiliki setiap individu, sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia identitas dimaknai sebagai jati diri. Dengan perwujudan jati diri inilah, individu dapat mengenali dan dikenali dalam interaksi sosialnya tersebut.

Sementara itu terdapat perbedaan yang tajam antara identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of identity) dalam literatur ilmu politik. Political identity dimaknai sebagai konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Kedudukan politik identitas berdasar pada perbedaan yang ada sehingga memunculkan suatu kompetisi dalam perebutan kekuasaan. Namun, politik identitas juga berdampingan erat dengan isu maupun konflik. Salah satunya yakni mengenai isu radikalisme agama yang merupakan bagian dari politik identitas.

Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai hal tersebut, perlu kita pahami mengenai demokrasi liar. Konseptual demokrasi yang sesungguhnya bertujuan untuk mengakomodir suara rakyat sedangkan faktanya cenderung bertolak belakang, oleh karena itu demokrasi liar sendiri dianggap suatu representasi ketidakterbatasan akan kebebasan. Sehingga konflik dan pertentangan identitas tidak dapat diminimalisir dengan baik. Khususnya dalam demokrasi modern yang disebut sebagai pemerintah perwakilan rakyat yang representative. Adanya perluasan konflik antar identitas seringkali kita jumpai sebagai bagian dari proses demokratisasi. Sayangnya hal tersebut tidak dapat lepas kaitannya dengan latar belakang masing-masing aktor politik yang berkecimpung di dalamnya.

Merujuk pada banyaknya konflik antar politik identitas yang rentan diakibatkan eksklusivisme berbasis agama perlu kita ketahui makna eksklusivisme tersebut. Ekslusivisme yakni paham yang memiliki kecenderungan atau keinginan untuk bergerak memisahkan diri dari masyarakat. Dalam konteks ini, kelompok agama membentuk lingkup kecil yang kemudian mengalami fragmentasi secara terstruktur. Konsep esklusivisme menganggap identitas bergerak secara agresif, dominan, dan diskriminatif. Salah satu wujud ekslusivisme di ruang politik lokal adalah terintegrasinya kelompok agama dengan elite politik daerah. Sehingga menciptakan timbal balik antara kelompok agama di daerah dengan kebijakan politik di tingkat lokal, kemudian kebijakan tersebut turut mempengaruhi aktivitas keagamaan suatu daerah. Selanjutnya apabila kita pahami, dominasi politik berbasis keagamaan ini cenderung hanya mengakomodasi kepentingann agama dan mampu menyelewengkan nilai demokrasi representative. Agama adalah bagian dari identitas yang seringkali menjadi alat utama dalam menjalankan politik identitas. Sebagaimana ditegaskan oleh Huntington, faktor utama dalam gesekan-gesekan antarperadaban diakibatkan oleh identitas-identitas primordial. Di Indonesia, urusan agama ditempatkan sebagai bagian dari urusan negara, oleh karenanya agama seringkali menjadi sumber kekuatan dalam melakukan tekanan-tekanan terhadap antar kelompok identitas. Dengan itu, agama dalam tidak dapat dipisahkan dari persoalan mengenai kenegaraan maupun hubungan kemasyarakatan.

Sementara itu Abdullah Saeed menjelaskan latar belakang bagaimana politik identitas keagamaan menguat di masyarakat. Menurutnya, terdapat enam kelompok pemikir muslim era modern dengan perbedaan espitemologinya, yaitu: (1) The Legalist-tradisionalist (Hukum-tradisional), kelompok ini menitik beratkan pada hukum-hukum fiqh yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh ulama pra modern. (2) The Theological Puritans (Teologi Islam Puritan), kelompok ini menitikberatan pada dimensi etika dan doktrin Islam. (3) The Political Islamist (Politik Islam), kelompok ini menitikberatkan pada aspek politk Islam yang pada akhirnya ingin mendirikan negara Islam. (4) The Islamist Extremist (Islam garis Keras), kelompok ini memiliki kecenderungan untuk berbuat kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya lawan. (5) The Secular Muslims (Muslim Sekuler), kelompok ini memiiki pemikiran bahwa agama bersifat privat. (6) The Progressive Ijtihadis (Muslim Progressif-ijtihadi), kelompok ini adalah para pemikir Islam kontemporer yang memiliki wawasan klask Islam yang cukup, yag berusaha menafsirkan ulang agama melalui perangkat metodologi ilmu-ilmu modern agar bisa menjawab kebutuhan masyarakat modern. Dalam hal ini, politik identitas Islam yang terjadi pada masa sekarang telah mengalami pembauran. Seperti pergerakan radikalisme yang merujuk pada The Islamist Extremist, namun ada pula yang hanya The Political Islamist.

Namun kelompok agama yang bersifat demikian menegaskan bahwa terdapat pembatasan hak-hak bagi kelompok entitas lain. Eksklusivisme merefleksikan adanya kekuatan kelompok superior atas kelompok inferior, dimana kelompok inferior merupakan bagian out-group yakni masyarakat yang berbeda identitas keagamaannya. Perasaan superior cenderung menitikberatkan pada perilaku mendiskredit kepentingan bersama untuk mencapai kepentingan kelompooknya. Menilik politik identitas yakni mengatasnamakan agama islam seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan PKS (Partai Keadilan Sosial) jelas mengancam posisi nasionalisme dimana seharusnya Pancasila diusung sebagai prinsip/pegangan/proporsi dasar bersama.

Demikian kelompok agama Islam dengan mayoritas dengan basis kuat sangat rentan mengalami konflik. Radikalisme yang hadir mengatasnamakan islam seringkali dihubungkan dengan persoalan-persoalan teologis, sehingga aktivitas radikalisme seakan-akan merupakan aktivitas teologis, dan mendapatkan pembenaran teologis dari doktrin-doktrin kitab suci keagamaan (teks suci) yang dipahami oleh sebagian umat Islam secara sepihak. Untuk memahami lebih lanjut bagaimana wujud dari keganasan politik identitas ini, dapat kita kaji dengan isu radikalisme agama. Perilaku radikal cenderung diinisiasi kelompok fanatis dengan tujuan tertentu. Fanatisme dapat diartikan sebagai keyakinan yang berlebihan terhadap nilai-nilai atau sesuatu yang tidak berdasar pada akal sehat, sehingga sulit menerima pandangan orang lain. Intepretasi ajaran agama yang berifat dogmatis, akan sangat berbahaya apabila tidak didbarengi dengan rasionalitas yang jelas. Hal ini tentu dibarengi adanya perasaan superior yang diperoleh dari dukungan eksklusif intra kelompok dengan gagasan maupun pandangan searah. Namun kelompok fanatis seringkali melakukan pergerakan sporadis dalam ruang politik lokal. Maraknya kekerasan melalui tindak kekerasan dan terorisme jika dilihat dari sudut pandang manapun, tidak akan mendapatkan ruang untuk dapat dinormalisasi begitu saja karena isu sentimental yang demikian rentan membentuk instabilitas politik.

Radikalisme agama juga menunjukkan adanya peluang politik identitas untuk menyelewengkan makna persatuan yang sesungguhnya. Radikalisme agama yang cenderung menggunakan kekerasan mengecam keamanan dan pertahanan negara. Bagaimanapun juga, politik identitas seharusnya dipandang sebagai pluralisme positif guna mendukung kelestarian budaya dan ciri khas bangsa. Namun tiap-tiap identitas nyatanya ingin mendapatkan suatu pengakuan sehingga memunculkan suatu kontestasi. Secara konkrit, isu mengenai identitas agama seringkali muncul dalam momentum menjelang Pemilihan Umum sebagaimana menjadi upaya perebutan kekuasaan. Berkaitan dengan itu, Fox dan Menchik dalam penelitiannya menunjukkan sebagian dari poster-poster dalam kampanye yang menonjolkan simbolisme identitas mempunyai karakter inklusif, misalnya dengan menampilkan secara bersamaan simbol-simbol yang merepresentasikan keragaman identitas di daerah. Sentimen primordial yang nyatanya masih menjadi tolak kukur kontestasi mampu merujuk pada kemunculan konflik dan gesekan antar identitas. Meskipun dalam proses demokratisasi adanya perbedaan pandangan, latar belakang, dan kepentingan politis tidak dapat dihindari, namun bagaimana suatu legitimasi hukum dan undang-undang dapat dimaknai di atas pergerakan ancaman berbasis perbedaan identitas tersebut. Perlu dipahami juga bahwa konflik identitas turut menghambat terwujudnya integritas nasional.

Apabila nilai-nilai dan prinsip hukum serta substansi ideologi negara dengan sengaja disudutkan untuk meraih suatu kekuasaan, maka demokrasi akan bergerak secara liar serta mobilisasinya tidak terstruktur. Manipulasi dengan mengatasnamakan identitas ini memicu disintegrasi di dalam tatanan masyarakat Indonesia yang plural. Politik identitas keagamaan yang telah menduduki ruang-ruang politik lokal, seperti yang kita ketahui akan mempengaruhi suatu kebijakan publik itu terbentuk. Menurut hasil penelitian Syafuan Rozi dan Nina Andriana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Politik Kebangsaan dan Potret Perda Syariah di Indonesia: Studi Kasus Bulukumba dan Cianjur, selama periode 1999-2009, terdapat 24 provinsi atau 72,72% daerah di Indonesia yang menerbitkan perda bernuansa agama, baik syariah Islam maupun Injili yang dilansir melalui laman BBC News, setidaknya terdapat 151 perda dan surat keputusan kepala daerah syariah/Injili. Seiring dengan dinamika yang ada, peraturan daeraah yang bersifat agamis dan hanya mengakomodir kelompok tertentu nyatanya merupakan suatu kemufakatan jahat para elite politik. Tidak sedikit pula peraturan daerah yang dibenuk hanya untuk menjadi 'tolak ukur' kekuatan golongan ataupun partai dalam tatanan kekuasaan. Kita ketahui bahwa pemahaman agama yang dogmatis sangat rentan digunakan untuk kepentingan politik praksis. Didukung pula dengan adanya kemajuan dan pembaharuan teknologi yang memudahkan persebaran informasi. Media sosial kini juga menjadi wadah akan dukungan praktik-praktik yang bersifat destruktif oleh kelompok identitas tertentu, sehingga arus kebenaran informasi menjadi bias.

Dari berbagai wujud praktik negative politik identitas tersebut, sangat jelas dapat memicu adanya disintegrasi berupa konflik maupun isu-isu sentimental melalui platform sosial media yang ada. Ruang politik yang terisi akan kemajemukan dan perbedaan identitas, akan rentan mewujudkan kontestasi yang tidak ideal apabila kontrol pemerintah atas pergerakan kelompok-kelompok tersebut masih lemah. Dilihat bahwa kepentingan suatu kelompok identitas mampu mempengaruhi bagaimana outcome suatu kebijakan daerah, tentunya perlu adanya sinergi dalam menyikapinya. Pemerintah harus secara representative dan independent sehingga penegakan hukum juga lebih rasional. Hal tersebut juga menjadi indikator liarnya demokrasi karena minimnya kendali terhadap konflik identitas. Dan juga pemerintah harus secara tegas menyikapi isu politik identitas ini, bagaimanapun sikap toleransi dari Pancasila tidak boleh dilupakan begitu saja. Kebhinekaan dalam bernegara dan bermasyarakat merupakan ciri khas budaya bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman yang dinamis mengenai peran perbedaan dalam perbedaan budaya dengan sudut pandang positif.

Daftar Pustaka:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline