Lihat ke Halaman Asli

Rasyid Taufik

SINTARA Leadership

Hijrah: Pengorbanan, Tawakal, dan Hakikat Hidup

Diperbarui: 28 Maret 2024   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sintara Leadership

Ketika Rasulullah menerima perintah untuk berhijrah, beliau menyampaikan hal itu kepada sahabat Abu Bakar Asshiddiq. Mendengar kabar itu Abu Bakar sontak menangis, bukan karena sedih, tetapi bahagia atas adanya perintah berhijrah.

Pengorbanan

Rasa Bahagia itu beliau ekspresikan dengan membeli dua ekor unta untuk kendaraan hijrah. Pertanyaannya, untuk apa dua ekor? Satu untuk Rasul dan satunya lagi untuk belai sendiri. Namun, diluar dugaan hadiah berupa unta yang diberikan sahabat dan juga mertua Nabi itu ditolak. Mengapa? Padahal Nabi sering menerima pemberian atau hadiah dari pada sahabat. Ternyata penolakan itu bukan disebabkan Nabi tidak berkenan, tetapi karena beliau ingin membelinya. Begitulah menyikapi perintah Allah, harus ada bentuk pengorbanan (perintah apa pun). Rasul juga ingin berkorban seperti sang sahabat. Dengan alasan itu juga Abu Bakar menerima pembelian unta oleh Nabi meski pada awalnya Abu Bakar ingin menghadiahkannya.

Peristiwa ini mestilah menjadi inspirasi bagi kita bahwa dalam mencapai sesuatu (apapun) yang menjadi perintah Allah harus ada pengorbanan. Dalam konteks menuntut ilmu misalnya, keberhasilan ditentukan oleh seberapa besar pengorbanannya.

Hakikat Hidup

Wa laa taquuluu limayyuqtalu fii sabiilillaahi amwaat, bal ahyaaa'uwwalaakillaa tasy'uruun.

"Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya." (QS Al-Baqarah: 154)

Ayat diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa hidup bukan bersatunya antara ruh dan jasad, berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain. Hakikat hidup adalah kebermanfaatan. Apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib yang berani menempati tempat tidur Rasulullah misalnya. Sikap yang belum tentu berani dilakukan semua orang. Ali bin Abi Thalib melakukan itu karena beliau memahami bahwa hidup bukan sekedar hidup, tetapi hidup yang bermakna dan bermanfaat. Walaupun taruhannya adalah kematian, itu lebih baik dibanding hidup tanpa kemuliaan.

Seandainya pada saat itu Ali bin Abi Thalib terbunuh, sebenarnya beliau tidak mati. Beliau hidup cuma banyak orang tidak merasakan.

"Lebih baik mati tetapi hidup, daripada hidup namun mati." Pepatah Arab mengatakan: "Siapa yang tidak memenuhi kewajibannya terhadap negara dan agamanya karena takut letih atau mati, maka ia tidak berhak untuk hidup karena kematian pasti akan datang, dan jiwa yang mulia tidak pernah akan mati."

Tawakal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline